tajuk rencana - erepo.unud.ac.id

2
Tulisan opini panjang 900 kata disertai riwayat hidup singkat, foto kopi NPWP, foto diri penulis dikirim ke [email protected]. Bila setelah dua minggu tidak ada pemberitahuan dari redaksi, penulis berhak mengirim ke media lain. Tajuk Rencana Memihak Kebenaran Pemimpin Umum: Sinyo H Sarundajang (Nonaktif) Wakil Pemimpin Umum: Randolph Latumahina Direktur Pemberitaan: Primus Dorimulu Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: ME Aditya Laksmana Yudha Editor at Large: John Riady SP Saatnya KPK Introspeksi S ejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beroperasi pada 2003, kasus kekalahan lembaga tersebut dalam perkara korupsi di Pen- gadilan Tipikor bisa dihitung dengan jari. Reputasi KPK yang hampir selalu menang dalam perkara korupsi di semua tingkat pengadilan hingga Mahkamah Agung (MA), kembali tercoreng oleh putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengadili kasus suap pembangunan proyek PLTU Riau-1 dengan terdakwa mantan Dirut PLN Sofyan Basir. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis bebas Sofyan Basir yang dituntut untuk dijatuhi hukuman lima tahun pidana penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan oleh jaksa penuntut KPK. Sofyan tercatat sebagai terdakwa ketiga yang divonis bebas dalam kasus korupsi oleh pengadilan tingkat pertama. Sebelumnya, Mochtar Mohammad selaku mantan wali kota Bekasi divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung pada 11 Oktober 2011. Demikian juga dengan mantan Bupati Rokan Hulu, Suparman, yang divo- nis bebas Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 23 Februari 2017. Namun, KPK akhirnya memenangi kedua perkara tersebut setelah mengajukan kasasi ke MA. Sebaliknya, KPK juga untuk pertama kalinya pernah kalah di tingkat MA dalam kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. KPK pun mempertimbangkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) dalam kasus tersebut. Tak hanya itu, dalam beberapa kasus, KPK juga kalah di tingkat praperadilan. Catatan kekalahan KPK dalam proses persidangan kasus korupsi sepatutnya menjadi bahan introspeksi, khususnya di kalangan penyelidik dan penyidik. Kita mengetahui bahwa KPK memiliki standard operating procedure (SOP) yang sangat ketat dalam menangani kasus korupsi. Aparat KPK bekerja sangat teliti dan hati-hati, sehingga selama hampir 16 tahun berkiprah, hampir semua tersangka kasus korupsi terpaksa meringkuk di balik jeruji besi. Kekalahan dalam kasus Sofyan Basir menjadi bahan evaluasi, sekaligus pelajaran berharga agar ke depan KPK tidak terpeleset lagi di lembaga peradilan tingkat mana pun. Pimpinan KPK saat ini dan juga yang akan datang perlu secara khusus menelaah kasus ini. Kita khawatir ada SOP internal yang dilanggar, bahkan ada aparat yang teledor dalam menangani kasus tersebut. Sejalan dengan itu, kita terus mendorong KPK menuntaskan kasus korupsi yang menggantung bertahun-tahun dengan menjadikan pengadi- lan sebagai ajang pembuktian kerja profesionalnya. Dengan mengajukan para terdakwa ke meja hijau, KPK bisa menguji sejauh mana SOP internal ditaati dan apabila ditemukan kelemahan, bisa segera diperbaiki. Kita mencatat beberapa kasus dugaan korupsi yang hingga kini belum diajukan ke Pengadilan Tipikor. Mantan direktur utama Pelindo II Richard Joost (RJ) Lino dijerat KPK dalam kasus suap pengadaan quay container crane (QCC) dan ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Desember 2015. Selama menyandang status tersangka selama hampir empat tahun hingga saat ini, Lino hanya sekali diperiksa, yakni pada Februari 2015. Penyidik yang memeriksanya hanya menanyakan data diri dan keluarga, tetapi sama sekali tak menyinggung pokok perkara. Dalam kurun waktu hampir empat tahun itu, Lino juga hanya dicegah bepergian ke luar negeri selama satu tahun. Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar juga telah hampir tiga tahun menunggu disidang setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 19 Januari 2017 dalam kasus suap pengadaan mesin pesawat. Masih ada sejumlah kasus yang hingga kini mangkrak di KPK. Ka- sus-kasus tersebut hendaknya segera diselesaikan agar ada kepastian hukum bagi siapa saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Selain segera mengajukannya ke Pengadilan Tipikor, KPK kini memiliki kewen- angan menghentikan penyidikan perkara korupsi. Hal itu sejalan dengan Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 tentang Pe- rubahan Kedua atas UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.” Penyidik KPK bukanlah malaikat, sehingga bisa melakukan kesalahan dan patut dikoreksi. Koreksi bisa dilakukan setelah ada putusan pengadi- lan yang memutuskan terdakwa menang dalam suatu perkara atau lewat mekanisme penghentian penyidikan sesuai UU 19/2019. M asih lekat dalam ingatan publik janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam debat capres 2019 lalu, yang ingin memangkas ruwetnya peraturan perundang-undangan (regulasi) yang mengganggu proses pengambilan kebijakan pemer- intah, dengan membentuk pusat legislasi nasional. Namun, saat pembentukan Kabinet Indonesia Maju, janji itu belum diwujudkan, dan mengangkat wacana menggu- nakan undang-undang Omnibus (Omnibus Law) sebagai senjata. Hal itu dinyatakan Jokowi saat menyampaikan pidato pelanti- kannya sebagai presiden periode 2019-2024. Black’s Law Dictionary, mengartikan UU Omnibus dengan pemahaman “a single bill containing various distinct matters” (Black’s Law Dictionary, 2004:175). Pendekatan UU Omnibus telah dipraktikkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Irlandia, maupun Suriname. Akan tetapi, terdapat 4 fakta yang memunculkan kesulitan implementasi Omnibus Law di Indonesia, Pertama, soal kelembagaan, proses pembentukan UU setiap negara memiliki perbedaan. Misalnya, di Amerika, penyusunan undang-undang dilakukan oleh kekuasaan legislativ Kongres, yang terdiri dari Senat dan DPR (House of Representatives), sedangkan presiden hanya melakukan veto jika tidak menyetujui suatu RUU. Di Indonesia, penyusunan suatu RUU bisa dilakukan oleh DPR maupun presiden. Dengan demikian, pola UU Omnibus dikembalikan pada political will institusional, yang pada akhirnya sulit dijadikan tradisi secara konsisten. Kedua, karakter UU Omnibus, yang ditujukan pada perubahan desain politik hukum kebijakan negara dibatasi pada suatu tema, karena prinsipnya setiap objek yang diatur dalam UU memiliki dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis yang berbeda. Menjadi berbahaya bila membentuk UU mengambil judul objek yang begitu luas, seperti Perizinan Berusaha, lalu memuat materi yang mencakup belasan objek dari berbagai lintas usaha, seperti perizinan rumah sakit, ketenagalistrikan, pengairan, perkebunan, pendidikan tinggi, pangan, gas bumi, penyiaran, dan sebagainya. Padahal di Amerika sendiri, dikenal pula pembatasan objek pengaturan suatu UU, seperti dalam Konstitusi Negara Bagian California, article 4 Section 9 menyatakan: A statute shall embrace but one subject, which shall be expressed in its title. If a statute embraces a subject not expressed in its title, only the part not expressed is void…” Ketiga , adanya hirarki peraturan perundang-undangan, berdampak pada masing-masing jenis regulasi memiliki batasan materi muatan. Untuk itu, tidak bisa suatu UU mengatur dari hal- hal umum sampai pada pengaturan yang sangat teknis. Keempat, keberlakuan asas preferensi hukum yang sudah lazim digunakan bila ada pertentangan norma, salah satunya asas lex spesialis derogate legi generalis (aturan khusus mengenyampingkan aturan yang umum). Pembentukan UU Omnibus menjadikan karakternya sebagai UU yang bersifat umum. Dengan demikian, bila ada UU terpisah dan mengatur substansi yang sama, maka eksistensinya mengenyampingkan UU Omnibus. Deskripsi-deskripsi ini memberikan justifikasi, bahwa Omnibus Law yang tanpa batasan objek, bukan solusi yang efektif dalam menyelesaikan persoalan regulasi di Indonesia yang sangat kompleks. Sengkarut Regulasi Akar persoalan sengkarut regulasi di Indonesia, disebabkan dari; pertama, banyaknya jenis regulasi di Indonesia; kedua, setiap jenis perundang-undangan dibentuk oleh lembaga-lembaga yang berbeda dengan mekanisme yang berbeda; ketiga, lemahnya harmonisasi terhadap beberapa jenis regulasi; keempat, adanya kewenangan lembaga yang saling beririsan; kelima, pemahaman in- stitusi terhadap kewenangan dalam membentuk regulasi masih lemah. Mendasarkan pada klasifikasi jenis peraturan perundang-undan- gan, ada UUD, undang-undang/ Perppu, peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden, peraturan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD 1945, maupun menteri, badan, komisi, lembaga nonstruktural serta perda provinsi, kabupaten/kota dan peraturan kepala daerah. Pembedaan jenis regulasi berakibat pada beragam- nya lembaga-lembaga pembentuk. UU No 12 Tahun 2011 ten- tang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menentukan 5 tahapan dalam pembentukan aturan, yaitu peren- canaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Setidaknya ada 6 lembaga ditambah dengan jumlah menteri, badan, komisi, lembaga nonstruktural yang membuat perencanaan regulasi sesuai kewenangannya. Sengkarut Regulasi dan “Omnibus Law” Bersambung ke halaman 17 Opini & Editorial 16 Suara Pembaruan Selasa, 5 November 2019 JIMMY Z USFUNAN

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tajuk Rencana - erepo.unud.ac.id

Tu lis an opi ni pan jang 900 ka ta di ser tai ri wa yat hi dup sing kat, fo to ko pi NPWP, fo to di ri pe nu lis di ki rim ke opi ni@sua ra pem ba ru an.com. Bi la se te lah dua ming gu ti dak ada pem be ri ta hu an da ri re dak si,

pe nu lis ber hak me ngi rim ke me dia lain.

Ta juk Ren ca na

Me mi hak Ke be nar an

Pe mim pin Umum: Sinyo H Sarundajang (Nonaktif)

Wa kil Pe mim pin Umum: Ran dolph La tu mah ina

Direktur Pemberitaan:Pri mus Do ri mu lu

Pe mim pin Re dak si/Pe nang gung Ja wab:ME Aditya Laksmana Yudha

Edi tor at Lar ge: John Ri a dy

SP

Saatnya KPK Introspeksi

Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beroperasi pada 2003, kasus kekalahan lembaga tersebut dalam perkara korupsi di Pen-gadilan Tipikor bisa dihitung dengan jari. Reputasi KPK yang hampir

selalu menang dalam perkara korupsi di semua tingkat pengadilan hingga Mahkamah Agung (MA), kembali tercoreng oleh putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengadili kasus suap pembangunan proyek PLTU Riau-1 dengan terdakwa mantan Dirut PLN Sofyan Basir.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis bebas Sofyan Basir yang dituntut untuk dijatuhi hukuman lima tahun pidana penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan oleh jaksa penuntut KPK. Sofyan tercatat sebagai terdakwa ketiga yang divonis bebas dalam kasus korupsi oleh pengadilan tingkat pertama.

Sebelumnya, Mochtar Mohammad selaku mantan wali kota Bekasi divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung pada 11 Oktober 2011. Demikian juga dengan mantan Bupati Rokan Hulu, Suparman, yang divo-nis bebas Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 23 Februari 2017. Namun, KPK akhirnya memenangi kedua perkara tersebut setelah mengajukan kasasi ke MA.

Sebaliknya, KPK juga untuk pertama kalinya pernah kalah di tingkat MA dalam kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. KPK pun mempertimbangkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) dalam kasus tersebut. Tak hanya itu, dalam beberapa kasus, KPK juga kalah di tingkat praperadilan.

Catatan kekalahan KPK dalam proses persidangan kasus korupsi sepatutnya menjadi bahan introspeksi, khususnya di kalangan penyelidik dan penyidik. Kita mengetahui bahwa KPK memiliki standard operating procedure (SOP) yang sangat ketat dalam menangani kasus korupsi. Aparat KPK bekerja sangat teliti dan hati-hati, sehingga selama hampir 16 tahun berkiprah, hampir semua tersangka kasus korupsi terpaksa meringkuk di balik jeruji besi.

Kekalahan dalam kasus Sofyan Basir menjadi bahan evaluasi, sekaligus pelajaran berharga agar ke depan KPK tidak terpeleset lagi di lembaga peradilan tingkat mana pun. Pimpinan KPK saat ini dan juga yang akan datang perlu secara khusus menelaah kasus ini. Kita khawatir ada SOP internal yang dilanggar, bahkan ada aparat yang teledor dalam menangani kasus tersebut.

Sejalan dengan itu, kita terus mendorong KPK menuntaskan kasus korupsi yang menggantung bertahun-tahun dengan menjadikan pengadi-lan sebagai ajang pembuktian kerja profesionalnya. Dengan mengajukan para terdakwa ke meja hijau, KPK bisa menguji sejauh mana SOP internal ditaati dan apabila ditemukan kelemahan, bisa segera diperbaiki.

Kita mencatat beberapa kasus dugaan korupsi yang hingga kini belum diajukan ke Pengadilan Tipikor. Mantan direktur utama Pelindo II Richard Joost (RJ) Lino dijerat KPK dalam kasus suap pengadaan quay container crane (QCC) dan ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Desember 2015. Selama menyandang status tersangka selama hampir empat tahun hingga saat ini, Lino hanya sekali diperiksa, yakni pada Februari 2015. Penyidik yang memeriksanya hanya menanyakan data diri dan keluarga, tetapi sama sekali tak menyinggung pokok perkara. Dalam kurun waktu hampir empat tahun itu, Lino juga hanya dicegah bepergian ke luar negeri selama satu tahun.

Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar juga telah hampir tiga tahun menunggu disidang setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 19 Januari 2017 dalam kasus suap pengadaan mesin pesawat.

Masih ada sejumlah kasus yang hingga kini mangkrak di KPK. Ka-sus-kasus tersebut hendaknya segera diselesaikan agar ada kepastian hukum bagi siapa saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Selain segera mengajukannya ke Pengadilan Tipikor, KPK kini memiliki kewen-angan menghentikan penyidikan perkara korupsi.

Hal itu sejalan dengan Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 tentang Pe-rubahan Kedua atas UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.”

Penyidik KPK bukanlah malaikat, sehingga bisa melakukan kesalahan dan patut dikoreksi. Koreksi bisa dilakukan setelah ada putusan pengadi-lan yang memutuskan terdakwa menang dalam suatu perkara atau lewat mekanisme penghentian penyidikan sesuai UU 19/2019.

Masih lekat dalam ingatan publik janji Presiden Joko Widodo (Jokowi)

dalam debat capres 2019 lalu, yang ingin memangkas ruwetnya peraturan perundang-undangan (regulasi) yang mengganggu proses pengambilan kebijakan pemer-intah, dengan membentuk pusat legislasi nasional. Namun, saat pembentukan Kabinet Indonesia Maju, janji itu belum diwujudkan, dan mengangkat wacana menggu-nakan undang-undang Omnibus (Omnibus Law) sebagai senjata. Hal itu dinyatakan Jokowi saat menyampaikan pidato pelanti-kannya sebagai presiden periode 2019-2024.

Black’s Law Dictionary, mengart ikan UU Omnibus dengan pemahaman “a single bill containing various distinct matters” (Black’s Law Dictionary, 2004:175). Pendekatan UU Omnibus telah dipraktikkan di beberapa negara seperti Amerika Ser ikat , I r landia , maupun Suriname. Akan tetapi, terdapat 4 fakta yang memunculkan kesulitan implementasi Omnibus Law di Indonesia,

Pertama, soal kelembagaan, proses pembentukan UU setiap negara memiliki perbedaan. Misalnya, di Amerika, penyusunan undang-undang dilakukan oleh kekuasaan legislativ Kongres, yang terdiri dari Senat dan DPR (House of Representatives), sedangkan presiden hanya melakukan veto jika tidak menyetujui suatu RUU. Di Indonesia, penyusunan suatu RUU bisa dilakukan oleh DPR maupun presiden. Dengan demikian, pola UU Omnibus dikembalikan pada political will institusional, yang pada akhirnya sulit dijadikan tradisi secara konsisten.

Kedua, karakter UU Omnibus, yang ditujukan pada perubahan desain politik hukum kebijakan negara dibatasi pada suatu tema, karena prinsipnya setiap objek yang diatur dalam UU memiliki dasar filosofis, sosiologis, dan

yuridis yang berbeda. Menjadi berbahaya bila membentuk UU mengambil judul objek yang begitu luas, seperti Perizinan Berusaha, lalu memuat materi yang mencakup belasan objek dari berbagai lintas usaha, seperti perizinan rumah sakit, ketenagalistrikan, pengairan, perkebunan, pendidikan tinggi, pangan, gas bumi, penyiaran, dan sebagainya.

Padahal di Amerika sendiri, dikenal pula pembatasan objek pengaturan suatu UU, seperti dalam Konstitusi Negara Bagian California, article 4 Section 9 menyatakan: A statute shall embrace but one subject, which shall be expressed in its title. If a statute embraces a subject not expressed in its title, only the part not expressed is void…”

Ket iga , adanya h i ra rk i peraturan perundang-undangan, berdampak pada masing-masing jenis regulasi memiliki batasan materi muatan. Untuk itu, tidak bisa suatu UU mengatur dari hal-hal umum sampai pada pengaturan yang sangat teknis.

Keempat, keberlakuan asas preferensi hukum yang sudah lazim digunakan bila ada pertentangan norma, salah satunya asas lex spesialis derogate legi generalis (aturan khusus mengenyampingkan aturan yang umum). Pembentukan UU Omnibus men jad ikan

karakternya sebagai UU yang bersifat umum. Dengan demikian, bila ada UU terpisah dan mengatur substansi yang sama, maka eksistensinya mengenyampingkan UU Omnibus.

Deskr ips i -deskr ips i in i memberikan justifikasi, bahwa Omnibus Law yang tanpa batasan objek, bukan solusi yang efektif dalam menyelesaikan persoalan regulasi di Indonesia yang sangat kompleks.

Sengkarut RegulasiAkar persoalan sengkarut

regulasi di Indonesia, disebabkan dari; pertama, banyaknya jenis regulasi di Indonesia; kedua, setiap jenis perundang-undangan dibentuk oleh lembaga-lembaga yang berbeda dengan mekanisme yang berbeda; ketiga, lemahnya harmonisasi terhadap beberapa jenis regulasi; keempat, adanya kewenangan lembaga yang saling beririsan; kelima, pemahaman in-stitusi terhadap kewenangan dalam membentuk regulasi masih lemah.

Mendasarkan pada klasifikasi jenis peraturan perundang-undan-gan, ada UUD, undang-undang/Perppu, peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden, peraturan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD 1945, maupun menteri, badan, komisi, lembaga nonstruktural serta perda provinsi, kabupaten/kota dan peraturan kepala daerah. Pembedaan jenis regulasi berakibat pada beragam-nya lembaga-lembaga pembentuk.

UU No 12 Tahun 2011 ten-tang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menentukan 5 tahapan dalam pembentukan aturan, yaitu peren-canaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Setidaknya ada 6 lembaga ditambah dengan jumlah menteri, badan, komisi, lembaga nonstruktural yang membuat perencanaan regulasi sesuai kewenangannya.

Sengkarut Regulasi dan “Omnibus Law”

Bersambung ke halaman 17

Opi ni & Edi to ri al16 Sua ra Pem ba ru an Selasa, 5 November 2019

Jimmy Z UsfUnan

Page 2: Tajuk Rencana - erepo.unud.ac.id

Tahapan penyusunan per-aturan perundang-undangan, terdapat proses harmonisasi, yang dilakukan oleh Kemen-terian Hukum, dengan mak-sud mensinkronkan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, peraturan yang lebih tinggi, putusan pengadilan, serta mendukung kebijakan di bidang perkenomian, seperti kemudahaan berusaha atau investasi, dan perizinan yang sederhana (tidak berbelit-belit).

Akan tetapi UU P3, termasuk UU 15/2019 pe-rubahan UU P3, tidak men-gatur harmonisasi peraturan kementerian/LPNK, lembaga nonstruktural, badan, dan komisi. Sehingga, lembaga tersebut rentan menerbit-kan regulasi yang melebihi kewenangannya dan tidak harmonis dengan aturan vertikal maupun sederajat. Ironisnya, pemerintah daerah dihadapkan dengan kebin-gungan memilih aturan yang hendak dijadikan rujukan.

Problematika regulasi di Indonesia, tidak akan pernah terjawab melalui Omnibus Law, melainkan menjalankan sistem yang telah dirancang dalam UU 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU 12/2011. Langkah dimaksud adalah membangun sentralisasi kebijakan di bidang regulasi mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, harmonisasi RUU serta harmonisasi rancangan PP, rancangan Perpres dan Ranperda Provinsi, begitu juga pemantauan terhadap undang-undang. Kebijakan satu pintu ini dapat berjalan efektif, setelah Presiden menjalankan perintah UU 15/2019 untuk membentuk kementerian atau lembaga khusus yang menyelengga-rakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan per-aturan perundang-undangan.

Penulis adalah dosen hukum TaTa negara

Fh universiTas udayana, Bali

17Sua ra Pem ba ru an Selasa, 5 November 2019 Opi ni & Edi to ri al

Ha ri an Umum So re Sua ra Pem ba ru an

Mu lai ter bit 4 Feb rua ri 1987 se ba gai ke lan jut an da ri ha ri an umum so re Si nar Ha rap an yang ter bit per ta ma 27 ap ril 1961.

Pe ner bit: pT Me dia in ter ak si Uta maSK Men pen ri no mor 224/SK/MEn pEn/SiUpp/a.7/1987

Pre si den Di rek tur: Theo L Sam bua ga, Di rek tur: ran dolph La tu mah ina, Drs Luk man Dja ja MBaAla mat Re dak si: Be ri ta Sa tu pla za, lan tai 11

Jl Jend Ga tot Su bro to Kav 35-36 Ja kar ta-12950, Te le pon (021) 2995 7500, Fax (021) 5277 981Be Ri tA SA tu Me DiA Hol DingS: Pre si dent Di rec tor & Ceo: Sinyo H Sarundajang (nonaktif), Deputy Ceo: Johannes Tong, edi tor at lar ge: John ri a dy,

Fi nan ce Di rec tor: Luk man Dja ja

De wan Re dak si: Theo L Sambuaga (Ke tua), Mar kus par ma di, Sinyo H Sarundajang, Bak tin en dra pra wi ro MSc, ir Jo na than L pa ra pak MSc, Di dik J rach bi ni, Sa muel Ta hir, Pe na si hat Se ni or: Sa muel Ta hir, Re dak tur Pe lak sa na: Dwi ar go San to sa, Asis ten Re dak tur Pe lak sa na: an sel mus Ba ta, as ni Ovier De ngen pa luin, Re dak tur: alexan der Mad ji, Ber na dus Wi ja ya ka, ira wa ti Di ah as tu ti, Sya frul Mar dhy pa sa ri bu, Sur ya Les ma na, Yu li an ti no Si tu mo rang, Ung gul Wi ra wan, Wil ly Ma sa ha ru, Asis ten Re dak tur: El vi ra an na Si a ha an, Sip ri a nus Edi Har dum, He ri S So ba, Je is Mon te so ri, Je a ny a ai pas sa, Staf Re dak si: ari Su pri yan ti ri kin, Car los KY pa ath, Di na Ma na fe, Er win C Si hom bing, Fa na FS put ra, Gar di Ga za rin, Hen dro D Si tu mo rang, Hot man Si re gar, Jo a ni to De Sao jo ao, Lo na Ola via, na ta sia Chris ty Wa hyu ni, ro ber tus War di, ruht Se mio no, Ye re mia Su ko yo, adi Mar si ela (Ban dung), Fus ka Sa ni Eva ni (Yog ya kar ta), i nyom an Mar dika (Den pa sar), Lau ren sius Dami (Se rang), ar nold H Si an tu ri (Me dan), John Dafril Lory (palu), Mikael niman (Bekasi), ra des man Sa ra gih (Jam bi), ro bert isi do rus Van wi (pa pua), Ste fy The nu (Se ma rang), Us min (Beng ku lu), Ke pa la Sek re ta riat Re dak si: rul ly Sat ri a di, Ko or di na tor ta ta le tak: ro mmy Likumahwa, Ko or di na tor grafis: an to nius Bu di nur ca hyo.

Advertising: Deputy Director: Sri re je ki Lis tyo ri ni, general Manager: Djemmy piether, Senior Manager: Benediktus Utoro, arlan Darmawan, Sontry napitupulu,Mar comm & event Management: general Manager: Sari Oetomo, Manager: Herry Wardiyanto, event officer: Budiman Mulyadi,

Circulation: amson nainggolan, Finance: anna Gertruida, Ala mat ik lan: Be ri ta Sa tu pla za, lan tai 9, Jl Jend Ga tot Su bro to Kav 35-36 Ja kar ta-12950, Re ke ning: Bank Man di ri Ca bang Ja kar ta Ko ta, rek Gi ro: a/C.115.008600.2559, BCa Ca bang pla za Sen tral rek. Gi ro no. 441.30.40.755 (ik lan), BCa Ca bang pla za Sen tral rek. Gi ro no. 441.30.40.747 (Sir ku la si),

Har ga lang ga nan: rp 75.000/ bu lan, Ter bit 6 ka li se ming gu. Lu ar Ko ta per pos mi ni mum lang ga nan 3 bu lan ba yar di mu ka di tam bah ong kos ki rim. Ala mat Sir ku la si: Ho tel arya du ta Se mang gi, To wer a First Flo or, Jl Gar ni sun Da lam no. 8 Ka ret Se mang gi, Ja kar ta 12930, Telp: 29957555 - 29957500 ext 3206 Per ce tak an: pT Gra me dia

http://www.sua ra pem ba ru an.com e-mail: ko ransp@sua ra pem ba ru an.com

War ta wan Sua ra Pem ba ru an di leng ka pi de ngan iden ti tas di ri. War ta wan Sua ra Pem ba ru an ti dak di per ke nan kan me ne ri ma pem be ri an da lam ben tuk apa pun da lam hu bung an pem be ri ta an.

Sengkarut... sambungan dari hal 16

Langkah kaum hawa dalam kanal perpoli t ikan saat in i b isa d ib i lang terus

menggeliat, meskipun sejumah tantangan diskriminatif masih terus mengadang. Di tataran mon-dial, sebagaimana temuan Inter Parlementary Unit (IPU), jumlah keanggotaan perempuan di parlemen menunjukkan peningkatan, yakni sebanyak 0,5%, dengan total 22,6%.

Amerika, misalnya memiliki 22,7% anggota parlemen perempuan, naik 0,8% dari periode sebelumnya. Di Afrika meningkat 0,7% menjadi 23,2%. Di negara Eropa, juga terjadi lonjakan sebanyak 0,4% menjadi 25,4%, dan di negara Arab men-galami peningkatan 0,3% menjadi 17,5%. Sebaliknya, di negara Asia Pasifik hanya menghasilkan kenai-kan 0,1%.

Data tersebut, sedikit tidaknya tercermin dalam potret parlemen kita. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pemilu 2019 ada 118 kursi (20,5%) yang diduduki anggota Dewan perempuan. Ini meningkat jika dibandingkan pada Pemilu 2014, di mana persentase perempuan yang duduk di kursi parlemen hanya 14,3% (97 orang). Di Pemilu 2009, keterwakilan perempuan sebanyak 18% (101 orang), lebih baik diband-ingkan di Pemilu 2004, yakni 11% (61 orang). Bahkan kini DPR kita untuk pertama kalinya memiliki ketua seorang perempuan, yakni Puan Maharani, yang merupakan politisi PDI-P.

Perjuangan Representasi Peningkatan tersebut patut

disyukuri. Hal itu menunjukkan ada kesadaran politik perempuan dalam memacu potensi dirinya untuk berkiprah di ruang publik, ruang yang selama ini dianggap maskulin.

Kehadi ran perempuan d i parlemen sesungguhnya merepre-sentasikan komitmen parpol yang terus berbenah dalam mereformasi cara pikir maskulinnya terhadap perempuan. Parpol memiliki peran yang signifikan dalam membuka ruang bagi promosi kepesertaan perempuan dalam dunia politik, karena dalam sistem perpolitikan di Indonesia, parpol-lah yang memiliki peran kunci mendesain pengaturan praktik representasi politik perem-

puan. Syarat kuota 30% yang wajib dipenuhi parpol bagi perempuan, misalnya, merupakan salah satu rekayasa rekrutmen untuk mengeska-lasi animo dan keterpilihan politik perempuan di ranah elektoral.

Mengafirmasi partisipasi poli-tik perempuan di tengah kurungan “polarisasi ruang” (domestik dan publik) yang dialami perempuan melalui desain seperti itu, setidak-nya berpotensi membantu daya penetrasi subminoritas perempuan untuk masuk dalam ruang kontestasi kebijakan maupun representasi, melalui artikulasi suara dan kepent-ingan rakyat yang lebih inklusif dan demokratis.

Representasi dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksi secara sosial dan disajikan kepada kita serta oleh kita di dalam pemaknaan tertentu (Barker dalam Budianto, 2019:27).

Stuart Hall dalam Reprentation Cultural Representations and Sig-nifying Practices (1997) membagi representasi dalam dua makna: 1) representasi mental, sesuatu konsep yang bersifat abstrak yang melekat di dalam kepala, 2) representasi bahasa yang membentuk makna untuk menghubungkan konsep dengan tanda atau simbol tertentu.

Peran perempuan dalam politik sebagai instrumen untuk mend-ekatkan suara dan kepentingan perempuan dengan pusat pengam-bilan kebijakan tidak bisa hanya bergerak di dalam kesadaran, namun ia harus dapat diaksentuasi melalui praktek politik yang berpihak pada perspektif kesetaraan, terhadap

kelompok minoritas, yakni kaum perempuan.

Keberhasilan Partai Nasdem menempatkan 19 orang kader perem-puan di DPR periode 2019-2024, atau 32,2% dari keseluruhan jumlah anggota terpilih yang sebanyak 59 orang, bisa menjadi inspirasi bagi partai-partai lain untuk mengambil bagian dalam ceruk memperjuangkan representasi politik perempuan di masa mendatang, khususnya menyongsong pilkada 2020 yang berlangsung di 270 daerah.

Akan tetapi, untuk “memak-sakan” hadirnya suatu kebijakan yang memberikan solusi nyata bagi masalah-masalah perempuan, tidak cukup dengan mengejar target angka (politis) semata. Partai politik harus memiliki ideologi keadilan gender yang solid dan visioner untuk mem-bangun gagasan keadilan gender secara kontinu. Hal itu terutama ditujukan bagi kader-kadernya yang berada di parlemen agar pikiran-piki-ran emansipatif perempuan bisa bertransformasi menjadi wacana dan aksi yang dapat dikontestasikan di ruang politik hingga ruang publik.

Menanti PerempuanSegudang masalah perempuan

sudah menanti para politisi perem-puan di parlemen dalam lima tahun ke depan, mulai dari tingginya angka buta huruf perempuan, perdagangan orang yang didominasi perempuan, angka kematian ibu melahirkan, min-imnya tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja, serta perlakuan tidak adil yang menimpa perempuan di dunia kerja termasuk di birokrasi.

Menurut data Kemendikbud (September 2018), masih ada 2.258.990 orang perempuan yang buta aksara. Kementerian Pemberda-yaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menyitir 70% korban perdagangan orang di Indonesia adalah perempuan dan anak-anak. Setiap hari, 38 orang ibu di Indonesia meninggal dunia akibat penyakit/komplikasi terkait kehamilan dan persalinan (Alchadi, 2019).

Dalam soal partisipasi kerja, menurut BPS, per Februari 2018, jumlah perempuan yang bekerja masih tertinggal (55,44%) dibanding laki-laki (83,01%). Ini antara lain disebabkan perlakuan tidak adil terhadap perempuan, misalnya,

dalam hal upah. Menurut BPS hingga Februari 2019 rata-rata upah buruh perempuan di Indonesia hanya Rp 2,3 juta per bulan, lebih kecil daripada upah yang diterima laki-laki yakni Rp 3,5 juta per bulan.

Hawa tak sejuk juga terjadi di birokrasi, sebagaimana survei Cakra Wikara Indonesia (CWI), yang menyimpulkan adanya ket-impangan distribusi jabatan tinggi antara PNS perempuan dan laki-laki pada birokrasi di 34 kementerian. Perempuan yang menduduki ja-batan tinggi/eselon (I-V) sebelum berlakunya UU ASN hanya 22,38%, dan meningkat sedikit menjadi 23,48% setelah UU ASN berlaku.

Di daerah juga sama. Walau-pun PNS perempuan meningkat dari tahun ke tahun (tahun 2018, terdapat 51% PNS perempuan di seluruh Indonesia), namun tidak dibarengi peningkatan signifikan pada jabatan struktural. Secara nasional hanya 13% jabatan utama dan madya yang diduki perempuan. Ini karena karier yang ditempuh oleh perempuan sangat rumit. Di daerah, PNS perempuan harus menghabiskan 15-20 tahun untuk mencapai posisi eselon IV, sedangkan di kementerian atau institusi pusat hanya butuh waktu 4-6 tahun.

Bagi para politisi perempuan di parlemen, publik akan menantang komitmen dan keseriusan bagaimana memanfaatkan panggung politik yang sudah dipercayakan, dengan menyinergikan seluruh agenda poli-tik perempuan dalam wujud aksi-aksi yang terfokus. Harapannya, memberi dampak bagi lahirnya formulasi strategi kebijakan atau regulasi pro-gender dalam menyelesaikan masalah-masalah keperempuanan di atas.

Kita berharap, sosok Puan Maharani mampu menjadi inisia-tor untuk mendorong terciptanya sistem politik yang memproteksi politisi perempuan dari hawa politik pragmatisme, yang akan semakin melemahkan mereka dalam mengakumulasi kepercayaan dan dukungan publik dalam membuat terobosan-terobosan kinerja yang positif dan pro-keadilan gender. Semoga!

Penulis adalah dosen FisiP universiTas nusa Cendana, kuPang

(Kaum) Hawa Politik Parlemen

UmbU TW PariangU