resiliensi sebagai mediator self …psychologyforum.umm.ac.id/files/file/prosiding ippi...
TRANSCRIPT
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
137
RESILIENSI SEBAGAI MEDIATOR SELF-COMPASSION DAN
KEBAHAGIAAN
Dewi Sri Mustikasari, Wistita Winaudri
Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Kebahagiaan bermanfaat dan menjadi hak bagi siapapun termasuk remaja di sekolah semi-militer dimana
mereka dihadapkan berbagai tekanan saat menjalani pendidikan. Remaja yang bahagia dapat menjadi
lebih aktif, menjalin pertemanan sosial dengan baik, dan mencapai kesuksesan dalam bidang akademik maupun berbagai pencapaian dimasa depan. Tujuan dari penelitian ini untuk (1) mengetahui hubungan
self-compassion dengan kebahagiaan (2) untuk mengetahui hubungan self compassion dengan kebahagiaan
dimediasi oleh resiliensi. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja usia 14-19 tahun
sebanyak 219 siswa. Desain penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional yang diukur menggunakan self-compassion scale (SCS), Oxford Happiness Questionaire (OHQ), dan CD-RISC. Data
dianalisa menggunakan mediated multiple regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi
berperan sebagai mediator dalam hubungan antara self-compassion dengan kebahagiaan (β=0,1036*; R2=0,106).
Kata kunci: resiliensi; self-compassion; kebahagiaan
L A T A R B E L A K A N G
Orang yang bahagia lebih aktif, sehat, melibatkan diri dalam lingkungan sosial, dan sukses dalam
hidupnya (Seligman, Steen, Park, Peterson, & Report, 2005). Kebahagiaan membantu seseorang
memiliki hubungan interpersonal yang kuat, pendapatan yang tinggi, kesehatan fisik dan metal yang baik,
mendorong melakukan perilaku prososial, dan hidup lebih lama (Fritz & Lyubomirsky, 2017). Oleh
karena itu, setiap orang menginginkan kebahagiaan untuk mencapai kehidupan yang baik (good life) dan yang berarti (meaningful life)(Algoe & Haidt, 2009). Orang yang bahagia memiliki emosi positif dalam
dirinya. Emosi positif terkait dengan masa lalu seperti kepuasan, menyukai suatu hal, senang,
keberuntungan; terkait saat ini seperti ramah, antusias, semangat, menunjukkan ketertarikan akan suatu
hal; dan terkait masa yang akan datang seperti optimis, harapan, percaya diri, inspirasi, berjuang (Cooper, 2017). Perpaduan dari ketiga pilar emosi positif (masa lalu, saat ini, dan masa depan)
mendorong seseorang mencapai kesuksesan (Seligman, 2002).
Orang yang tidak bahagia lebih banyak memiliki emosi negatif. Orang yang cenderung negatif akan
merespon suatu kejadian sebagai ketidakberuntungan dan akan membuat mereka menjadi tidak bahagia dan mempengaruhi mood dalam segala aktivitas (Diener, 2000). Emosi negatif juga dapat mengganggu
kesejahteraan hidup seseorang serta memelihara ketidakpuasaan dan ketidakbahagiaan hidup (Fritz &
Lyubomirsky, 2018). Dalam hal ini kebahagiaan dapat menjadi penentu dari kesejahteraan hidup
seseorang. Seseorang yang cenderung menanggapi suatu kejadian dengan kecemasan dan stres cenderung tidak merasa sejahtera (Fritz & Lyubomirsky, 2017).
Self-compassion yang dapat diartikan mengasihi diri sendiri, melibatkan keterbukaan, kepedulian, dan
tergerak oleh penderitaan sendiri (K. D. Neff, 2003). Seseorang yang memiliki self-compassion dapat
menurunkan depresi dan stres serta meningkatkan positive affect (PA) dan kebersyukuran (Galla, 2017). Self-compassion mengakui kesengsaraan, kegagalan, kekurangan, ketidakadilan, dan ketidakcocokan
dalam diri menjadi bagian dalam kehidupan manusia kemudian memilih untuk memahami diri sendiri
daripada menghakimi (K. D. Neff, 2003). Self-compassion yang tinggi berhubungan dengan kebahagiaan
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
138
(Baer, Lykins, & Peters, 2012), kepuasan hidup, kebijaksanaan, kreativitas, dan optimisme dalam
memandang hidup (K. Neff, Rude, & Kirkpatrick, 2007). Salah satu komponen self-compassion yang dapat memberikan sumbangan emosi positif pada seseorang
yaitu self-kindness. Rasa kasih sayang, kelembutan hati, dan memahami diri sendiri/belas kasih terhadap
diri sendiri merupakan bentuk dari self-kindness (Campos, Cebolla, Quero, Bretón-lópez, & Botella,
2015) yang memberikan perasaan positif dan di saat yang sama dapat mengurangi perasaan negatif (K. D. Neff & Knox, 2017). Ketika seseorang dihadapkan pada masa-masa sulit, kegagalan, ataupun
kekurangan pribadi, seseorang cenderung berpikir secara irasional dan menyalahkan diri sendiri
(judgement) “mengapa saya?” (K. D. Neff, 2011). Saat seseorang secara terus menerus merespon
kesulitan dengan menghakimi diri sendiri maka semakin banyak emosi negatif yang berkorelasi dengan
kecemasan dan stres hingga depresi. Self-compassion membantu mengembangkan pemikiran insight mengenai pengalaman manusia, mengurangi perasaan terisolasi yang dapat menyertai dalam
pengalaman-pengalaman yang sulit (Galla, 2017). Self-compassion berguna untuk menyayangi dan
mengasihani diri sendiri supaya tidak hanyut dalam permasalahan atau tekanan tersebut.
Resilensi merupakan kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Bluth, Campo,
Futch, & Gaylord, 2016). Proses resiliensi pada remaja digambarkan dengan adanya adaptasi yang positif
terhadap pengalaman hidupnya, bisa dikatakan remaja menjadikan pengalaman hidupnya yang sulit
sebagai tantangan untuk mencapai kesuksesan dan mengkombinasikan dengan mental yang positif,
sehingga dapat menjadi pribadi yang sehat (Maten, 2007). Resiliensi memiliki kapasitas untuk melakukan recovery (pemulihan) secara kesehatan fisik maupun psikologis dengan menahan konsekuensi negatif
dari masa-masa yang sulit (Connor & Davidson, 2003), kemudian meningkatkan psychological well-being
(Ryff & Singer, 2000). Resiliensi memiliki hubungan yang positif dengan kebahagiaan (Wang, Liu, &
Zhang, 2014).
Self-compassion juga berhubungan dengan resiliensi. Temuan sebelumnya menyatakan bahwa self-
compassion memiliki hubungan secara positif dengan resiliensi (Bluth, Mullarjey, & Lathren, 2018).
Seseorang yang compassionate (memiliki self-compassion) cenderung lebih bertahan pada situasi yang
sulit atau disebut resilien. Seseorang yang resilien akan meregulasi emosinya, mengembangkan optimisme, melakukan analisis penyebab masalah, dan berusaha berpikir realistis dalam pemecahan
masalah (Reivich & Shatte, 2002). Kemampuan resiliensi yang baik dapat membantu seseorang untuk
beradaptasi dengan lingkungannya, mengembangkan kompetensi sosial, hubungan interpersonal dan
nantinya bisa mencapai academic achievement pada siswa (Liew, Cao, Hughes, & Deutz, 2018). Dilihat
dari aspek gender, laki-laki lebih resilien daripada perempuan (Bluth et al., 2016).
Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Banyak perubahan yang terjadi pada
diri remaja, baik secara fisik dan pemahaman (Lenner & Steinberg, 2009). Apalagi remaja yang harus
tinggal di sekolah asrama yang tinggal jauh dari orang tua. Sekolah asrama yang berbasis militer memiliki aturan yang sangat ketat dan disiplin. Remaja harus berusaha beradaptasi dengan perubahan sosial-
kultural dari hidup bersama orang tua kemudian hidup secara mandiri, termasuk dalam usaha
memecahkan masalah. Remaja berusaha menyelesaikan segala tuntutan sekolah agar bisa mendapatkan
achievement dan menjadi sukses. Saat menghadapi kesulitan bahkan suatu kegagalan, ada pula siswa yang
cenderung mengalami stres dan depresi. Remaja yang cenderung stres dan tidak mampu mengatasi permasalahannya dengan baik ini berpotensi memiliki kesejahteraan hidup rendah dan tidak bahagia.
Dalam penelitian ini membahas mengenai hubungan self-compassion, resiliensi, dan kebahagiaan. Self-
compassion memiliki sumbangan positif agar seseorang dapat menerima dirinya dengan segala kekurangan, kehidupan yang kurang baik, maupun kegagalan sebagai suatu kondisi yang tidak baik. Saat
seseorang menjadi compassionate maka akan memiliki kemampuan bertahan dalam kondisi sulit
tersebut. Sama halnya dengan resiliensi yang membuat seseorang mampu bertahan dalam kondisi
sesulit apapun dan mengembangkan optimisme untuk mencapai kebahagiaan. Self-compassion pun
berusaha dapat menghubungkan seseorang dengan kebahagiaan. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
139
ingin mengetahui hubungan self-compassion dengan kebahagiaan dimana resiliensi berperan sebagai
mediator.
Penelitian ini bermanfaat dalam menjelaskan ada variabel lain yang memediasi hubungan antara self-
compassion dan kebahagiaan, yaitu resiliensi. Sehingga dapat memberikan sumbangan kontruk secara
teoritis dalam konsep psikologi positif. Selain itu, secara praktis, melalui penelitian ini, seseorang dapat mengembangkan self compassion yang disertakan resiliensi utnuk mengahadapi kondisi yang buruk dan
mencapai kebahagiaan dalam hidup.
T I N J A U AN P U S T A K A
Kebahagiaan Kebahagiaan dapat diartikan sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan dalam hidup seseorang.
Ketika bahagia, seseorang memiliki pengalaman dimana emosi positif mendominasi daripada emosi
negatif, serta dilengkapi peningkatan kepuasaan dalam hidup seseorang (Fritz & Lyubomirsky, 2017). Fritz & Lyubomirsky mengasosiasikan kebahagiaan dengan well-being, dimana kebahagiaan berkaitan
dengan emosi positif, perilaku positif, pemikiran positif, dan kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan
psikologis. Menurut Seligman kebahagiaan sebagai sisi positif, tidak lagi dilihat dari ketiadaan sisi negatif
dari seseorang (Bremmer, 2011), seperti kebahagiaan dianggap memiliki kecemasan dan depresi yang
rendah (Fritz & Lyubomirsky, 2017). Kebahagiaan dalam aspek positif dianggap sebagai cara seseorang untuk memaknai dan merasakan kepuasaan atas kehidupannya. Lebih lanjut lagi, kebahagiaan berkaitan
dengan pencapaian kehidupan yang baik dan kebermaknaan hidup (Seligman et al., 2005) dengan
berfokus pada mengaktualisasikan dan memaksimalkan potensi yang ada pada seseorang (Hollis-walker
& Colosimo, 2011).
Kebahagiaan yang ditandai dengan adanya emosi positif dalam diri seseorang dapat memberikan
dampak yang positif untuk kehidupan manusia. Emosi positif ini berkaitan dengan kepuasan, kesukaan,
kesenangan hati, keberuntungan (terkait masa lampau), kehangatan, antusias, semangat, ketertarikan
(terkait saat ini), sikap optimis, harapan, kepercayaan diri, inspirasi, perjuangan (terkait konsep untuk akan datang), dimana semua itu menjadi penyusun kebahagiaan seseorang (Selligman, 2002). Semua hal
tersebut menjadi penting dimiliki seseorang untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan (Algoe &
Haidt, 2009).
Kebahagiaan dalam hidup seseorang meliputi emosi, perilaku, dan pikiran yang positif. Perilaku yang
positif diwujudkan dengan perilaku prososial, dimana seseorang berusaha membantu sesama, bukan
karena disebabkan rasa bersalah atau berhutang kepada penerima bantuan, tidak membuat penerima
merasa berhutang ataupun terbebani, dan tidak menyalahkan penerima akan kemalangan atau nasib
buruknya (Fritz & Lyubomirsky, 2017). Dapat dikatakan bahwa orang yang bahagia akan melakukan kegiatan prososial dengan tulus dan hanya untuk membantu sesama. Melalui perilaku prososial ini,
kebahagiaan seseorang dapat berpengaruh untuk memperkuat hubungan sosial yang baik (Fritz &
Lyubomirsky, 2017) serta membangun kekuatan sosial dalam masyarakat. Orang yang bahagia
menyebarkan dan menularkan semangat positifnya kepada lingkungan sekitarnya (Algoe & Haidt, 2009).
Self-Compassion dan Kebahagiaan Self-compassion merupakan suatu hal yang sering dikaitkan dengan kesulitan hidup dan sesuatu hal yang
buruk. Self-compassion merupakan kemampuan seseorang untuk menerima diri, memberikan belas
kasih, dan tergerak oleh penderitaan sendiri untuk meringankan penderitaannya (K. D. Neff, 2003).
Self compassion terdiri atas tiga faktor yaitu self kindness vs self-judgment, common-humanity vs isolation
dan mindfulness vs over-identification (K. D. Neff, 2003). Seseorang dihadapkan dengan pilihan, untuk menghadapi penderitaan lalu hidup bahagia atau hidup bersedih dengan keterpurukan. Tentunya setiap
orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya walau dalam keterpurukan.
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
140
Self-compassion mengajarkan kepada seseorang untuk memahami diri sendiri, bersabar serta
mengingatkan bahwa penderitaan adalah hal yang wajar dialami setiap orang (Hollis-walker & Colosimo, 2011). Neff (2003) menyebutkan bahwa self-compassion ditandai dengan adanya kebaikan diri dengan
tidak menghakimi diri sendiri atas suatu pengalaman buruk yang menimpa seseorang. Seseorang
melakukan proses pemahaman dirinya dan memaknai kejadian buruk sehingga menghasilkan
pemahaman positif dari kejadian buruk tersebut. Proses pemahaman dan pemaknaan diperoleh melalui sebuah perenungan. Sisi positif dari self-compassion ini akan mendorong seseorang untuk bersemangat,
lebih bijaksana, dan optimis dalam menghadapi permasalahannya (K. D. Neff & Knox, 2017).
Seseorang yang tidak mampu menerima diri dan cenderung mengisolasi serta menghakimi diri sendiri
atas kejadian buruk yang menimpanya akan menghasilkan emosi negatif (Neff, 2003). Emosi-emosi
negatif jika terus dipupuk dapat mengarahkan seseorang pada depresi. Studi sebelumnya menyebutkan bahwa, self-compassion dapat menurunkan perceived-stress dan depresi (Bluth & Mullarkey, 2018), serta
meningkatkan afek positif dan kebersyukuran pada seseorang (Galla, 2017) sehingga dapat dikatakan
bahwa self-compassion menjadi elemen penting kebahagiaan (Smeets, Neff, Alberts, & Peters, 2014).
Self-Compassion, Resiliensi, dan Kebahagiaan Orang yang memiliki self-compassion berusaha menerima kejadian yang membuat terpuruk bahwasanya setiap kejadian itu wajar dan dialami semua orang. Self-compassion menjadi salah satu faktor adanya
resiliensi, dimana remaja yang compassionate menerapkan ketrampilan adaptive coping, memiliki self-
perception yang positif, dan pengalaman membangun koneksi dengan orang lain. Self- compassion
menyeimbangkan perspektif yang dimiliki, dan mengurangi kritik dalam diri yang keras kemudian
seseorang memiliki “daya lenting” dan bangkit dari kesulitan hidupnya, dalam istilah lain orang yang resilien dapat memulihkan dirinya dari situasi yang menekan (Bluth et al., 2018).
Saat seseorang yang memiliki resiliensi, maka orang tersebut akan berusaha menenangkan dirinya walau
kondisi sesulit apapun dan berusaha mengekspresikan emosi dengan tepat serta menjadi fokus terhadap hal yang harus dilakukannya (Reivich & Shatte, 2002). Kemudian menghadirkan pemahaman
positif atas kejadian buruk yang dialaminya. Pemahaman insight yang dihasilkan dalam diri seseorang
mampu membuat seseorang memahami tidak hanya tentang dirinya tetapi juga terkait permasalahan
dan masa lalu yang buruk baginya (Setyowati, Hartati, & Sawitri, 2010). Insight yang dihasilkan dapat
mengembangkan fleksibiltas kognisi seseorang untuk berfokus pada penyebab masalah yang berhubungan dengan permasalahan yang dialami, serta mengembangkan keyakinan untuk berkomitmen
menghadapi dan menyelesaikan permasalahannya hingga selesai (Reivich & Shatte, 2002). Setelah itu,
self-compassion tidak akan membiarkan diri seseorang menyelahkan diri sendiri ketika proses
mengidentifikasi penyebab masalah (K. Neff et al., 2007).
Resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dari pengalaman emosi negatif. Seseorang yang resilien
akan berusaha untuk mengendalikan impuls yang ada dalam dirinya dan menyeleksi emosi-emosi negatif
supaya dapat megendalikan perilaku dan pikiran (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi secara alami mampu
beradaptasi dengan lingkungan, selain itu individu mampu untuk mempertahankan kesejahteraan fisik dan psikologis. Dengan demikian resiliensi dapat dilihat sebagai salah satu sumber penting dalam
kesejahteraan diri yang mendukung pada kebahagiaan (Wang et al., 2014).
Ketika seseorang dapat menyeleksi emosi negatif melalui self-compassion dan berusaha tenang dengan melakukan resiliensi, sehingga tidak akan memupuk stres ataupun kecemasan, maka seseorang akan
menjadi lebih sabar, bersyukur, dan tenang dalam hidupnya. Hal tersebut akan menyumbang faktor
kebahagiaan dalam diri seseorang (Galla, 2017). Selanjutnya seseorang akan berusaha menyusun
strategi yang efektif untuk bangkit dari keterpurukannya dan mencapai tujuan-kehidupan yang baik
serta akan memiliki kepuasan akan hidupnya, maka orang tersebut akan menjadi bahagia dalam hidupnya (Fritz & Lyubomirsky, 2017). Dari serangkaian uraian di atas dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan self compassion dengan kebahagiaan dimediasi oleh resiliensi.
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
141
M E T O D E P E N E L I T I A N
Penelitian ini menggunakan subjek siswa asrama SMAN Taruna Nala Malang, yang bertempat di
Tlogowaru, Malang. Sekolah ini menggunakan kurikulum bela negara dan kemaritiman dalam proses
belajar mengajar dan kegiatan di asrama (SMAN Taruna Nala Jawa Timur, 2016). Subjek yang berpartisipasi sejumlah 224, tetapi subjek yang melengkapi skala hanya sejumlah 219 siswa, dengan usia
14-18 tahun. Pengambilan data menggunakan papaer based scale secara klasikal.
Instrumen Pengukuran terhadap variabel self-compassion menggunakan alat ukur self-compassion scale (SCS)
sejumlah 26 aitem (K. D. Neff, 2003). Skala ini berbentuk skala Likert yang menggunakan lima alternatif
jawaban ‘Sangat Tidak Stuju (STS)’ yang memiliki skor 1 hingga ‘Sangat Setuju (SS)’ dengan skor 5.
Penyusunan skala ini menurut Neff, 2003 terdiri atas tiga faktor yaitu self kindness (5 aitem) vs self-judgment (5 aitem), common-humanity (4 aitem) vs isolation (4 aitem), dan mindfulness (4 aitem) vs over-
identification (4 aitem). Contoh dari aitem SCS yaitu, “Saya berusaha mencintai diri saya ketika saya
merasakan penderitaan emosional”. Skala yang digunakan dalam penelitian ini dari SCS Neff (2003) yang
sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia (Beni, 2018) dengan α= 0,853.
Kebahagiaan diukur menggunakan Oxford Happiness Questionaire (OHQ) sejumlah 29 aitem (Hills & Argyle, 2002). Menurut Hills & Argyle (1998) kebahagaiaan terdiri atas 7 faktor, yaitu (1) satisfaction
with life; (2) efficacy; (3) sociability/empathy; (4) positive outlook; (5) well-being; (6) cheerfulness; (7) self-
esteem. Skala OHQ dalam penelitian ini menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban dari ‘Sangat
Tidak Stuju (STS)’ yang memiliki skor 1 hingga ‘Sangat Setuju (SS)’ dengan skor 5. Salah satu aitem yang ada dalam skala ini yaitu “Saya merasa bahwa hidup ini sangat nikmat”. Skala OHQ yang digunakan dalam
penelitian sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia (Beni, 2018) dengan α = 0,837.
Pengukuran resiliensi ini menggunakan The Conor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) sejumlah 25
aitem (Connor & Davidson, 2003). Menurut Connor & Davidson (2003) CD-RISC disusun atas 5
faktor, yaitu (1) reflects the nation of personal competence, high standards and tenacity; (2) trust in one’s
instincts, tolerance of negative affect, and strenghthening effects of stress; (3) positive acceptance of change and secure relationships; (4) control; (5) spiritual influence. Skala Likert digunakan dalam skala CD-RISC
ini dengan alternatif jawaban ‘Sangat Tidak Stuju (STS)’ yang memiliki skor 1 hingga ‘Sangat Setuju (SS)’
dengan skor 5. Salah satu aitem dalam skala yaitu “Saya mudah beradaptasi terhadap perubahan”. Skala
CD-RISC yang digunakan dalam penelitian sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
(Anggraheni, 2017) dengan α = 0,766.
Penelitian ini menggunakan teknik korelasi mediated multiple regression melalui software SPSS versi 22
untuk menguji hipotesis. Hasil dari uji hipotesis ini akan menunjukkan peran resiliensi dalam memediasi
self-compassion dan kebahagiaan.
Hasil
Hasil analisis menunjukkan bahwa self-compassion berpengaruh terhadap kebahagiaan (β=0,340), hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi self-compassion maka semakin tinggi juga kebahagiaan pada
siswa. Sebaliknya jika self-compassion semakin rendah maka semakin rendah juga kebahagiaan siswa.
Self-compassion memberikan sumbangan kepada kebahagian sebesar 37,4% (R2=0,374). Self-compassion
juga berpengaruh secara positif terhadap kebahagiaan yang dimediasi oleh resiliensi (β=0,1036; R2=0,106). Dan memberikan sumbangan sebesar 10,6%. Sehingga dapat dikatakan bahwa resiliensi
berperan sebagai mediator dalam hubungan self-compassion terhadap kebahagiaan.
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
142
Hubungan self-compassion terhadap kebahagiaan melalui resiliensi sebagai mediator (β=0,1036) memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan hubungan self-compassion terhadap kebahagiaan
secara langsung (β=0,340). Hal ini berarti bahwa efek resiliensi sebagai mediasi tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan hubungan yang secara langsung, tetapi dalam hubungan self-compassion terhadap
kebahagiaan dapat dijelaskan melalui resiliensi.
Tabel 1 Hasil Uji Hipotesis Pengaruh Antar Variabel Β R2
Pengaruh Self-Compassiom terhadap kebahagiaan (c’) 0,340* 0,374
Pengaruh Self-Compassion terhadap Resiliensi (a) 0,202* 0,081
Pengaruh Resiliensi terhadap kebahagiaan (b) 0,513* 0,374
Self-Compassion terhadap kebahagiaan yang dimediasi
resiliensi (a*b)
0,1036* 0,106
Catatan : *p<0,05 Berdasarkan uji korelasi setiap faktor pada variabel self-compassion dan resiliensi terhadap kebahagiaan,
menunjukkan bahwa faktor self-kindness pada variabel self-compassion memiliki korelasi secara signifikan
dengan kebahagiaan yang lebih besar daripada dua faktor lainnya hummanity dan mindfulness (β=0,514;
β=0,489; β=0,520). Pada variabel resiliensi, faktor positive acceptance of change secara signifikan
berkorelasi dengan kebahagiaan (β=0,469) yang lebih besar dibandingkan faktor lainnya; personal
competence (β=0,420), trust in one’s instincts (β=0,409), control (β=0,366), spiritual influence (β=0,138).
Di sisi lain, faktor self-compassion juga berkorelasi dengan resiliensi dimana mindfulness (β=0,414) merupakan faktor yang memiliki korelasi lebih besar dibandingkan faktor lainnya, self-kindness dan
humanity (β=0,303; β=0,277).
Tabel 2 Korelasi Faktor Self-Compassion dan Resiliensi terhadap Kebahagiaan
Variabel/Faktor M SD Kebahagiaan Resiliensi
Pearson Correlation Pearson Correlation
Self-compassion 3,58
8
0,49
4
0,480*
0,514*
0,489*
0,520*
0,499*
0,420*
0,409*
0,469*
0,366*
0,138*
0,303*
0,277*
0,414*
-
-
-
-
-
-
Self-Kindness vs Self-
Judgment
3,69
5
0,41
4
Common Humanity vs
Isolation
3,51
9
0,54
6
Mindfulness vs Over
Identification
3,64
9
0,48
4
Resiliensi 4,09
5
0,35
2
Personal competence 4,24
4
0,40
7
Trust in one’s instincts 3,94
3
0,43
9
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
143
Positive acceptance of
change
3,98
5
0,45
1
Control 4,15
5
0,48
9
Spiritual influence 4,35
2
0,57
2
Kebahagiaan 4,62
1
0,45
7
- -
Catatan : *p<0,05 (sig. 1-tailed)
Pembahasan
Orang yang memiliki self-compassion mampu menerima diri, memberikan belas kasihan, dan tergerak
untuk meringankan penderitaan dirinya (Neff, 2003). Ketika seseorang dihadapkan oleh stressor,
kegagalan, ataupun peristiwa yang buruk, maka seseorang yang compassionate dideskripsikan dalam sikap yang positif dan peduli terhadap dirinya sendiri agar penderitaannya berkurang. Self-compassion
menjadi sebuah hal yang penting dalam sebuah definisi trait seseorang hingga saat ini (K.D. Neff, 2015).
Dalam penelitian ini self-compassion dalam kategori sedang, yang berarti bahwa setiap subjek
melaporkan memiliki self-compassion yang cukup.
Self-compassion memiliki 3 faktor yang menjadi sebuah kesatuan yang dinamis dalam membentuk pola
pikir dan perilaku seseorang. Mindfulness menjadi faktor yang mempengaruhi kebahagiaan dibanding
faktor lainnya. Mindfulness melibatkan kesadaran secara jelas dan seimbang mengenai pengalaman saat
ini terkait penderitaan yang dialami seseorang tanpa terjebak dalam alur cerita yang berlebihan tentang aspek negatif dari diri sendiri atau pengalaman seseorang (K. D. Neff, 2015). Faktor ini mendorong
seseorang untuk bersikap positif atas kehidupannya. Hal itulah yang akan mendorong seseorang untuk
hidup lebih bahagia.
Self-kindness merupakan faktor selanjutnya yang menentukan kebahagiaan. Seiring dengan penelitian yang dilakukan K.D.Neff (2015) disebutkan bahwa hanya self-kindness yang menjadi prediktor yang
signifikan dalam menenstukan kebahagiaan. Seseorang dapat menjadi lebih bahagia ketika memiliki
perasaan positif yang dihasilkan dari rasa kasih sayang, kelembutan hati, dan berusaha memahami diri
sendiri yang merupakan bentuk dari self-kindness (Campos et al., 2015; K. D. Neff, 2003). Daripada memikirkan untuk merasa terisolasi dari orang lain, self-kindness pada diri seseorang membantunya
untuk menghadapi masa-masa sulit, kegagalan, ataupun kekurangan pribadi dengan berpikir rasional
dan tidak menyalahkan diri sendiri (K. D. Neff, 2011).
Common humanity merupakan faktor lain dalam self-compassion yaitu seseorang membagikan pengalamannya kepada orang lain, memahami kegagalan dan penderitaan diri sendiri sebagai hal yang
terjadi pada setiap manusia (K. D. Neff, 2015). Faktor ini mendorong seseorang untuk lebih berpikir
positif terhadap penderitaan yang dialaminya daripada merasa menderita karena seolah hanya dirinya
yang merasa menderita. Energi positif inilah yang akan membantu seseorang untuk bertahan dalam
masa sulitnya dan membuatnya leih bahagia dalam menjalani kehidupannya. Faktor ini memiliki sumbangan terkecil dibandingkan faktor lain dalam menentukan kebahagiaan.
Maka dari itu, self-compassion merupakan sistem yang dinamis yang menunjukkan hubungan yang
sinergis pada elemen-elemennya yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Self-compassion ini berhubungan kuat dengan kesejahteraan psikologis yaitu kebahagiaan, optimisme, dan kepuasan
dalam hidup (K. D. Neff, 2015). Dimana semakin tinggi self-compassion makin semakin tinggi pula
kebahagiaan, optimisme, kepuasan hidup (Hollis-walker & Colosimo, 2011). Hal tersebut berhubungan
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
144
dengan meningkatnya motivasi, perilaku yang sehat, dan sikap yang resilien (Allen, Goldwasser, Leary,
Allen, & Leary, 2012; K. D. Neff, 2015).
Self-compassion memberikan pengaruh terhadap sikap seseroang untuk resilien atau dapat bertahan
dalam kondisi yang sulit dan berusaha untuk mengatasi penderitaan tersebut. Secara simultan setiap
faktor dari mindfulness ini memiliki sumbangan terhadap resiliensi. Seseorang yang compassionate dapat mengelola waktunya lebih baik daripada yang tidak compassionate (Smeets et al., 2014). Salah satu faktor
resiliensi yaitu personal competence, dimana seseorang memiliki kegigihan dan keuletan dalam
melakukan usahanya, membutuhkan pengelolaan waktu yang baik agar tercapai tujuannya. Dengan
menyadari pengalaman buruknya saat ini, seseorang yang memiliki faktor mindfulness dari self-
compassion berusaha untuk melakukan kontrol terhadap dirinya dan menjadikan pengalaman spiritualnya untuk bertahan dalam kondisi buruk tersebut. Kemampuan resiliensi yang dihasilkan ketika
seseorang mau menerima dirinya sendiri yaitu seseorang lebih bisa mempercayai kata hatinya (insting)
dan akan bersikap positif terhadap perubahan. Dengan menjadi lebih resilien atas pengalaman buruk
tersebut, seseorang memiliki sikap dan energi positif dalam dirinya untuk bangkit dan keluar dari penderitaannya itu. Hal ini mendukung seseorang untuk mencapai kebahagiaan dalam hidupnya dan
kesejahteraan hidupnya.
Sekalipun sef-compassion memengaruhi resiliensi, tetapi nilai hubungan ini masih lebih kecil dibandingkan
dengan hubungan resiliensi terhadap kebahagiaan. Hubungan self-compassion dan kebahagiaan melalui mediasi parsial resiliensi dalam penelitian ini, memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan
hubungan secara langsung. Dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki self-compassion memiliki
kontribusi yang kecil terhadap resiliensi agar seseorang bisa bahagia. Selain resiliensi hal yang membuat
orang bisa bahagia yaitu itu proses adaptasi, usia, pendidikan (semakin tinggi pendidikan menjadikan seseorang lebih bahagia karena memberi pekerjaan dan kepuasaan hidup), lingkungan sekitar,
optimisme, hubungan sosial yang positif (Compton, 2005), kebersyukuran dimana telah dianggap
sebagai emosi moral yang memberi pengaruh positif dan emosi positif yang bisa meningkatkan
kebahagiaan (Witvliet, Richie, Root Luna, & Van Tongeren, 2018).
S I M P U L A N
Self-compassion secara langsung dapat menjadi prediktor kebahagiaan. Resiliensi berperan sebagai
mediator dalam hubungan mediasi parsial self-compassion dan kebahagiaan. Pengaruh resiliensi sebagai
mediator dalam hubungan self-compassion terhadap kebahagiaan cukup kecil. Mindfulness dan self-kindness merupakan faktor dari self-compassion yang memberikan sumbangan pada kebahagiaan. Personal
compatence yang merupakan faktor dari resiliensi memberikan sumbangan pada hubungan mediasi
antara self-compassion, resiliensi, dan kebahagiaan. Seseorang yang mampu memberikan belas kasih pada
dirinya sendiri kemudian dimediasi oleh kemampuan untuk bisa bertahan dan bangkit dari kondisi
buruknya, memberikan sumbangan yang signifikan untuk kebahagiaan
Self-compassion dapat melalui resiliensi untuk menentukan kebahagiaan. Akan tetapi peran resiliensi
cukup kecil sebagai mediator dalam hubungan self-compassion dengan kebahagiaan dibandingkan
hubungan secara langsung. Untuk penelitian selanjutnya dapat menyusun model mediasi lain selain resiliensi, seperti kebersyukuran. Berbagai faktor lain penentu kebahagiaan juga dapat dipertimbangkan,
seperti proses adaptasi, usia, pendidikan, lingkungan sekitar, optimisme, dan hubungan sosial yang
positif. Selain itu dengan model penelitian yang sama subjek penelitian dapat menggunakan orang
dengan kasus klinis, survivor penyakit, ataupun korban bencana, sehingga dapat menjelaskan dinamika
resiliensi yang berbeda dari penelitian saat ini.
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
145
D A F T A R P U S T A K A
Algoe, S. B., & Haidt, J. (2009). The Journal of Positive Psychology : Dedicated to furthering research
and promoting good practice Witnessing excellence in action : the ‘ other-praising ’ emotions of elevation , gratitude , and admiration. The Journal of Positivw Psychology, 4(2), 105–127.
https://doi.org/10.1080/17439760802650519 Allen, A. B., Goldwasser, E. R., Leary, M. R., Allen, A. B., & Leary, M. R. (2012). Self and Identity Self-
compassion and Well-being among Older Adults. Self and Identity, 11, 428–453.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1080/15298868.2011.595082
Baer, R. A., Lykins, E. L. B., & Peters, J. R. (2012). The Journal of Positive Psychology : Dedicated to furthering research and promoting good practice Mindfulness and self-compassion as
predictors of psychological wellbeing in long-term meditators and matched nonmeditators.
The Journal of Positive Psychology, 7(3), 230–238. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1080/17439760.2012.674548
Bluth, K., Campo, R. A., Futch, W. S., & Gaylord, S. A. (2016). Age and Gender Differences in the
Associations of Self-Compassion and Emotional Well-being in A Large Adolescent Sample.
Journal of Youth and Adolescence, 0–1. https://doi.org/10.1007/s10964-016-0567-2
Bluth, K., Mullarjey, M., & Lathren, C. (2018). Self-Compassion : A Potential Path to Adolescent
Resilience and Positive Self-Compassion : A Potential Path to Adolescent Resilience and Positive Exploration. Journal of Child and Family Studies, (August).
https://doi.org/10.1007/s10826-018-1125-1
Bremmer. (2011). Theories of Happiness: On The Origins of Happiness and Our Contemporary. Universitas Rheinischen Friedrich-Wilhelms.
Campos, D., Cebolla, A., Quero, S., Bretón-lópez, J., & Botella, C. (2015). Meditation and happiness : Mindfulness and self-compassion may mediate the meditation – happiness relationship
Meditation and happiness : Mindfulness and self-compassion may mediate the meditation – happiness relationship. Personality and Individual Differences, 93, 80–85.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2015.08.040
Compton, W. (2005). An Introduction to Positive Psychology (M. Sarmiento, Ed.). USA: Vicky Knight.
Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a New Resilience Scale: The Connor-
Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18, 76–82. https://doi.org/10.1002/da.10113
Cooper, C. L. (2017). The Handbook of Stress and Health. West Sussex: Willey Blackwell.
Diener, E. (2000). Subjective Well-Being. American Psychologist, 55(1), 34–43.
https://doi.org/10.1037//0003-066X.55.1.34 Fritz, M. M., & Lyubomirsky, S. (2017). Whither happiness? In Whither happiness? (pp. 101–115).
Retrieved from http://sonjalyubomirsky.com/files/2012/09/Fritz-Lyubomirsky-in-press-1.pdf
Galla, B. M. (2017). Journal of Applied Developmental Psychology “ Safe in My Own Mind : ” Supporting Healthy Adolescent Development Through Meditation Retreats. Journal of Applied
Developmental Psychology, 53(April), 96–107. https://doi.org/10.1016/j.appdev.2017.09.006
Hills, P., & Argyle, M. (2002). The Oxford Happiness Questionnaire : a compact scale for the measurement of psychological well-being. Personality and Individual Differences, 33, 1073–1082.
Retrieved from http://www.louisianaparadox.com/wp-content/uploads/2011/01/Hills-Argyle-
2002.pdf Hollis-walker, L., & Colosimo, K. (2011). Mindfulness , self-compassion , and happiness in non-
meditators : A theoretical and empirical examination. Personality and Individual Differences,
50(2), 222–227. https://doi.org/10.1016/j.paid.2010.09.033 Lenner, R., & Steinberg, L. (2009). Handbook of Adolescent Psychology. Khown Wiley&Sons, Inc.
Liew, J., Cao, Q., Hughes, J. N., & Deutz, M. H. F. (2018). Academic Resilience Despite Early Academic
Adversity : A Three-Wave Longitudinal Study on Regulation-Related Resiliency , Interpersonal Relationships , and Achievement in First to Third Grade Academic Resilience Despite Early
Academic Adversity : A. Early Education and Development, 00(00), 1–18. https://doi.org/10.1080/10409289.2018.1429766
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
146
Maten. (2007). Competence, Resilience, and Development in Adolescene: Clues For Prevention
Science. In Intergrating Brain and Prevention (pp. 31–52). New York: Oxford Scholarship Online. Neff, K. D. (2003). The Development and Validation of a Scale to Measure Self-Compassion. Self and
Identity, 2(2), 223–250. https://doi.org/10.1080/15298860390209035
Neff, K. D. (2011). Self-Compassion, Self-Esteem, and Well-Being. Social and Personality Psychology, 5(1),
1–12. Retrieved from https://self-compassion.org/wp-content/uploads/2015/12/SC.SE_.Well-being.pdf
Neff, K. D. (2015). The Self-Compassion Scale is a Valid and Theoretically Coherent Measure of Self-
Compassion. Springer, 1–11. https://doi.org/10.1007/s12671-015-0479-3
Neff, K. D., & Knox, M. C. (2017). Kristin D. Neff and Marissa C. Knox Department of Educational
Psychology, The University of Texas at Austin, Austin, TX, USA. Springer International Publishing, 1–8. https://doi.org/10.1007/978-3-319-28099-8
Neff, K., Rude, S. S., & Kirkpatrick, K. L. (2007). An examination of self-compassion in relation to
positive psychological functioning and personality traits. Journal of Reseach in Personality, 41,
908–916. https://doi.org/10.1016/j.jrp.2006.08.002 Reivich, & Shatte. (2002). The Resilience Factor, 7 Essential Skill For Overcoming Life’s Ineritable Obstacle.
New York: Broadway Books.
Ryff, C. D., & Singer, B. (2000). Interpersonal Flourishing : A Positive Health Agenda for the New
Millennium Interpersonal Flourishing : A Positive Health Agenda for the New Millennium.
Personality and Social Psychology Review, 4(1), 30–44. https://doi.org/10.1207/S15327957PSPR0401
Seligman. (2002). Handbook of Positive Psychology 2.
Seligman, M. E. P., Steen, T. A., Park, N., Peterson, C., & Report, P. (2005). Positive Psychology
Progress Empirical Validation of Interventions. Positive Psychology, 42, 874–884. Selligman. (2002). Handbook of Positive Psychology 2.
Setyowati, A., Hartati, S., & Sawitri, D. R. (2010). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan
Resiliensi Pada Siswa Penghuni Rumah Damai. Jurnal Psikologi Undip, 7(1), 67–75.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/jpu.7.1.67-77
Smeets, E., Neff, K., Alberts, H., & Peters, M. (2014). Meeting Suffering With Kindness : Effects of a Brief Self-Compassion Intervention for Female College Students. Journal of Clinical Psychology,
70(9), 794–807. https://doi.org/10.1002/jclp.22076 Wang, Z., Liu, Y., & Zhang, H. (2014). Resilience as a mediator between extraversion , neuroticism
and happiness , PA and NA. Personality and Individual Differences, 63, 128–133.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2014.01.015
Witvliet, C. van O., Richie, F. J., Root Luna, L. M., & Van Tongeren, D. R. (2018). Gratitude predicts
hope and happiness: A two-study assessment of traits and states. Journal of Positive Psychology, 9760, 1–12. https://doi.org/10.1080/17439760.2018.1424924