pergeseran norma hukum waris pada masyarakat adat patrilineal
TRANSCRIPT
65
Pergeseran Norma Hukum Waris Pada Masyarakat Adat Patrilineal
Sonny D. Judiasih, Afifah Syakira, Natalia Karelina,
Noer A. Januariska,Purri Trirani, Zeira Nabilla
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Submit: 26-09-2020; Review: 11-12-2020; Terbit: 21-06-2021
Abstract
In patrilineal system, the familial line is descended from the male side of the
family, whereas the female could not be regarded as the heir to the family. This
study aims to analyze the change of the norms in patrilineal inheritance system,
using legal normative research mainly from literature studies. The result of this
study shows that there is a change towards the recognition of the rights of widows
and female descendants in terms of inheritance. It is mainly caused by some
aspects, such as religions, lifestyles, which weaken the communal attachment, and
the increase of women’s roles within the family. The changes of the norms are
also acknowledged and applied in several yurisprudences, which indicates that
they have been legally accepted and therefore function as legal references.
However, the changes of the norms is not broadly applied for the whole
patrilineal indigenous people, but only within certain groups, in line with the
persuasive force of jurisprudence that is acknowledged in Indonesia.
Keywords: Adat Law, Inheritance Customary Law, Patrilineal Inheritance
Customary Law.
Abstrak
Sistem kekerabatan patrilineal murni menjadikan anak laki-laki sebagai
waris dari pihak bapak, sedangkan anak perempuan tidak dapat berkedudukan
sebagai ahli waris. Namun, seiring dengan perkembangan yang ada terdapat
perubahan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam lingkup keluarga maupun
masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengkaji pergeseran corak/norma hukum
waris adat patrilineal akibat perubahan-perubahan yang terjadi. Metode penelitian
yang digunakan adalah yuridis normatif dengan mengutamakan penelusuran
literatur. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi pergeseran norma hukum
waris adat dalam masyarakat patrilineal yang mengakui kedudukan anak
perempuan sebagai ahli waris dan janda sebagai pihak yang berhak atas harta
warisan suaminya. Pergeseran tersebut didasarkan pada beberapa aspek seperti
pengaruh agama, perkembangan gaya hidup yang mengakibatkan menurunnya
ikatan komunal, dan peningkatan peran perempuan di dalam keluarga. Pengakuan
kedudukan anak perempuan dan janda ketika terjadi pewarisan diakui dalam
beberapa putusan, sehingga beberapa putusan tersebut merupakan yurisprudensi
dan dapat menjadi suatu acuan hukum yang menggambarkan terjadinya
pergeseran hukum waris adat patrilienal. Namun, pergeseran norma hukum waris
adat patrilineal tersebut hanya terjadi di beberapa kelompok/kalangan tertentu saja
tergantung pada perkembangan budaya serta kebutuhan dari kalangan yang
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 66
bersangkutan sesuai dengan prinsip persuasive force of precedent yang berlaku di
Indonesia.
Kata Kunci: Hukum Adat, Hukum Waris Adat, Hukum Waris Adat
Patrilineal.
Pendahuluan
Pada dasarnya pewarisan
adalah suatu perpindahan segala
hak dan kewajiban seseorang
yang meninggal kepada para
ahli warisnya. Adapun pengertian
dari hukum waris adalah hukum
yang mengatur tentang peralihan
harta kekayaan yang ditinggalkan
seseorang yang meninggal serta
akibatnya bagi para ahli warisnya
(Effendi Perangin, 2018 : 3 ).
Hukum waris di Indonesia
bersifat pluralistik, yakni terdapat
hukum waris Eropa (menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata),
hukum waris Islam, dan hukum
waris adat. Adanya pluraristik
hukum tersebut tidak dapat
dilepaskan dari adanya pembagian
hukum dan golongan pada masa
penjajahan (Pasal 131 dan Pasal 163
Indische Staatregeling) sehingga
hukum waris Barat berlaku untuk
golongan Eropa dan Timur Asing
Tionghoa sedangkan hukum waris
adat berlaku bagi golongan
Bumiputera. Untuk masyarakat yang
beragama Islam, maka hukum waris
Islam juga dapat diberlakukan.
Setelah Indonesia merdeka, maka
pada dasarnya ketentuan hukum
yang berlaku pada masa penjajahan
tetap diberlakukan selama belum ada
peraturan terbaru yang mengaturnya
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
I Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945). Dengan
demikian, hukum waris adat masih
dapat diberlakukan bagi masyarakat
golongan Bumiputera di Indonesia.
Pemberlakuan hukum adat di
Indonesia juga diakui sebagaimana
dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan dan prinsip
Negara Kesatuan Indonesia.
Sistem kewarisan di indonesia
tidak dapat dipisahkan dari sistem
kekeluargaan yang ada di masing-
masing masyarakat hukum adat
(Sonny Dewi Judiasih, Hazar
Kusmayanti, dan Deviana
Yuanitasari, 2020 : 68). Hukum adat
67 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
di Indonesia memiliki 3 (tiga) sistem
kekeluargaan yaitu patrilineal,
matrilineal, dan parental. Dengan
demikian, hukum waris adat itu
sendiri bersifat pluralistik
dikarenakan terdapat sistem
kekerabatan yang berbeda. Sistem
kekeluargaan patrilineal menarik
sistem keturunan dari garis
keturunan ayah atau leluhur laki-laki.
Pada sistem kekeluargaan matrilineal,
ditarik garis keturunan dari ibu atau
keturunan leluhur perempuan.
Sedangkan sistem parental menarik
garis keturunan baik dari pihak ayah
maupun ibu, sehingga pada sistem
ini tidak ada perbedaan antara
kedudukan ayah maupun ibu. Hukum
waris adat juga memperhatikan asas
kesamaan hak, kerukunan dan
kekeluargaan, ke Tuhanan,
musyawarah dan mufakat, dan
keadilan serta parimirma. (Hilman
Hadikusuma, 2015 : 21).
Perpindahan harta warisan harus
mampu dilakukan dengan jalan
kekeluargaan, dengan menjadikan
musyawarah dan kebersamaan
sebagai rujukannya.
Hukum adat merupakan salah
satu sumber hukum yang penting
dalam rangka pembangunan hukum
nasional yang menuju ke arah
peraturan perundang-undangan.
Unsur-unsur kejiwaan hukum adat
yang berisikan kepribadian bangsa
Indonesia perlu dimasukkan ke
dalam peraturan hukum baru agar
hukum yang baru itu sesuai dengan
dasar keadilan dan perasaan hukum
masyarakat Indonesia. Beragam
permasalahan yang timbul dalam
kehidupan masyarakat tersebut sudah
pasti menghendaki pemecahan atau
solusi yang secepat dan segera
mungkin dalam rangka menjaga
kenyamanan dan ketenteraman itu
sendiri (Bravo Nangka, 2019 : 145).
Hukum adat pada satu sisi akan
berhadapan, berkompetensi, saling
mempengaruhi, atau bahkan
bergerak mendekat pola-pola baru
(Sonny Dewi Judiasih, Hazar
Kusmayanti, dan Deviana
Yuanitasari, 2020 : 84). Dewasa ini
terdapat perubahan nilai-nilai dan
pola pikir dalam masyarakat,
khususnya dalam masyarakat
patrilineal terkait hak dan kedudukan
perempuan di dalamnya. Pada
mulanya pewarisan patrilineal
ditujukan kepada anak laki-laki
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 68
dikarenakan anak laki-laki memiliki
peran dan tanggung jawab yang
besar sebagai penerus garis
keturunan keluarga dan pengganti
kedudukan bapak. Hal tersebut tidak
demikian dengan isteri maupun anak
perempuan, sehingga terhadap
mereka tidak diberi hak apapun.
Dengan berkembangnya gaya hidup
dan pola pikir masyarakat, maka
beberapa masyarakat adat tidak lagi
menerapkan corak-corak perilaku
dan hukum adat sepenuhnya seperti
masyarakat terdahulu. Peran dan
kedudukan isteri serta anak
perempuan secara sosial budaya
mengalami perubahan, dimana isteri
dan anak perempuan turut memiliki
peran dalam mengurus kepentingan
keluarga. Selain daripada itu,
terdapat pula beberapa putusan atau
yurisprudensi yang juga mengakui
kedudukan anak perempuan dan
janda dalam hal pewarisan pada
perkembangannya, mulai dari
Putusan Mahkamah Agung Nomor
No. 179/K/Sip/1961 di tahun 1961
hingga putusan yang di tahun-tahun
terakhir ini dikeluarkan seperti
contohnya Putusan Nomor
35/PDT/2016/PT.DPS. Putusan-
putusan tersebut pada dasarnya
mengakui hak anak perempuan
sebagai ahli waris, mengakui hak
janda atas harta gono gini, atau
mengakui hak janda sebagai ahli
waris dari suaminya. Hal itu
menunjukkan bahwa pergeseran
norma hukum waris adat patrilineal
memang terjadi dan diakui menurut
hukum bahkan hingga saat ini.
Penelitian dalam rangka pembuatan
artikel ini mengkaji lebih lanjut
mengenai pergeseran norma-norma
hukum waris adat patrilineal pada
masyarakat adat tersebut, khususnya
yang berkaitan dengan masyarakat
patrilineal Bali, Batak, dan Lampung,
terkait hak dan kedudukan anak
perempuan dan isteri/janda dalam hal
pewarisan. Dengan demikian,
identifikasi masalah yang akan
dibahas adalah: 1) Bagaimana
pergeseran norma hukum waris pada
masyarakat adat patrilineal, terutama
dalam kaitannya dengan kedudukan
serta hak anak perempuan maupun
janda dalam pewarisan? 2)
Bagaimana pengaruh yurisprudensi
terhadap pergeseran hukum waris
pada masyarakat adat patrilineal?
69 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
Metode Penelitian
Untuk mengkaji permasalahan
diatas, maka jenis penelitian yang
digunakan dalam penulisan ini
adalah penelitian yuridis normatif
yang mengutamakan penelusuran
literatur, dengan pendekatan
perundang-undangan, pendekatan
konsep, dan pendekatan historis.
Bahan-bahan hukum yang diperoleh,
dikumpulkan, dan disusun secara
sistematis selanjutnya dianalisis dan
dikaji keterkaitannya satu sama lain.
Hasil dan Pembahasan
Pergeseran Norma Hukum Waris
Adat Patrilineal Terkait
Kedudukan Anak Maupun Janda
a) Masyarakat Adat Bali
Sesuai hukum adat yang berlaku,
sistem kekerabatan di Bali adalah
patrilineal (Wahyu Satria Wana
Putra Wijaya, Agung Basuki
Prasetyo, dan Triyono, 2016 : 2).
Anak laki-laki di Bali berkedudukan
sebagai “purusa” atau “kapurusa”,
yang merupakan ahli waris garis
keturunan ayah. Anak perempuan
dapat menjadi ahli waris apabila dia
berkedudukan sebagai sentana, hal
mana terjadi apabila seorang ayah
hanya memiliki keturunan
perempuan. Anak sulung pria
memiliki tanggung jawab sebagai
kepala rumah tangga, baik dalam
kedudukan adat maupun terhadap
kekayaan keluarganya (Hilman
Hadikusuma, 2015 : 73).
Anak sulung pria pada dasarnya
memiliki kedudukan sebagai
pengganti orang tua yang telah
meninggal dalam mengurus keluarga
(Ni Luh Gede Praresti Dangin, 2015
: 8). Anak perempuan akan
meninggalkan keluarga dan masuk
ke dalam keluarga suaminya. Atas
dasar itu dapat dipahami mengapa
pada dasarnya masyarakat adat Bali
tidak mewariskan hartanya kepada
anak perempuan.
Kedudukan dan peran kaum
perempuan dalam keluarga
masyarakat Bali semakin
berkembang di mana mereka turut
serta dalam mencari nafkah,
mengurus, serta mengambil
keputusan bagi keluarga. Di sisi lain,
hal itu menyebabkan peran dan
tanggung jawab laki-laki tidak
sebesar masyarakat adat Bali
terdahulu. Terlebih di masyarakat
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 70
modern saat ini, terdapat penurunan
tingkat kepatuhan terhadap
pelaksanaan kaidah-kaidah hukum
adat yang menyebabkan ada
beberapa tanggung jawab adat yang
tidak dilaksanakan seperti halnya
masyarakat terdahulu. Perkembangan
peran perempuan dalam hubungan
kekeluargaan masyarakat Bali
nampak bahwa: perempuan memiliki
kontribusi sebesar 46,5% terhadap
ekonomi keluarga, perempuan
dengan ekonomi kelas menegah ke
bawah memiliki kontribusi sebesar
65 % untuk keluarga, dan perempuan
dengan ekonomi kelas menengah ke
atas memiliki kontribusi sebesar 49%
untuk keluarga (Putra Astiti dan tim
dalam Ni Ketut Sri Utari, 2006 : 7-
8).
Selain hukum adat, gaya hidup
dan kepercayaan masyarakat di Bali
juga didasarkan pada ajaran agama
Hindu. Kedudukan perempuan, yakni
ibu dan anak-anak perempuan, diakui
dan dihormati dalam ajaran agama
Hindu, sebagaimana tercantum
dalam Bab III Sloka 58 dan 59 serta
Bab IX. 96 Kitab Suci Manawa
Dharmacastra.
Perkembangan gaya hidup dan
peran perempuan perlu untuk turut
disertai dengan perkembangan
kaidah hukum termasuk hukum adat,
berdasarkan asas yang dianut dalam
hukum adat itu sendiri seperti asas
kesamaan hak, asas
kerukunan/kekeluargaan, dan asas
keadilan. Bukti adanya pergeseran
norma hukum waris adat dalam
masyarakat Bali itu sendiri adalah
dengan dikeluarkannya keputusan
Majelis Ulama Desa Pakraman Bali
dengan Keputusan Pasamuhan
Agung III MUDP Bali Nomor
01/Kep/PSM-3/MDP.Bali/X/2010
tanggal 15 Oktober 2010. Beberapa
poin-poin dari keputusan itu adalah:
(Wahyu Satria Wana Putra Wijaya,
Agung Basuki Prasetyo, Triyono,
2016 : 4-5) :
1) suami dan isteri memperoleh hak
yang sama terhadap harta
gunakaryanya (harta bersama yang
diperoleh selama perkawinan); 2)
Anak kandung (perempuan) serta
anak angkat (perempuan) yang
belum kawin pada dasarnya
mempunyai kedudukan yang sama
terhadap harta gunakarya orang
tuanya, setelah dikurangi sepertiga
71 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
sebagai duwe tengah (harta bersama)
untuk dikuasai oleh anak yang
melanjutkan swadharma dan
tanggung jawab orang tuanya.
Keputusan MUDP Bali tersebut
juga diakui dan diterapkan di
beberapa desa yakni Desa Pakraman
Kesiman, Pakraman Sumerta, dan
Pakraman Panjer (Wahyu Satria
Wana Putra Wijaya, Agung Basuki
Prasetyo, Triyono, 2016 : 5). Melalui
Keputusan Pasamuhan Agung III
MUDP Bali Nomor 01/Kep/PSM-
3/MDP.Bali/X/2010 tersebut, maka
dapat dilihat bahwa terdapat
sekelompok masyarakat Bali yang
sudah mengakui hak janda dan anak
perempuan sebagai bentuk
perkembangan living law dari hukum
waris adat Bali sesuai perkembangan
nilai sosial budaya dari masyarakat
itu sendiri. Perkembangan itu,
meskipun dilakukan oleh
sekelompok masyarakat, telah
menunjukkan pergeseran norma
hukum waris patrilineal di Bali yang
semula hanya mengutamakan hak
waris adat bagi anak laki-laki. Hal itu
sesuai dengan sifat hukum adat yang
memang tidak tertulis dan dinamis
(Sulastriyono dan Sartika Intaning
Pradhani, 2018: 450), sehingga tidak
bersifat rigid terhadap perubahan di
masyarakat.
Masyarakat Adat Lampung
Masyarakat adat Lampung
menganut sistem kekerabatan
patrilineal dimana garis
kekerabatannya ditarik berdasarkan
garis keturunan laki-laki, sehingga
anak perempuan tidak mewaris.
Menurut Wirjono, janda perempuan
di Lampung tetap merupakan bagian
dari keluarga suami, dan dengan
demikuan pada umumnya janda
perempuan itu tidak akan terlantar
dan akan tetap menikmati barang-
barang yang ditinggalkan oleh
suaminya yang wafat (Hilman
Hadikusuma, 2015 : 84-85).
Sekarang ini banyak masyarakat
adat Lampung memberikan harta
warisan kepada anak laki-laki
maupun anak perempuan, terlebih
mengingat sifat hukum adat yang
bersifat dinamis. Keberadaan serta
tumbuh dan berkembangnya hukum
adat seiring dengan masyarakat
tersebut. (GT Muzainah, 2014: 15).
Berdasarkan pengamatan salah satu
penulis, Afifah Syakira, sebagai
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 72
penduduk asli Lampung, kasus
seperti ini sudah banyak terjadi di
daerah Lampung itu sendiri, seperti
di daerah Kotabumi, Lampung Utara.
Di daerah Kotabumi, Lampung Utara,
terdapat beberapa keluarga yang
memberikan harta warisan kepada
anak perempuannya. Begitu pula
dengan masyarakat adat Lampung
yang sudah merantau ke luar kota,
dimana ikatan komunal dan
patrilineal tidak lagi sekuat seperti
masyarakat adat terdahulu
dikarenakan perbedaan jarak/tempat
dan perkembangan kultur serta
kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Namun demikian, belum ada
pergeseran norma yang signifikan
untuk kedudukan janda sebagai ahli
waris dalam masyarakat adat
Lampung. Selain itu, untuk beberapa
masyarakat Lampung, pembagian
harta warisan didasarkan pada
hukum waris Islam atau dapat
dipengaruhi oleh hukum waris Islam
yang pada dasarnya tidak hanya
mengakui hak anak laki-laki saja.
Masyarakat Adat Batak
Hukum waris adat masyarakat
Batak menganut sistem patrilineal,
sehingga yang berhak mewaris
adalah anak laki-laki. Dalam hal-hal
tertentu, pihak perempuan bisa saja
mendapatkan harta dari keluarganya,
misalnya dari orang tua dan/atau
saudaranya, yang diperoleh atas
dasar pemberian tetapi tetap tidak
dalam kedudukannya sebagai ahli
waris.
Dalam sistem Patrilineal, isteri
yang menjadi janda juga tidak
berkedudukan sebagai ahli waris.
Janda hanya memiliki hak untuk
menikmati, mengambil manfaat, dan
mendapatkan nafkah dari harta
peninggalan suami, bahkan janda
tersebut dapat menikah dengan
saudara dari suaminya. Hal itu
dikarenakan akibat perkawinan jujur,
janda sudah menjadi bagian dari
keluarga suaminya sehingga ia akan
diurus oleh keluarga suaminya. Pada
umumnya, isteri dalam masyarakat
patrilineal juga tidak diakui haknya
sebagai pemilik harta bersama atau
harta pencaharian yang diperoleh
selama perkawinan (harta gono gini).
Hilman Hadikusuma menyatakan
bahwa di lingkungan masyarakat
patrilineal seperti di Batak,
Lampung, dan Bali, pada dasarnya
73 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
semua harta pencaharian di dalam
perkawinan adalah dikuasai suami,
termasuk harta asal dan harta-harta
pemberian yang didapat isteri
(Hilman Hadikusuma, 2015 : 61).
Pada umumnya masyarakat
Batak menganut agama Kristen
Protestan, Kristen Katolik, maupun
Islam. Perilaku dan norma yang
berlaku di masyarakat sangat erat
dengan keyakinan menurut agama
yang diyakini oleh masyarakat
setempat, sehingga hukum adat yang
berlaku seringkali dipengaruhi
kepercayaan dan agama masyarakat
tersebut. Sifat hukum adat yang lain
adalah kebersamaan, dimana
kepentingan bersama diutamakan
dibandingkan kepentingan
perorangan. Sifat kebersamaan
tersebut juga ditemukan dalam
masyarakat adat Batak. Prinsip
kebersamaan ini selaras dengan
prinsip dalihan natolu, ialah tungku
tempat memasak yang diletakkan di
atas dari tiga batu yang sama besar,
sama jarak, dan sama tinggi (Jaja
Ahmad Jayus, 2019 : 238). Prinsip
kebersamaan tersebut juga seringkali
merupakan dasar dari pergeseran
norma hukum waris adat yang
mengarah pada pengakuan hak
perempuan.
Dalam masyarakat Batak
khususnya yang non muslim, terjadi
perubahan/pergeseran norma
pewarisan patrilineal dimana janda
maupun anak perempuan dapat
diakui haknya ketika terjadi
pewarisan. Perkembangan kaidah
hukum waris adat Batak itu juga
didasarkan karena perubahan dan
perkembangan gaya hidup,
modernisasi, migrasi suku Batak, dan
juga peningkatan peran perempuan
dalam mengurus keluarga.
Urbanisasi, revolusi, pendidikan, dan
kekacauan ekonomi menimbulkan
dampak tersebut (Daniel S. Lev,
2018 : 1-2).
Dengan adanya urbanisasi atau
migrasi misalnya, keluarga inti yang
berada dalam satu lingkungan yang
sama lebih diutamakan dan
sebaliknya keterikatan masyarakat
adat dengan keluarga besardi
kampung halamannya tidak lagi
sekuat masyarakat adat Batak
terdahulu. Ikatan masyarakat adat
yang semakin melemah tersebut juga
menimbulkan lemahnya ketaatan
terhadap hukum adat. Migrasi,
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 74
modernisasi, dan urbanisasi juga
mengakibatkan janda hidup terpisah
dengan keluarga besar suaminya
sehingga hal itu menghambat
pengurusan janda oleh keluarga
besar suami. Dengan adanya
perkembangan dan perubahan
kebutuhan tersebut, maka hak janda
sebagai pemegang harta gono gini
maupun sebagai ahli waris semakin
diakui. Pengakuan hak janda maupun
anak perempuan dikarenakan adanya
perubahan kebutuhan serta budaya
masayrakat itu juga pada dasarnya
sesuai dengan prinsip kebersamaan
dalam hukum adat tersebut yang
mengutamakan kepentingan dan
keadilan bagi seluruh pihak sesuai
kebutuhannya.
Pada masyarakat Batak Karo
misalnya, tidak dapat dipungkiri
bahwa saat ini suami dan isteri
bekerja sama untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, dimana
dalam beberapa daerah peran
perempuan di dalamnya juga cukup
besar dalam hal mencari nafkah
(Sonny Dewi Judiasih, Hazar
Kusmayanti, dan Deviana
Yuanitasari, 2020 : 76). Dengan
demikian, dalam kenyataan dan
perkembangannya, perempuan
memiliki peran dalam keluarga. Hal
tersebut merupakan salah satu faktor
yang mendasari adanya pengakuan
hak perempuan dalam masyarakat
adat tersebut.
Pada kenyataannya telah timbul
beberapa persoalan dan keberatan
mengenai kedudukan janda maupun
anak perempuan Batak yang
berujung kepada sengketa di
pengadilan. Dengan melihat pada
perubahan nilai sosial budaya dan
perkembangan kebutuhan pada
masing-masing kasus tersebut, maka
beberapa hakim menetapkan bahwa
anak perempuan dapat berkedudukan
sebagai ahli waris dan janda dapat
berkedudukan sebagai pemegang
harta gono gini maupun sebagai ahli
waris. Pembahasan putusan akan
dijelaskan lebih lanjut pada sub
pembahasan berikutnya, namun
dapat dilihat bahwa dari berbagai
putusan tersebut telah terdapat
pergeseran pandangan menyebabkan
perubahan keberlakuan hukum waris
adat bagi beberapa pihak/masyarakat
Batak tertentu. Putusan-putusan
tersebut merupakan bukti bahwa
masyarakat Batak dalam
75 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
kenyataannya bergerak menuju
perubahan pola pikir yang lebih
modern dan mengutamakan
persamaan kedudukan antara laki-
laki dan perempuan, dimana hal
tersebut dipengaruhi berbagai faktor
yang secara perlahan
menggambarkan suatu
perkembangan (Sonny Dewi Judiasih,
Hazar Kusmayanti, dan Deviana
Yuanitasari, 2020 : 78).
Selain diakibatkan karena
perkembangan sosial budaya serta
kebutuhan masyarakat, norma
hukum waris adat patrilineal juga
bergeser karena dipengaruhi oleh
norma serta nilai-nilai agama seperti
dalam hukum Islam. Beberapa
masyarakat adat Batak menganut
hukum Islam. Dalam beberapa
masyarakat adat yang beragama
Islam, hukum waris Islam dapat
dipakai untuk mengatur masalah
pewarisan. Hukum waris Islam juga
banyak digunakan khususnya oleh
masyarakat adat yang telah
mengalami urbanisasi, modernisasi,
maupun migrasi. Hal itu dikarenakan
keterikatan masyarakat adat terhadap
ikatan serta kaidah-kaidah hukum
adat semakin menurun, namun
agama justru tetap dipraktekkan dan
diyakini dimanapun berada. Namun
bagi masyarakat yang tetap
menggunakan hukum waris adat,
konsep pewarisan dalam hukum
Islam juga dapat turut mendasari
perubahan pola pikir dan
melatarbelakangi pergeseran norma
hukum waris adat sehingga lebih
condong ke arah pengakuan
kedudukan perempuan dalam
pewarisan. Dalam hukum Islam,
anak perempuan dan janda tidak saja
diakui sebagai ahli waris, namun
lebih dari itu, ajaran agama juga
menetapkan porsi bagian untuk
mereka berdua. Ketentuan Al-Quran
yang menempatkan anak perempuan
dan janda sebagai ahli waris
sesungguhnya juga merupakan
perubahan dalam masyarakat Arab
yang pada dasarnya menganut
kekerabatan patrilineal (Khalil Abdul
Karim, 2003 : 33-46). Beberapa
masyarakat menganggap bahwa
sistem pewarisan yang demikian
lebih sesuai dengan nilai-nilai
budaya dan keadilan pada
masyarakat tersebut, karena apabila
menggunakan hukum adat sekalipun
keluarga ayah seringkali tetap saja
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 76
memberi sejumlah harta hibah
kepada anak perempuannya.
Pengaruh Yurisprudensi Dalam
Pergeseran Hukum Waris Adat
Masyarakat Patrilineal
Pergeseran norma hukum waris
adat patrilineal yang mengarah
kepada pengakuan hak dan
kedudukan janda maupun anak
perempuan juga dinyatakan dan
diakui dalam beberapa putusan atas
kasus-kasus tertentu, yang kemudian
diakui menjadi yurisprudensi.
Putusan-putusan tersebut
menunjukkan bahwa pada
kenyataannya telah terdapat
perubahan pandangan serta
kebutuhan dari beberapa pihak yang
pada akhirnya membuat hakim
memutuskan bahwa perlu adanya
perubahan norma atau kaidah hukum
waris adat patrilineal terhadap pihak-
pihak yang bersangkutan tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa pada
prakteknya telah terjadi pergeseran
norma hukum waris adat patrilineal
meskipun tidak menyeluruh dan
hanya menyangkut beberapa
kalangan tertentu.
Persoalan kedudukan anak
perempuan Batak Karo sebagai ahli
waris sempat diajukan ke Pengadilan
Negeri Kabanjahe, Pengadilan
Tinggi, sampai kasasi ke Mahkamah
Agung. Pada tanggal 23 Oktober
1961 keluarlah putusan Mahkamah
Agung No. 179/K/Sip/1961 yang
menolak kasasi yang diajukan
penggugat (R. Subekti, 1991 : 15-
16).
Pada intinya, putusan
Mahkamah Agung tanggal 1
Nopember 1961 Nomor
179/K/Sip/1961 tersebut
menyebutkan bahwa berdasarkan
rasa perikemanusiaan dan keadilan
umum dan atas hakikat persamaan
hak antara laki-laki dengan
perempuan, sekaligus
mempertimbangkan hukum yang
hidup di seluruh Indonesia, bahwa
anak perempuan, sebagaimana anak
laki-laki, harus diposisikan sebagai
ahli waris dan memiliki kedudukan
yang sama. Keputusan tersebut
dibuat Mahkamah Agung khususnya
untuk masyarakat Karo, namun
Mahkamah Agung menganggap
kaidah hukum tersebut merupakan
kaidah hukum yang hidup di seluruh
77 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
Indonesia (Hilman Hadikusuma,
2015 : 136). Putusan tersebut
merupakan suatu terobosan atas hak
waris anak perempuan Karo yang
semula sama sekali tidak diakui, dan
sering dijadikan rujukan atau
yurisprudensi oleh putusan lainnya.
Putusan tersebut dilandasi oleh TAP
MPR Nomor II Tahun 1960, dan
menurut Subekti merupakan tonggak
bersejarah untuk pencapaian
persamaan hak dan kedudukan antara
wanita dan pria (Sonny Dewi
Judiasih, Hazar Kusmayanti, dan
Deviana Yuanitasari, 2020: 77). Hal
itu terbukti bahwa setelah putusan
tersebut dikeluarkan, beberapa pihak
mulai berani menyuarakan haknya
melalui jalur pengadilan untuk
memperoleh persamaan kedudukan
tersebut (Sonny Dewi Judiasih,
Hazar Kusmayanti, dan Deviana
Yuanitasari, 2020 : 77).
Beberapa putusan (dari yang
terdahulu hingga terbaru) yang
mengakui hak dan kedudukan anak
perempuan sebagai ahli waris dalam
masyarakat patrilineal, khususnya d
Bali adalah:
1) Putusan tanggal 14 Juni 1968
Mahkamah Agung Nomor 100
K/Sip/1967
“...karena mengingat
pertumbuhan masyarakat dewasa
ini yang menuju kearah
persamaan kedudukan antara
pria dan wanita, dan penetapan
janda sebagai ahli waris telah
merupakan yurisprudensi yang
dianut oleh Mahkamah Agung”.
2) Putusan Mahkamah Agung
tanggal 2 Nopember 1976
Nomor 284K/Sip/1975
“Menurut Hukum Adat baru istri
dan anak-anak perempuan
adalah ahli waris”.
Putusan tersebut dikutip sebagai
bahan pertimbangan Pengadilan
Tinggi Denpasar dalam Putusan
Nomor 35/PDT/2016/PT DPS,
dimana kaidah yang tersebut
dianggap berlaku sebagai hukum
adat yang ada bagi masyarakat Bali.
3) Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 4766 K/Pdt/1998 tanggal
16 Nopember 1999
”Perempuan di Bali berhak atas
harta peninggalan dari pewaris,
walaupun sistem pewarisan di
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 78
Bali sendiri mengenal sistem
pewaris mayorat laki-laki.”
4) Putusan Pengadilan Tinggi
Denpasar tanggal 23 Pebruari
2016 Nomor 35/PDT/2016/PT
DPS
“Mengingat perubahan-
perubahan atau perkembangan
masyarakat Bali, yang mengakui
persamaan kedudukan Pria dan
Wanita di banyak bidang, serta
asas keadilan dan kemanfaatan,
Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Denpasar berpendapat
bahwa perempuan di Bali berhak
mewaris dari orang tuanya…”
Putusan ini merupakan salah satu
putusan terbaru yang dikeluarkan di
tahun 2016. Putusan ini pada
dasarnya menunjukkan bahwa
pergeseran norma hukum waris
masyarakat Bali yang diakui dalam
yurisprudensi tahun 1961, 1967,
1975, maupun 1999 di atas masih
dapat dipandang sebagai suatu norma
yang berlaku bagi kalangan tertentu
dewasa ini.
Dalam hal kedudukan janda
sebagai pemegang harta gono gini
dan ahli waris, beberapa putusan
juga menerapkan suatu norma
dimana janda dari masyarakat
patrilineal pada dasarnya berhak atas
bagiannya ketika terjadi pewarisan.
Putusan Mahkamah Agung tanggal
17 Januari 1959 Nomor 320
K/Sip/1958 menyatakan bahwa
menurut hukum adat Tapanuli pada
perjalanan zaman pada waktu
sekarang seorang isteri dapat
mewarisi pencaharian dari suaminya
dan Putusan Mahkamah Agung
tanggal 9 April 1960 Nomor 120
K/Sip/1960 yang pada dasarnya
menyatakan bahwa, “Harta
pencaharian harus dibagi sama rata
antara suami-isteri.” Salah satu
putusan terbaru yang mengakui hak
isteri sebagai pemilik dari harta
bersama dalam masyarakat
patrilineal adalah Putusan Pengadilan
Tinggi Denpasar Nomor
35/PDT/2016/PT.DPS yang
menyatakan pada pokoknya bahwa
majelis hakim dengan mengacu pada
Keputusan Pasamuhan Agung III
MUDP Bali, menimbang bahwa istri
mempunyai hak yang sama terhadap
guna kaya, dan tersirat bahwa harta
guna kaya tersebut adalah milik
bersama, dan sebagiannya adalah hak
dari istri. Putusan tersebut
79 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
merupakan salah satu bukti bahwa
dewasa ini norma hukum waris adat
yang mengakui kedudukan janda atas
harta bersama masih relevan untuk
diberlakukan.
Perkembangan kedudukan janda
sebagai ahli waris pertama-tama
berawal dari Jawa, dan wilayah-
wilayah lainnya menyusul setelah
hilangnya keraguan di pihak para
hakim Mahkamah Agung (Daniel S.
Lev, 2018 : 15). Putusan Mahkamah
Agung No 110 K/Sip/1960 pada
intinya menyatakan bahwa menurut
hukum adat, seorang janda adalah
juga menjadi ahli waris almarhum
suaminya (H. Hilman Hadikusuma,
2015 : 140). Begitu pula halnya
dengan Putusan Mahkamah Agung
No. 100 K/Sip/1967 tanggal 14 Juni
1968 yang bahwa:
“Mengingat pertumbuhan
masyarakat dewasa ini menuju
kearah persamaan kedudukan
antara pria dan wanita dan
pengakuan janda sebagai ahli
waris, Mahkamah Agung
membenarkan pertimbangan dan
putusan Pengadilan Tinggi yang
menetapkan bahwa dalam hal
meninggalnya seorang suami
dengan meninggalkan seeorang
janda, seorang anak laki-laki, dan
seorang anak perempuan, janda
berhak atas separoh dari harta
bersama, sedang sisanya dibagi
antara janda dan kedua anaknya
masing-masing mendapat sepertiga
bagian (di daerah Kabanjahe
Sumatera Timur).”
Dari putusan-putusan tersebut di
atas, dapat dipahami bahwa pada
dasarnya memang telah terjadi
pergeseran pandangan dan sosial
budaya terkait norma hukum waris
adat patrilineal yang semula hanya
mengakui anak laki-laki sebagai ahli
waris. Sederhananya, dengan adanya
permasalahan yang diajukan ke
pengadilan maka dapat diartikan
bahwa ada beberapa kalangan
tertentu yang sudah memiliki
pergeseran pandangan mengenai
norma adat yang diakuinya.
Kemudian, apabila terdapat hakim
yang mengakui pergeseran norma
tersebut, maka dapat diartikan bahwa
menurut hukum telah terdapat
pergeseran norma hukum waris adat
patrilineal yang dapat diberlakukan
setidak-tidaknya bagi kalangan
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 80
tertentu atau pihak yang berperkara.
Hal itu dikarenakan pertimbangan
hakim itu sudah telah didahului
dengan penggalian nilai-nilai oleh
hakim secara matang dengan
disesuaikan pada kebijaksanaan
hakim serta asas-asas hukum adat
yang mengutamakan keadilan,
kebersamaan, dan kerukunan. Pasal 5
UU Kekuasaan Kehakiman No. 49
Tahun 2009 mengatur bahwa hakim
menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum an rasa keadilan
yang berlaku. Dalam Seminar
Hukum Nasional Tahun 1963 dapat
disimpulkan bahwa hakim
membimbing perkembangan hukum
tidak tertulis melalui yurisprudensi
ke arah keseragaman hukum yang
seluas-luasnya dan ke arah sistem
parental, yang mana poin terakhir
tersebut juga ditegaskan dalam
Seminar Hukum Adat di Yogyakarta
Tahun 1975 (Edo Hendrako,
2015:88). Oleh karena itu, putusan
tersebut dapat menjadi suatu acuan
hukum yang menyatakan adanya
pergeseran nilai-nilai hukum waris
dalam masyarakat adat patrilineal.
Di sisi lain perlu dipahami
bahwa putusan-putusan hakim
tersebut tidak semata-mata membuat
norma hukum waris adat patrilineal
berubah seutuhnya untuk seluruh
kalangan. Terdapat beberapa alasan
atas hal tersebut. Pertama, persoalan
waris adat merupakan persoalan
privat yang sifatnya sangat
bergantung pada kondisi dan
keadaan secara kasus per kasus
(hukum yang sifatnya sensitif dan
bergantung pada kesadaran dan
budaya hukum subjek hukum itu
sendiri). Terlebih, hukum waris adat
merupakan living law (Venika
Aprilia Sembiring, Sri Wahyu
Ananingsih, Triyono, 2016:2) yang
tidak tertulis, tidak rigid, dan
dinamis. Putusan hakim terkait
persoalan waris adat lebih
difokuskan kepada kondisi secara
kasus per kasus (case by case) dari
pihak yang berperkara, karena
hukum adat bergantung pada kondisi
dan keadaan budaya dari tiap-tiap
masyarakat atau kelompok yang
bersangkutan. Dengan demikian,
suatu putusan mengenai hukum
waris adat seyogianya tidak
sepenuhnya dapat menggambarkan
atau mencakup seluruh kaidah
hukum yang berlaku bagi semua
81 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
jenis kalangan masyarakat patrilineal
dimana masing-masing wilayah dan
kalangan masyarakat itu sendiri
memiliki pandangan, gaya hidup,
budaya, serta nilai hukum yang
berbeda. Sebagai contoh, apabila
suatu putusan menetapkan adanya
kedudukan janda dan anak
perempuan sebagai ahli waris
dikarenakan mereka merupakan
keluarga yang telah lama bermigrasi
atau karena wilayah mereka
bertempat tinggal telah mengalami
modernisasi yang kuat sehingga
ketaatan terhadap ikatan komunal
dan hukum adat tidak lagi berlaku
sepenuhnya, maka putusan hakim
tersebut seyogianya tidak dapat
secara utuh diterapkan terhadap
masyarakat patrilineal wilayah
lainnya atau kalangan/kelompok
masyarakat lainnya yang memang
masih mengakui dan mempraktekan
hukum adat secara lebih kuat.
Meskipun putusan Mahkamah
Agung tanggal 1 Nopember 1961
Nomor 179/K/Sip/1961 menyatakan
bahwa perubahan norma hukum
waris adat patrilineal itu berlaku
untuk seluruh Indonesia, kita tetap
perlu memahami bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada
kenyataannya sangat pluralistik
dengan berbagai keragaman budaya
dan nilai adat yang berbeda-beda
yang mana sepatutnya perlu dihargai
sebagai kekayaan bangsa ini. Pasal
18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 dengan tegas juga menyatakan
bahwa hukum adat serta hak-hak
tradisional tetap diakui selama masih
hidup dan sesuai dengan
perkembangan serta prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dari
pasal tersebut jelas bahwa apabila
terdapat perkembangan hukum adat
maka hal itu harus diakomodir,
namun apabila masih terdapat
beberapa kalangan atau masyarakat
yang tetap mempraktekan adat itu
sendiri maka hal itu juga tetap harus
dihormati. Dalam hal itu diperlukan
peran hakim untuk benar-benar
menggali nilai yang berlaku pada
masyarakat atau kalangan yang
bersangkutan sesuai Pasal 5 UU
Kekuasaan Kehakiman No. 49 Tahun
2009. Beberapa permasalahan dari
pihak-pihak tertentu yang muncul ke
pengadilan tidak dapat
menggambarkan keberlakuan
menyeluruh dari hukum adat itu
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 82
sendiri. Dengan demikian, putusan-
putusan tersebut tidak dapat serta
merta menjadi norma hukum yang
utuh menyeluruh terhadap seluruh
kalangan dan diberlakukan secara
mutlak sebagai kaidah hukum yang
berlaku, namun di sisi lain tetap
menggambarkan adanya pergeseran
norma hukum waris adat patrilineal.
Hukum waris adat di Indonesia saat
ini masih bersifat pluralistik, proses
unifikasi hukum adat seperti melalui
putusan atau yurisprudensi, tetap
sulit direalisasikan mengingat hukum
waris adat bersifat sensitif (Sonny
Dewi Judiasih dan Efa Laela
Fakhriah, 2018 : 329).
Alasan kedua, yurisprudensi
merupakan salah satu sumber hukum
formiil di Indonesia namun
keberlakuannya tidak bersifat
mengikat dan mutlak. Tidak seperti
halnya dengan yurisprudensi di
negara common law yang mengikat
untuk diikuti oleh hakim-hakim
berikutnya (the binding force of
precedent), yurisprudensi di
Indonesia tidak mutlak harus diikuti
oleh hakim-hakim (persuasive force
of precedent). Dengan demikian,
kaidah hukum yang tertulis dalam
yurisprudensi tersebut tidak serta
merta berlaku secara mutlak sebagai
kaidah hukum yang wajib diikuti
oleh hakim lainnya dan/atau dalam
seluruh permasalahan waris adat
patrilineal lainnya. Yurisprudensi
memiliki sifat dan keberlakuan yang
berbeda dari peraturan perundang-
undangan. Selain itu, pada
kenyataannya terdapat beberapa
putusan yang tidak memiliki
pertimbangan dan pendapat yang
sama dengan putusan-putusan
tersebut di atas.
Beberapa contoh di antaranya
adalah Putusan Pengadilan Tinggi
Denpasar tanggal 22 Juli 1972
Nomor 105/PTD/107 (Ni Luh Gede
Praresti Dangin, 2015 : 11) dan
Putusan Mahkamah Agung tanggal 1
Juni 1955, No. 53/K/Sip/1952 yang
menyatakan bahwa apabila seorang
wafat meninggalkan anak laki-laki
maka ia adalah satu-satunya ahli
waris (H. Hilman Hadikusuma, 2015
: 135). Contoh lainnya adalah
Putusan Mahkamah Agung tanggal
25 Oktober 1958 No. 54/K/Sip/1958
yang menyatakan “menurut hukum
adat Batak (yang bersifat
patriarchal) segala harta yang timbul
83 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
dalam perkawinan adalah milik
suami (Hilman Hadikusuma, 2015 :
61). Salah satu putusan terbaru yang
tidak mengakui kedudukan janda
sebagai ahli waris menurut adat
patrilineal adalah sebagaimana dalam
putusan Pengadilan Negeri Singaraja
Nomor 367/Pdt.G/2016/PN.Sgr yang
menyatakan bahwa janda sebagai
“Balu Luh” dalam adat Bali bukan
sebagai ahli waris, tetapi
dapat/berhak menikmati hasil dari
harta warisan. Putusan-putusan
tersebut membuktikan bahwa
pergeseran norma hukum waris adat
patrilineal, baik dahulu maupun saat
ini, tidak semata-mata diakui oleh
seluruh hakim dan diberlakukan bagi
semua kasus dan kalangan
masyarakat.
Terlepas dari penjelasan di atas,
keberadaan yurisprudensi merupakan
suatu tolak hukum pengakuan atas
pergeseran norma hukum waris adat
patrilineal yang dapat dijadikan
sebagai acuan hukum bagi hakim
lainnya maupun masyarakat
khususnya ketika menghadapi suatu
persoalan dengan kondisi atau latar
belakang pertimbangan yang serupa.
Meskipun suatu yurisprudensi atau
putusan terdahulu tidak memiliki
kekuatan mengikat di Indonesia,
namun secara langsung maupun
tidak langsung kaidah hukum yang
diterapkan dalam suatu yurisprudensi
akan mempengaruhi pandangan dan
kaidah hukum yang berlaku, terlebih
mengingat hukum adat bersifat tidak
tertulis dan dinamis sehingga lebih
mudah berubah-ubah dibandingkan
peraturan perundang-undangan.
Dalam hal hubungan antara hukum
waris adat dan putusan hakim, maka
menurut Daniel S.Lev, diantaranya
terdapat hubungan dipengaruhi dan
mempengaruhi (Daniel S. Lev,
2018 : 30). Sifat dipengaruhi timbul
karena, isi putusan hakim
dipengaruhi dari pergeseran norma
hukum waris adat yang diakibatkan
perubahan nilai-nilai maupun
pandangan yang berlaku. Sifat
mempengaruhi timbul karena
putusan tersebut dapat berlaku
sebagai yurisprudensi yang
kemudian dapat saja diakui oleh
hakim lainnya sebagai kaidah hukum
yang berlaku. Yurisprudensi juga
dapat mempengaruhi pemikiran
hakim lainnya serta mempengaruhi
perkembangan dan perubahan nilai-
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 84
nilai maupun pola pikir masyarakat
adat patrilineal untuk memberi
pengakuan terhadap kedudukan anak
perempuan dan janda sehingga
menimbulkan perubahan norma
hukum waris adat patrilineal.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1) Pergeseran norma hukum waris
adat patrilineal terjadi dengan
diakuinya hak dan kedudukan
anak perempuan serta janda
dalam beberapa wilayah atau
kelompok tertentu, yang mana
seharusnya sistem pewarisan
patrilineal hanya mengakui anak
laki-laki sebagai ahli waris.
Pergeseran tersebut timbul
karena adanya perubahan nilai
dan pandangan sosial budaya,
yang diakibatkan karena
pengaruh agama, modernisasi,
urbanisasi, migrasi, maupun
meningkatnya peran perempuan
dalam membangun
kesejahteraan keluarga.
Pergeseran norma hukum waris
adat patrilineal tersebut sesuai
dengan ciri dari hukum adat itu
sendiri yakni bersumber dari
keyakinan dan kebiasaan
masyarakat, dinamis, dan tidak
tertulis, dengan mengutamakan
asas-asas seperti kebersamaan,
kerukunan, serta keadilan.
2) Terdapat beberapa yurisprudensi
yang mengakui adanya
pergeseran norma hukum waris
adat patrilineal terkait hak janda
dan anak perempuan dalam
pewarisan dalam beberapa kasus
tertentu, sehingga hal itu
menjadi bukti adanya pergeseran
pandangan dan norma bagi
beberapa kalangan atau
kelompok masyarakat tertentu.
Suatu putusan diputus secara
kasus per kasus dan
yurisprudensi di Indonesia tidak
bersifat mengikat (persuasive
force of precedent). Indonesia
masih memiliki keragaman
budaya serta nilai adat yang
berbeda antara satu daerah atau
satu kelompok dengan yang
lainnya, sehingga kaidah hukum
dalam yurisprudensi tersebut
bukan merupakan kaidah hukum
yang mutlak berlaku bagi
85 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
seluruh masyarakat patrilineal.
Terlepas dari hal tersebut
yurisprudensi merupakan suatu
acuan hukum yang dapat
dijadikan bahan pertimbangan
oleh hakim dan masyarakat,
yang dapat mempengaruhi
putusan hukum dan pandangan
masyarakat sehingga
berpengaruh pada arah
perkembangan kaidah hukum
waris adat patrilineal.
Saran
1) Perlu adanya pengkajian dan
penelitian lebih lanjut yang
berkesinambungan terkait
perkembangan hukum waris adat
patrilineal di berbagai wilayah
dan kalangan masyarakat untuk
mengetahui sejauh mana norma
hukum waris adat tersebut masih
kental diberlakukan. Hal ini
mengingat hukum waris adat
berasal dari keyakinan dan
budaya masyarakat (living law),
tidak tertulis, dan dinamis.
Penelitian dan pedoman ini
diperlukan dikarenakan hukum
waris adat juga merupakan suatu
hukum yang berlaku bagi
golongan masyarakat tertentu
dalam hal pewarisan sehingga
perlu dipahami oleh masyarakat
dan para praktisi hukum dalam
menyelesaikan persoalan
hukum.
2) Dalam memutus perkara hakim
perlu benar-benar menggali dan
memahami nilai-nilai hukum
adat yang berlaku dengan
disesuaikan pada perkembangan
pandangan, sosial budaya, serta
kebutuhan dari subjek yang
bersangkutan. Hal itu sesuai
dengan Pasal 5 UU Kekuasaan
Kehakiman Nomor 49 Tahun
2009. Dalam memutus suatu
perkara, hakim perlu berhati-hati
dalam menggali nilai-nilai
tersebut dan memilih acuan
yurisprudensi yang ada, agar
kaidah hukum yang
diberlakukan sesuai dengan apa
yang dibutuhkan serta menjadi
living law dari pihak/kalangan
yang bersangkutan terlebih suatu
putusan juga merupakan produk
hukum yang harus dapat
dipertanggungjawabkan karena
dapat dijadikan suatu acuan
kaidah yang berlaku.
RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021 86
Daftar Pustaka
Buku
Hadikusuma, Hilman. 2015, Hukum
Waris Adat. Cetakan ke-8.
Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Judiasih, Sonny Dewi, Kusmayanti,
Hazar dan Yuanitasari,
Deviana. 2020, Pergeseran
Norma Hukum Waris Adat
di Indonesia. Jatinangor:
UNPAD Press.
Karim, Khalil Abdul. 2003,
Syari’ah: Sejarah
Perkelahian Pemaknaan,
diterjemahkan oleh Kamran
As’ad. Yogyakarta: LkiS.
Lev, Daniel.S. 2018, Hukum Dan
Politik Di Indonesia,
Jakarta: Penerbit LP3ES
Perangin, Effendi. 2018, Hukum
Waris. Cetakan ke-15,
Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Subekti, R. 1991, Hukum Adat
Indonesia dalam
Yurispridensi Mahkamah
Agung, Bandung: Alumni.
Jurnal
Dangin, Ni Luh Gede Praresti
Dangin. 2015, “Kedudukan
Hak Mewaris Wanita Hindu
Dalam Sistem Hukum Adat
Waris di Bali”, Jurnal
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya.
diunduh dari
https://www.neliti.com/publ
ications/35307/kedudukan-
hak-mewaris-wanita-hindu-
dalam-sistem-hukum-adat-
waris-di-bali pada tanggal
21 September 2020 pukul
14.10 WIB.
Hendrako, Edo. 2015, “Hak Waris
Anak Perempuan Terhadap
Harta Peninggalan (Studi
Kasus Putusan MA RI
Nomor 4766/Pdt/1998)”,
Jurnal Lex Privatum Vol. III
No.1, Januari-Maret.
Jayus, Jaja Ahmad. 2019, “Eksistensi
Pewarisan Hukum Adat
Batak : Kajian Putusan
Nomor
1/PDT.G/2015/PN.Blg dan
Nomor 439/PDT/2015/PT-
Mdn”, Jurnal Yudisial Vol.
12.No. 2. Agustus
Judiasih, Sonny Dewi dan Fakhriah,
Efa Laela. 2018,
“Inheritance Law System:
Considering The Pluralism
of Customary Law in
Indonesia”, Padjajaran
Journal of Law Vol.5 No.2.
Muzainah, GT. 2014, ”Prinsip
Hukum Kedudukan
Perempuan Dalam Hukum
Waris Adat Masyarakat
Banjar”, Jurnal Studi
Gender dan Anak Vol II
No.1. Januari-Juni.
Nangka, Bravo. 2019, “Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan
Hukum Waris Adat
Berdasarkan Sistem
Kekerabatan”, Jurnal Lex
Privatum Vol. VII No. 3
Maret.
87 RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021
Sembiring, Venika Aprilia,
Ananingsih, Sri Wahyu, dan
Triyono, “Perkembangan
Pewarisan Masayrakat Adat
Batak Karo di Kabupaten
Karo, Sumatera Utara”,
Diponegoro Law Journal
Vol. 5.No. 3, diunduh dari
https://media.neliti.com/med
ia/publications/19210-ID-
perkembangan-pewarisan-
masyarakat-adat-batak-karo-
di-kabupaten-karo-
sumatera-uta.pdf pada
tanggal 22 September 2020
pukul 14.30 WIB.
Sulastriyono dan Pradhani, Sartika
Intaning. 2018, “Pemikiran
Hukum Adat Djojodigoeno
dan Relevansinya Kini”,
Jurnal Mimbar Hukum
Universitas Gadjah Mada
Vol 30.No. 3.
Utari, Ni Ketut Sri. 2006, “Mengikis
Ketidakadilan Gender dalam
Masyarakat Adat Bali”,
Disajikan (untuk urun
pendapat) dalam Temu
Ilmiah II Asosiasi Pengajar
dan Peminat Hukum
Berspektif Gender se
Indonesia (APPHGI)
tanggal 18-20 September
2006. Surabaya. diunduh
dari ojs.unud.ac.id tanggal
26 September 2020 pukul
12.39 WIB.
Wijaya, Wahyu Satria Wana Putra,
Prasetyo, Agung Basuki dan
Triyono. 2016,
“Perkembangan Kedudukan
Ahli Waris Perempuan
Dalam Sistem Kekerabatan
Patrilineal Di Denpasar Bali
(Pasca Keputusan Nomor
01/KEP/PSM-3/MDP
/X/2010 tentang Hasil-Hasil
Pasamuhan Agung III
MUDP Bali)”, Diponogoro
Law Review Vol.5 No. 2.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang No. 49 Tahun 2009
tentang Kekuasaan
Kehakiman