¾m icrosoft w ord - skripsineta . doc

114
TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK: KAJIAN SASTRA DAN FOLKLOR Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Program Studi Sastra Indonesia Oleh Erneta NIM : 014114036 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

Upload: others

Post on 11-Sep-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK:

KAJIAN SASTRA DAN FOLKLOR

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana S-1

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Erneta

NIM : 014114036

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

Page 2: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK:

KAJIAN SASTRA DAN FOLKLOR

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana S-1

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Erneta

NIM : 014114036

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

i

Page 3: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Skripsi

TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK:

KAJIAN SASTRA DAN FOLKLOR

Oleh

Erneta

NIM : 014114036

Telah disetujui

Pembimbing I

Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. Tanggal, 31 Januari 2008

Pembimbing II

Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. Tanggal, 31 Januari 2008

ii

Page 4: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Skripsi

TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK:

KAJIAN SASTRA DAN FOLKLOR

Dipersiapkan dan ditulis oleh

Erneta

NIM : 014114036

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji

pada tanggal 11 Januari 2008

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ……………….

Sekretaris : Drs. Hery Antono, M.Hum. ……………….

Anggota : 1. Drs. Hery Antono, M.Hum. ……………….

2. Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. ……………….

3. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. ……………….

Yogyakarta, 31 Januari 2008

Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma

Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.

Dekan

iii

Page 5: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

HALAMAN PERSEMBAHAN

Orang yg hebat adalah orang yang mampu bersabar, bersyukur,

tersenyum, dan bersikap tenang dalam segala hal

Segalanya tercapai jika kau yakin, keyakinanlah yang membuat

segalanya tercapai

Jika impianmu cukup besar, segala halangan takkan berarti

Sabar adalah jalan keluar bagi orang yang tidak bisa menemukan

jalan keluar

Kuhaturkan kepada:

Tuhan YME

(Berkat rahmat, bimbingan, dan kasih-Nya)

Keluargaku….

(Atas doa dan kasih sayangnya)

iv

Page 6: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan

daftar pustaka sebagaimana layaknya karangan ilmiah.

Yogyakarta, 20 Januari 2007

Penulis

Erneta

v

v

Page 7: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

limpahan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Skripsi yang berjudul “Tradisi Ngayau dalam Masyarakat Dayak: Kajian

Sastra dan Folklor” disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

sarjana S-1 di Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya kebaikan, bantuan, dan

dukungan baik secara material maupun spiritual dari berbagai pihak. Kebaikan,

bantuan, dan dukungan tersebut senantiasa hadir dalam kehidupan penulis

terutama saat menjalani perkuliahan di Universitas Sanata Dharma.

Oleh karena itu, perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah membantu dan memperlancar proses penulisan skripsi

ini:

1. Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, selaku dosen pembimbing I, atas

bimbingan, masukan, kesabaran, serta semangat yang selama ini telah

diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi di Universitas

Sanata Dharma.

2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, selaku dosen pembimbing II, atas

bimbingan dan masukannya yang telah diberikan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi di Universitas Sanata Dharma.

3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum, Drs. FX.

Santosa, MS, Dra. F. Tjandrasih Adji, M.Hum, Drs. Hery Antono,

vi

Page 8: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

M.Hum, Dra. S.E Peni Adji, S.S, M.Hum, atas ilmu dan perkuliahan yang

telah diberikan kepada penulis selama menempuh kuliah di Universitas

Sanata Dharma.

4. Bapak (F.C. Litjun, Ins) dan Ibu (Inocentia Utji), atas doa dan kasih

sayangnya yang telah membesarkan penulis hingga saat ini.

5. Kakak-kakakku ( Iro, Niko, Lenti, Klara, Merin, Suanto) atas nasihat dan

doanya.

6. Adik dan Keponakan-keponakanku (Dodi, Linda, Resnu, Oskar, Riu,

Meisya, Aurel, dan Dyo), terima kasih atas spirit yang tak henti-hentinya

kalian berikan kepada kakak tersayang.

7. Yustinus Edy Siswanto yang telah menemani penulis dalam suka dan duka

serta kasih sayang yang tulus, telah mendukung penulis untuk cepat

selesai.

8. Sahabat-sahabatku (Kak Acid, Bita, Rita, Nina dan Ria) atas bantuan,

semangat, dan perjuangannya.

Penulis telah berusaha dengan semaksimal mungkin dalam menyusun

skripsi ini, namun penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Peneliti

masih memiliki banyak kekurangan. Segala kekurangan yang masih terdapat

dalam skripsi ini merupakan tanggungjawab penulis semata-mata. Semoga

karya ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 20 Januari 2007

Penulis

vii

Page 9: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

ABSTRAK

Erneta. 2007. Tradisi Ngayau dalam Masyarakat Dayak: Kajian Sastra danFolklor. Skripsi Strata 1 (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, JurusanSastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Dalam skripsi ini dibahas Tradisi Ngayau dalam Masyarakat Dayak:

Kajian Sastra dan Folklor. Judul ini dipilih karena dua alasan, yaitu (1) studi

khusus tentang tradisi Ngayau sampai saat ini belum pernah dilakukan sehingga

latar belakang mitologinya belum diungkapkan secara tuntas, (2) penelitian ilmu

sastra terhadap keberadaan sastra lisan dan folklor di Indonesia belum banyak

diberikan hingga saat ini. Tradisi Ngayau (berburu kepala) merupakan salah satu

tradisi yang sudah melekat dalam diri masyarakat Dayak yang sangat menarik

untuk dikaji tentang seluk beluk dan proses ritualnya. Penelitian ini dapat

dikatakan sebagai upaya awal yang menjembatani kesenjangan antara ilmu sastra

dengan sastra lisan dan folklor. Untuk itu tujuan penelitian ini adalah (1) melacak

dan mendeskripsikan seluk beluk tradisi Ngayau di Kabupaten Landak,

Kalimantan Barat melalui cerita-cerita lisan dan hasil wawancara, (2) menjelaskan

proses pelaksanaan ritual Ngayau di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan folklor.

Kerangka teori yang digunakan sebagai bahan referensi adalah analisis structural

dan teori liminalitas. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan

data yaitu: teknik observasi dan teknik wawancara.

Hasil penelitian mengenai tradisi Ngayau ini menunjukkan bahwa (i)

tradisi Ngayau merupakan ritual berburu kepala manusia dalam masyarakat

Dayak, (ii) proses dan tatacara ritual tradisi Ngayau diawali dengan persiapan

(berisi uraian tentang tempat, waktu, dan sesaji) dan proses pelaksanaan ritual

tradisi Ngayau.

viii

Page 10: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

ABSTRACT

Erneta, 2007. A Tradition of Ngayau in Dayak Society: Literature andFolklore Analysis. S-1 Degree Thesis. Indonesian Literature Study Program,Department of Indonesian Literature. Faculty of Literature. Sanata DharmaUniversity.

This thesis will describe the tradition of Ngayau in Dayak Society:

Literature and Folklore Analysis. This title was selected because of two reasons,

namely (1) as a specific study of Ngayau tradition has never been done before, the

background mythology of Ngayau has not been thoroughly revealed, (2) a

literature research of the existance of verbal literature and folklore in Indonesia is

rarely conducted nowadays. The tradition of Ngayau (head hunting), as one of the

traditions that has been closely related to Dayak Society is interesting to have

analysis on the details and it’s ritual ceremony. This study can be considered as an

initial attempt which connects the gap among literature knowledge, verbal

literature and folklore. Therefore, the objectives of this study were (1) to

investigate and describe the origin of Ngayau tradition in Landak Region, West

Kalimantan through folk tales and interviews, (2) to explain the process of

Ngayau ritual ceremony in Landak Region, West Kalimantan.

The approach employed in this study was folklore approach. Theoretical

framework applied as the reference was structural analysis, liminalitas theory, and

Ngayau viewed from Dayak culture perspective. In this study, observation and

interview techniques were employed to collect the data.

The results of the research about this Ngayau tradition showed that (i)

Ngayau tradition was a ritual of human head hunting in Dayak Society, (ii) a

process and steps of Ngayau tradition were initiated by preparation (consists of

place, time, and offerings) and a ritual process of Ngayau tradition.

ix

Page 11: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………. i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………………….. ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ………………………...…………... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………...…….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………………….. v

KATA PENGANTAR …………………………………………………….....… vi

ABSTRAK ………………………………………………………..…………… viii

ABSTRACT …………………………………………………………………….. ix

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. x

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang ……....……………………………………...……………….. 1

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………..…………………….. 5

1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………..……... 5

1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………..………..... 6

1.5 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………..……… 6

1.6 Kerangka Penelitian ……………………………………………………….... 7

1.6.1 Folklor, Analisis Struktural, Teori Liminalitas ……………………….. 7

1.6.1.1 Folklor ……………………………..…………………………. 7

x

Page 12: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

1.6.1.2 Analisis Struktural …………………………………………….. 9

1.6.1.2.1 Analisis Unsur Penceritaan ………………………….. 9

1.6.1.2.2 Analisis Isi (Content Analysis) ……………………....11

1.6.1.3 Teori Liminalitas Victor Turner..................…………………....12

1.7 Metode dan Teknik Penelitian ……………………………………………....13

1.7.1 Pendekatan Penelitian ………………………………………………....13

1.7.2 Metode Penelitian …………………………………………………......14

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data …………………………………………....14

1.7.3.1 Teknik Observasi ……………………………………………...14

1.7.3.2 Teknik Wawancara ………………………………………........15

1.8 Subjek dan Lokasi Penelitian ……………………………………………….15

1.8.1 Lokasi Penelitian ………………………………………………….......15

1.8.2 Narasumber ……………………………………………………………16

1.9 Sistematika Penyajian………………………………………………………..16

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………………18

2.1 Sejarah Singkat Kabupaten Landak …………………………………………18

2.2 Topografi dan Demografi Kabupaten Landak ………………………………22

2.3 Masyarakat dan Budaya Dayak di Kabupaten Landak ……………………...26

2.3.1 Kepercayaan Rakyat dari Cerita-cerita Rakyat Kabupaten Landak…...26

2.3.2 Ritual-ritual ……………………………………………………………29

2.4 Tradisi Ngayau di Kabupaten Landak dalam Konteks Sastra dan Budaya

Dayak ..……………………………………………………………………...30

xi

Page 13: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

BAB III DESKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTURAL CERITA ASAL-

USUL TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK….33

3.1 Pengantar ……………………………………………………….……………33

3.2 Terbitan Teks ………………………………………………………………...34

3.2.1 Teks A (Asal Mula Padi ; Kisah Ne’ Jaek dan Ne’ Baruakng Kulup)…34

3.2.2 Teks B (Parang Miaju Padokoatn Malanggar Jawa ; Asal Mula

Penduduk Kalimantan) ………………………………………………...50

3.2.3 Teks C ( Cerita Tradisi Ngayau) ……………………………….….......53

3.2.3.1 Terjemahan dalam Bahasa Dayak Kanayatn …………………..53

3.2.3.2 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia ………………….……....55

3.2.4 Teks D (Tradisi Ngayau di Masa Silam) …………………………........57

3.2.4.1 Terjemahan dalam Bahasa Dayak Kanayatn …………………..57

3.2.4.2 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia ……………………..…...58

3.2.5 Teks E ( Tradisi Ngayau dan Proses Pelaksanaannya) ……………......59

3.3 Analisis Struktur …………………………………….………………………62

3.3.1 Teks A (Asal Mula Padi ; Kisah Ne’ Jaek dan Ne’ Baruakng Kulup)…63

3.3.2 Teks B (Parang Miaju Padokoatn Malanggar Jawa ; Asal Mula

Penduduk Kalimantan) ……….………………………………………..66

3.4 Analisis Isi (Content Analysis) …………………..…………………………..68

3.4.1 Teks C ( Asal-usul Tradisi Ngayau) …………………..…………….....69

3.4.2 Teks D (Tradisi Ngayau di Masa Silam) ………………………………69

3.4.3 Teks E ( Tradisi Ngayau dan Proses Pelaksanaannya) ……………......70

3.5 Rangkuman ………………………………………………………………......71

xii

Page 14: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

3.5.1 Tabel Perbandingan Teks ……………………………………………...71

BAB IV TAHAP PELAKSANAAN TRADISI NGAYAU DALAM

MASYARAKAT DAYAK ……………........………………………...74

4.1 Pengantar ………………………………..…………………………………...74

4.2 Tahap Ritual Tradisi Ngayau ………………………………..……….……...77

4.2.1 Tempat …………………………..…………………………………….77

4.2.2 Waktu ……………………………...…………………………………..78

4.2.3 Sesaji ………………………………………...………………………...79

4.3 Tahap Pelaksanaan Ritual Tradisi Ngayau.……...……………….…...……...82

4.4 Tahap Setelah Pelaksanaan Ritual Tradisi Ngayau ………………………….88

4.5 Rangkuman …………………………………………………………………..89

BAB V PENUTUP …………………………………..………………………….91

5.1 Kesimpulan ……………………………………..…………………………....91

5.2 Saran …………………………………..…………………………...………...92

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BIOGRAFI

xiii

Page 15: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah ‘Dayak’ paling umum digunakan untuk menyebut ‘orang-orang asli

non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau Kalimantan’ (King, 1993:29).

Menurut Lindbland, kata Dayak berasal dari sebuah kata daya dari bahasa

Kenyah, yang berarti hulu [sungai] atau pedalaman (1988:2). King lebih jauh

menduga-duga bahwa Dayak juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa

Melayu yang berarti asli atau pribumi (1933:30). Dia juga yakin bahwa kata itu

mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku

‘yang tak sesuai atau yang tak ada tempatnya’ (King, 1993:30).

Ada pula penafsiran yang menilai Dayak berasal dari kata "Daya" yang

berarti hulu sungai karena umumnya mereka tinggal di pelosok. Dayak sebagai

ungkapan warga Belanda yang berkonotasi negatif yakni berasal dari kata

“Dayaker” atau kaum buas.

Literatur antropologi klasik cenderung memotret Dayak sebagai kelompok

yang eksotik dan unik, yang bercirikan kebiasaan berburu kepala, tinggal di rumah

panjang, animisme, dan gaya hidup nomadik. Gambaran tentang Dayak sebagai

sebuah entitas ‘lain’ (other) yang terasing, tak tersentuh peradaban dan kebal dari

perubahan, yang membedakan mereka dari orang-orang Eropa yang disebut

sebagai pelaku sejarah yang aktif, dapat dilihat dengan jelas meskipun bukan

berarti bahwa hal ini hanya dapat ditemui dalam masa-masa kolonial saja.

(Maunati, 2004:61).

1

Page 16: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Dayak mempunyai sekitar 450 subsuku yang tersebar di seluruh

Kalimantan. Ada banyak versi tentang kelompok suku-suku tersebut. Pada

mulanya semua subsuku tersebut adalah bagian dari kelompok yang sama, tetapi

karena proses geografi dan demografi yang berlangsung selama lebih dari seribu

tahun, kelompok ini menjadi terpecah-pecah.

Masyarakat Dayak adalah masyarakat yang memiliki banyak tradisi dan

adat istiadat seperti di daerah lainnya di Nusantara. Akan tetapi, tidak banyak

orang yang tertarik menelitinya sehingga kebanyakan orang Indonesia masih

merasa asing dengan kebudayaan Dayak. Sebagian orang dari luar Dayak

mungkin masih merasa takut untuk masuk ke Pulau Kalimantan dengan alasan

takut ‘dimakan oleh orang Dayak’ yang erat kaitannya dengan tradisi Ngayau. Hal

ini disebabkan karena pengetahuan mereka tentang tradisi Ngayau masih sangat

dangkal dan tidak utuh. Tradisi Ngayau memiliki aturan dan alasan tersendiri, dan

tidak dilaksanakan dengan sembarangan. Masyarakat Dayak juga punya hati dan

perasaan. Memang ada juga masyarakat Dayak pedalaman yang bisa

membuktikan kesaktiannya yang mungkin sulit dipercaya oleh masyarakat biasa.

Secara historis, terdapat berbagai kekuatan yang bekerja membangun dan

membentuk pandangan tentang ‘orang-orang Dayak’. Dengan menyertakan

embel-embel ‘primitif’, orang-orang Barat menggambarkan orang Dayak sebagai

pemburu kepala dan sebagai orang-orang yang hidup secara komunal dari berburu

dan mengumpulkan, dan tinggal di rumah-rumah panjang (Maunati, 2004:6).

Penekanan pada adat kebiasaan yang ‘eksotik’ yang dimiliki oleh orang-orang

Dayak – seperti berburu kepala, pengelompokan sosial mereka di rumah-rumah

2

Page 17: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

panjang, memburu dan mengumpulkan, serta ritual-ritual kematian mereka

mengingatkan orang pada sisi Kalimantan sebagai Pengayau yang sadis.

Oleh karena itu, sisi Kalimantan yang indah, burung Enggang yang cantik,

dan lenggak lenggok penari Dayak diiringi irama musik etnik yang terkadang

diselingi oleh teriakan perang para penari prianya tidak populer di mata banyak

orang. Keanekaragaman, keindahan, keunikan dan eksotisme memang telah

menjadi trademark Kalimantan bahkan sejak jaman kolonial dulu. Namun sayang

tidak banyak yang menyadari bahwa kekayaan dan keunikan alam Kalimantan

terbentuk karena adanya sebuah sistem pendukung yang memungkinkan totalitas

kehidupan masyarakat adat yakni kebudayaan dan lingkungan hidupnya (termasuk

tradisi, kepercayaan, kesenian dan hukum adat) tetap eksis selama ribuan tahun

(Andasputra, 2001:71).

Dalam penelitian ini, penulis akan mengungkap seluk beluk tradisi Ngayau

dalam masyarakat Dayak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,

1990:959), yang dimaksud dengan tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun

(dari nenek moyang) yang masih dilakukan di masyarakat. Tradisi Ngayau

sebetulnya sudah tidak dipraktikkan lagi karena alasan tidak sesuai dengan hukum

di Indonesia.

Banyak versi yang menyebutkan motivasi atau faktor-faktor yang

mendorong masyarakat melakukan tradisi Ngayau. Ada yang mengatakan Ngayau

menandai fase kedewasaan. Ada pula yang menyebutkan bahwa Ngayau adalah

suatu simbolik kejantanan. Masih banyak versi lain yang akan diketahui setelah

menelusuri lebih jauh berbagai sumber. Tradisi berburu musuh, lazim disebut

3

Page 18: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Ngayau ini dulu dicatat pernah berkembang luas dalam masyarakat Dayak

Kalimantan. Narasi yang sering kita baca/dengar atau definisi yang kita susun

seperti “perang antar kampung”, “perang antar yang berbeda fam/marga”, atau

“perang antar subsuku” di kalangan masyarakat Dayak mungkin termasuk dalam

pengertian Ngayau. Bahkan, bisa jadi, juga perang Dayak-Madura yang

menghebohkan beberapa tahun belakangan dipahami sebagian masyarakat Dayak

sebagai pelaksanaan Ngayau.

Ngayau adalah salah satu bentuk kompleks perilaku sosial yang terjadi

dalam masyarakat Dayak. Ada yang beranggapan tradisi Ngayau masih ada di

masa kini. Jika ditelusuri lebih dalam lagi, sebenarnya generasi tahun 1960-an

sudah tak mengenal atau mengalami tradisi ini. Dalam kenyataan sebagaimana

yang terjadi, Ngayau sama sekali tidak dikenal lagi oleh masyarakat Dayak.

Ngayau sebenarnya merupakan ritual berburu kepala manusia di zaman

dulu. Adat Ngayau merupakan satu tradisi silam turun-temurun di masyarakat

Dayak. Tradisi ini memberi peluang bagi seorang lelaki menunjukkan

keberaniannya. Sebelum menikah seorang lelaki perlulah keluar dari daerah

tinggalnya dan pergi berburu kepala manusia dalam satu adat yang disebut

Ngayau itu. Seorang lelaki yang berhasil mendapat banyak kepala ketika

'Mengayau' ini mudah diterima sebagai menantu bagi keluarga yang dipinangnya.

Kepala-kepala tersebut akan dijadikan barang hantaran dan akan digantung di

rumah-rumah panjang sebagai semangat memelihara rumah. Dari paparan di atas,

cukup jelas bahwa masyarakat Dayak dengan tradisi meNgayau-nya telah menjadi

pusat perhatian banyak orang.

4

Page 19: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Untuk itulah, melalui penelitian ini penulis ingin mengangkat tradisi yang

sangat terkenal dalam masyarakat Dayak yaitu tradisi Ngayau, bagaimana tradisi

Ngayau bisa terjadi berikut proses pelaksanaannya. Penulis juga ingin agar

masyarakat non Dayak memahami betul agar tidak salah persepsi terhadap semua

orang Dayak yang dianggap “bisa memakan orang lain”.

Dengan mengkaji topik ini, penulis berharap dapat menyediakan

informasi-informasi yang berguna bagi siapapun yang ingin memahami secara

lebih mendalam mengenai tradisi Ngayau dalam masyarakat Dayak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimanakah seluk beluk tradisi Ngayau dalam masyarakat Dayak?

1.2.2 Bagaimanakah proses pelaksanaan ritual Ngayau dalam masyarakat

Dayak?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas,

penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

1.3.1 Melacak dan menjelaskan seluk beluk tradisi Ngayau dalam masyarakat

Dayak melalui cerita-cerita lisan dan tertulis.

1.3.2 Mendeskripsikan proses pelaksanaan ritual Ngayau dalam masyarakat

Dayak.

5

Page 20: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Dalam bidang sastra lisan dan folklor, hasil ini dapat menambah wawasan

mengenai penelitian tradisi lisan, termasuk tradisi Ngayau yang terdapat

dalam masyarakat Dayak di Kalimantan.

1.4.2 Menerapkan teori sastra ke dalam teks-teks sastra lisan yang selama ini

tidak dianggap sebagai karya sastra.

1.4.3 Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini dapat memberikan referensi

untuk memahami realitas tentang tradisi Ngayau yang tidak bisa

dimengerti secara rasional.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang tradisi Ngayau belum banyak dilakukan. Laporan hasil

penelitian dan buku yang ada sekarang hanya menjelaskan sepintas tentang seluk

beluk tradisi Ngayau.

Buku yang berjudul “Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik

Kebudayaan” karangan Drs. Yekti Maunati (2004) mengulas komodifikasi politik

dan budaya dalam masyarakat Dayak yang hanya mendeskripsikan tradisi Ngayau

sebagian kecil saja. Begitu juga dengan buku “Pelajaran dari Masyarakat Dayak

: Gerakan Sosial dan Ekologis di Kalimantan Barat” besutan Nico Andasputra

(2001) yang mengungkapkan tentang gerakan sosial dan ekologis yang terjadi di

lingkungan masyarakat Dayak itu sendiri, dengan buku yang berjudul “Dayak :

Dahulu, Sekarang, Masa Depan” karangan Mikhail Coomans (1987) mengulas

tentang bagaimana tingkah pola manusia Dayak pada zaman dahulu hingga

sekarang tetapi tidak mengungkap secara luas bagaimana tradisi Ngayau itu

6

Page 21: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

terjadi.

Dari tinjauan pustaka tersebut, tampak bahwa buku-buku di atas belum

secara tuntas mengungkap bagaimana tradisi Ngayau terjadi dan proses

pelaksanaannya. Untuk itu, studi ini sangat diperlukan agar ditemukan kejelasan

tentang tradisi Ngayau dan kaitannya dengan masyarakat Dayak.

1.6 Kerangka Teori

Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan tiga kerangka teori untuk

memecahkan masalah di atas, yaitu (i) folklor, (ii) analisis struktural, dan (iii)

teori liminalitas Victor Turner.

1.6.1 Folklor, Ilmu Sastra dan Teori Liminalitas

1.6.1.1 Folklor

Istilah folklor pertama kali dikemukakan oleh William John Thoms,

seorang ahli kebudayaan kuno (Artiquarian) Inggris, sebagai ganti istilah “popular

antiguitas”.

Folklor adalah sebuah ilmu yang mempelajari kebudayaan masyarakat

tertentu. Folk yang berarti, 1) Collectivity, sekelompok orang yang memiliki ciri-

ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan yang sama (bisa dibedakan dari

kelompok lain). Fisik: warna kulit, bentuk rambut yang sama. Sosial : mata

pencaharian. Budaya : pendidikan, bahasa. 2) Lore, tradisi lisan dari folk,

kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui contoh yang disertai gerak

(misalnya : tarian) atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi kedua), folklor didefinisikan

sebagai adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun- temurun,

7

Page 22: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

tetapi tidak dibukukan. Atau, ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang

tidak dibukukan.

Menurut Brunvard, folklor adalah suatu ciptaan (creations) dari suatu

kelompok atau seorang individu, yang berorientasi pada kelompok, dan

berdasarkan pada tradisi yang merefleksikan cita-cita dari suatu komunitas

sebagai suatu ungkapan jati diri kebudayaan masyarakatnya ; batasan-batasan,

standar-standar, dan nilainya diwariskan secara lisan, mencontoh (imitation), atau

dengan cara lain (Danandjaja, 2003:35).

Folklor Indonesia yang berjenis lisan ada dua jenis, yaitu kepercayaan

rakyat dan permainan rakyat (Danandjaja, 1984:153).

Adapun ciri-ciri folklor adalah: 1) It is Oral (penyebaran/pewarisannya

dilakukan secara lisan, dari mulut ke mulut atau disertai contoh/gerak dan alat

pembantu pengingat (memory device), 2) It is traditional (disebarkan dalam

bentuk standar/relatif tetap) disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu

yang cukup lama, paling kurang dua generasi (bertahan sampai dua atau lebih

generasi), 3) It is exist in different versions (hadir dalam versi-versi bahkan

varian-varian yang berbeda-beda). Karena penyebarannya dari mulut ke mulut

(lisan), folklor dengan mudah mengalami perubahan. Banyaknya versi antara lain

disebabkan oleh (a) lupa, (b) proses interpolasi, dan (c) transformasi. Meskipun

demikian, core atau bentuk dasar folklor relatif tetap (Taum, 2003).

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi masyarakat dan

manusia. Kebudayaan diciptakan oleh manusia untuk menentukan norma-norma

atau kaidah. Dengan kebudayaan yang diciptakan, manusia mengatur hidupnya.

8

Page 23: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Karya masyarakat mewujudkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang sangat

perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan (Soekamto,

1990: 194). Masyarakat dan kebudayaan merupakan perwujudan atau abstraksi

perilaku manusia (Soekamto, 1990:202). Pola-pola tingkah laku masyarakat di

samping ditentukan oleh kebiasaan dipengaruhi pula oleh kebudayaan

masyarakatnya (Soekamto, 1990).

1.6.1.2 Analisis Struktural

Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan dua analisis yaitu, analisis unsur

penceritaan dan analisis isi (content analysis).

1.6.1.2.1 Analisis Unsur Penceritaan

Dalam studi ini akan dilakukan analisis struktural terhadap teks-teks yang

diperoleh. Analisis itu akan mencakup: tokoh, latar, alur, dan tema. Tokoh adalah

orang atau pelaku cerita. Dalam sebuah cerita biasanya terdapat tokoh utama dan

tokoh tambahan. Tokoh ini dibedakan berdasarkan segi peranan dan tingkat

pentingnya tokoh.

Analisis struktur cerita biasanya berisi penjabaran tema, alur, tokoh, dan

latar. Hartoko dan Rahmanto (1986:144) memaparkan tokoh adalah pelaku atau

aktor yang dianggap sebagai tokoh konkret dan individual. Pengertian tokoh lebih

luas daripada aktor atau pelaku yang hanya berkaitan dengan fungsi seseorang

dalam teks naratif atau drama. Citra tokoh disusun dengan memadukan berbagai

faktor, yakni apa yang difokalisasinya (hubungan antara unsur-unsur cerita

dengan visi yang meliputi unsur-unsur tertentu), bagaimana ia memfokalisasi,

oleh siapa dan bagaimana ia difokalisasi, kelakuannya sebagai pelaku dalam

9

Page 24: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

deretan peristiwa, ruang dan waktu (suasana) serta pertentangan tematis di dalam

karya itu yang secara tidak langsung merupakan bingkai acuan bagi tokoh. Tokoh

yang bersangkutan dapat “dihidupkan” berdasarkan konvensi yang diketahui oleh

pembaca. Sedangkan, menurut Sudjiman (1986:79) tokoh adalah individu rekaan

yang mengalami peristiwa atau berlaku di dalam berbagai peristiwa dalam cerita.

Latar (setting) adalah penetapan dalam ruang dan waktu seperti yang

terjadi dalam karya naratif dan dramatis. Latar sangat penting untuk menciptakan

suasana dalam karya atau adegan serta untuk menyusun pertentangan tematis

(Hartoko dan Rahmanto, 1986:78). Pengertian lain, latar adalah segala keterangan

mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra

(Sudjiman,1986:48). Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:10), alur (plot)

secara komplementer berkaitan dengan cerita (story) yang dikembangkan oleh

konflik dan berkaitan dengan kausalitas (sebab-akibat) suatu cerita. Alur flash

back atau flash forward sering digunakan dalam teknik bercerita. Menurut

Sudjiman (1986:4) alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk

mencapai efek tertentu. Alur dapat diwujudkan dengan hubungan temporal

(waktu) dan hubungan kausal (sebab-akibat). Alur juga dapat diartikan ‘sebagai

rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama untuk menggerakkan

jalinan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian’. Alur (plot) juga

diartikan ‘sebagai sesuatu yang menonjol dalam sebuah karya fiksi atau suatu

dasar serta alasan yang menyebabkan terjadinya perkembangan jalinan cerita’

(Sumardjo,1983:55).

10

Page 25: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra

dan terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis serta menyangkut

persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif

konkret yang menentukan urutan peristiwa atau situasi tertentu. Tema sering

disebut sebagai sub judul sebuah roman (Hartoko dan Rahmanto,1986:142).

Sedangkan menurut Sumardjo (1983:57) tema adalah pokok pembicaraan dalam

sebuah cerita. Dalam cerita tersebut tidak hanya sekedar berisi rentetan kejadian

yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi susunan bagian itu sendiri harus

mempunyai maksud tertentu dan pengalaman yang dibeberkan pada sebuah cerita

harus mempunyai permasalahan. Kebanyakan cerita membahas sesuatu masalah

pokok yang terus menerus dibicarakan sepanjang cerita.

1.6.1.2.2 Analisis Isi (Content Analysis)

Analisis isi adalah metodologi penelitian yang menggunakan sekumpulan

prosedur untuk membuat kesimpulan teks yang valid. Kesimpulan itu tentang

pengirim pesan itu sendiri ataupun penerima pesan (Weber,1990:9).

Ketentuan proses yang dapat disimpulkan ini berbeda menurut kata benda

dan teoritis dari penyelidik, dan dibahas dalam bab yang berurutan. Analisis ini

dapat digunakan dalam banyak tujuan. Di bawah ini adalah beberapa contoh:

1. Membandingkan media atau “tingkatan” tentang komunikasi.

2. Isi komunikasi audit melawan terhadap sasaran hasil.

3. Kode pertanyaan terbuka di dalam survei.

4. Mengidentifikasi niat dan karakteristik lain dari komunikator.

5. Menentukan keadaan psikologi orang atau kelompok.

11

Page 26: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

6. Mendeteksi keadaan propaganda.

7. Menguraikan sikap dan tanggapan tingkah laku ke komunikasi.

8. Mencerminkan pola teladan kelompok budaya, institusi, atau masyarakat.

9. Menguraikan kecenderungan di dalam isi komunikasi.

1.6.1.3 Teori Liminalitas Victor Turner

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori liminalitas dari Victor

Turner. Hal ini berkaitan dengan fungsi utama tradisi Ngayau sebagai sebuah

upacara inisiasi. Liminalitas menurut Turner adalah sebagai suatu jembatan

penghubung; yaitu fase yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan merupakan

suatu tingkat atau fase. Dengan melalui fase liminalitas, upacara mendasari suatu

proses transformasi dan yang secara bersamaan mengabsahkan kembali kategori-

kategori lama yang bersifat struktural dan yang sementara itu juga berfungsi

sebagai "pusat kekuatan pendorong bagi berbagai kegiatan" (Turner, 1974:273)

bagi penciptaan bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang bersifat struktural.

Simbol-simbol yang ada dan yang berlaku selama waktu liminal berasal

dari konsep-konsep pendidikan yang kemudian dipisahkan dari kategori-kategori

yang terstruktur yang biasanya menyelimuti dan mendefinisikan simbol-simbol

tersebut. Konteks yang baru dari simbol-simbol ini adalah "mengajarkan kepada

para inisiandus mengenai lingkungan kebudayaan mereka dan memberikan

kepada mereka kerangka sandaran yang paling hakiki untuk memahaminya"

(Turner, 1967:108), yaitu mengenai peranan mereka yang baru dalam struktur

sosial tersebut. Konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh individu dengan

demikian diubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat kebersamaan dengan

12

Page 27: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara lingkaran hidup yang

mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial.

Dengan demikian, hubungan antara upacara dengan struktur sosial terletak

pada kesanggupan dari upacara untuk dapat menempatkan dirinya di atas

kedudukan satuan struktur sosial dengan melalui fase liminal atau fase anti-

struktural. Dalam hal ini upacara berperan sebagai pedoman bagi semua fase-fase

dan semua aspek-aspek pengalaman kebudayaan dengan melalui berbagai bentuk

proses yang dilalui oleh setiap individu. Dengan kata lain, upacara adalah juga

suatu sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang didorong untuk dihidupkan pada

masa liminal, maupun sebagai sumber bagi terwujudnya status quo dalam

pelaksanaannya. Manusia "berkembang melalui anti-struktur atau liminalitas dan

dilestarikan melalui struktur" (Turner, 1974:298).

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

1.7.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan folklor dan

pendekatan analisis sastra. Pendekatan folklor tentang konteks mitos dan ritual

yang ada dalam tradisi Ngayau, sedangkan pendekatan analisis sastra untuk

menganalisis teks-teks hasil wawancara maupun cerita lisan mengenai tradisi

Ngayau.

13

Page 28: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

1.7.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dan metode

penelitian kualitatif. Metode penelitian deskriptif adalah yang memberikan objek

penelitian berdasarkan fakta yang ada (Sudaryanto, 1993 : 62). Sedangkan metode

penelitian kualitatif adalah metode pengkajian terhadap suatu masalah yang tidak

didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Subroto, 1992:

5).

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan tiga metode, yaitu metode kepustakaan,

metode wawancara, dan metode observasi. Metode-metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.7.3.1 Observasi

Observasi menghasilkan deskripsi yang khusus tentang apa yang telah

terjadi, dan peristiwa sejarah, atau hasil dari peristiwa (Komaruddin, 1974:97).

Cara ini digunakan untuk mendukung hasil wawancara. Dengan cara ini dapat

diperoleh gambaran proses pelaksanaan yang ada kaitannya dalam tradisi Ngayau.

Cara ini akan menambah kelengkapan data hasil wawancara. Observasi dilakukan

dengan cara mendatangi langsung salah satu desa di Kabupaten Landak yang

pernah melakukan tradisi Ngayau. Setelah itu diadakan wawancara kepada

narasumber yang pernah melakukan, menyaksikan sendiri bagaimana tradisi

Ngayau itu terjadi.

14

Page 29: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

1.7.3.2 Wawancara

Wawancara sebagai suatu proses tanya jawab, lisan, yaitu dua orang atau

lebih berhadap-hadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain

dengan mendengarkan telinga sendiri suaranya. Metode ini merupakan alat

pengumpulan informasi yang langsung tentang beberapa jenis data sosial, baik

yang terpendam (latent) maupun yang memanifes (Hadi, 1979:192).

Metode wawancara dilakukan dengan cara mewawancarai para informan

yang dianggap mampu memberikan penjelasan tentang tradisi Ngayau. Pada

penjelasan yang dimaksud adalah kepercayaan yang berlaku dalam tradisi

Ngayau, narasumber adalah ketua adat setempat dimana tradisi Ngayau pernah

dilakukan di daerah itu, sesepuh yang masih memahami bagaimana tradisi Ngayau

itu, serta orang-orang dibalik tradisi Ngayau dan masyarakat Dayak setempat.

1.8 Subjek dan Lokasi Penelitian

1.8.1 Lokasi Penelitian

Suku Dayak terdiri dari 450 subsuku dari berbagai daerah di Kalimantan.

Dan hampir sebagian dari jumlah subsuku tersebut mengetahui dan mengalami

tradisi Ngayau. Penulis akan meneliti tradisi Ngayau suku Dayak Kanayatn di

desa Pahauman dan sekitarnya, di Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak,

sekitar 137 km dari Ibu Kota Propinsi Kalimantan Barat.

15

Page 30: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

1.8.2 Narasumber

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:609), yang dimaksud

dengan narasumber adalah orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau

menjadi sumber) atau bisa juga dikatakan sebagai informan.

Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah, ketua adat kampung

setempat yang pernah melakukan tradisi Ngayau, tua-tua adat Dayak yang pernah

mengalami, atau menyaksikan sendiri bagaimana tradisi Ngayau dilaksanakan,

dan masyarakat adat Dayak di Kabupaten Landak Kalimantan Barat.

1.9 Sistematika Penyajian

Laporan hasil penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:

Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan perihal latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian asal usul

masyarakat Dayak, dan topografi serta demografi daerah Kalimantan Barat

khususnya Kabupaten Landak, serta Ngayau di masyarakat Dayak dalam konteks

sastra dan budaya Dayak.

Bab III berisi uraian tentang deskripsi dan analisis struktural cerita seluk

beluk tradisi Ngayau dalam masyarakat Dayak.

Bab IV berisi uraian tentang proses pelaksanaan tradisi Ngayau dalam

masyarakat Dayak.

Bab V berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud adalah

kesimpulan tentang pengungkapan seluk beluk tradisi Ngayau dan proses

16

Page 31: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

pelaksanaannya. Saran yang dimaksud adalah saran kepada peneliti. Bagian akhir

adalah daftar pustaka, lampiran, dan biografi.

17

Page 32: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Sejarah Singkat Kabupaten Landak

Terbentuknya Kabupaten Landak berdasarkan Undang Undang Republik

Indonesia Nomor 55 tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999. Lembaran Negara

Indonesia tahun 1999 Nomor 183.

Pertimbangan pokok terbentuknya Kabupaten Landak berhubungan dengan

perkembangan dan kemajuan Propinsi Kalimantan Barat pada umumnya dan

Kabupaten Pontianak pada khususnya serta adanya aspirasi yang berkembang

dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan

dan pelaksanaan pembangunan serta pembinaan masyarakat guna menjamin

perkembangan dan kemajuan pada masa mendatang.

Sehubungan dengan hal tersebut, dan memperhatikan perkembangan

penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan

meningkatnya beban tugas serta volume kerja di bidang penyelenggaraan

pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Kabupaten Pontianak

dipandang perlu membentuk Kabupaten Landak sebagai pemekaran dari

Kabupaten Landak (Bappeda, 2004 : 25).

Pembentukan Kabupaten Landak akan dapat mendorong peningkatan

pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta

memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi yang ada di wilayah untuk

menyelenggarakan otonomi daerah.

18

Page 33: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Kabupaten Landak dengan ibukotanya yang berkedudukan di Ngabang

pada tahun 2004 membawahi 10 kecamatan, 156 desa dan 558 dusun. Hingga saat

ini Kabupaten Landak belum terdapat kelurahan. Dari 156 desa tersebut

diantaranya terdapat 6 desa yang berklasifikasi sebagai desa swakarsa dan sisanya

sebanyak 141 desa merupakan desa swasembada. Berdasarkan dari kategori

LKMD terdapat 5 desa yang LKMD-nya berkategori IIB dan 24 desa berkategori

IIC serta sebanyak 127 desa berkategori IIC.

Penyebaran desa di Kabupaten Landak tidak berimbang antar satu desa

dengan desa lainnya karena dipengaruhi oleh faktor luas wilayah dan faktor

lainnya. Tidak seimbangnya penyebaran desa dapat dilihat dengan adanya satu

kecamatan yang memiliki desa diatas tiga puluh seperti Kecamatan Ngabang

mencapai 32 desa dan ada pula kecamatan yang memiliki desa sebanyak dua

puluh seperti Kecamatan Mempawah Hulu dan Kecamatan Menyuke masing-

masing sebanyak 24 desa dan 23 desa. Sedangkan untuk Kecamatan Meranti dan

Sebangki jumlah desanya tidak mencapai 10 yaitu 6 desa di Kecamatan Meranti

dan 5 desa di Kecamatan Sebangki (Bappeda, 2004: 25).

Pertanian merupakan sumber penghasilan utama masyarakat Dayak

Kanayatn. Usaha-usaha pertanian ini menyangkut tanaman padi, karet, sayur-

sayuran, kopi dan buah-buahan.

Tanaman padi diusahakan masyarakat dengan sistem uma (ladang) dan

papuk/bancah (sawah). Hasil uma dan papuk/bancah merupakan kontribusi yang

besar dalam menunjang ekonomi keluarga. Penghasilan padi selain dikonsumsi

keluarga, juga dijual.

19

Page 34: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Perkebunan utama masyarakat Dayak Kanayatn adalah karet. Karet

merupakan mata pencaharian yang langsung dapat ditukar dengan uang tunai.

Diperkirakan 80% masyarakat Kanayatn adalah petani karet.

Selain karet, sumber penunjang perekonomian masyarakat yaitu kopi, lada,

kemiri dan buah-buahan seperti durian, cempedak, langsat, dan lain-lain.

Sistem pertanian asli suku Dayak Kanayatn, dilakukan secara terpadu.

Maka mereka pun memelihara berbagai macam hewan ternak, seperti ayam, babi,

sapi dan itik, kambing dan sapi. Hasil peternakan selain untuk digunakan dalam

berbagai upacara adat, juga dikonsumsi sendiri atau dijual untuk menukar

berbagai kebutuhan yang tidak dapat diadakan sendiri.

Sumber perekonomian masyarakat Dayak Kanayatn yang cukup penting

lainnya adalah hasil-hasil hutan berupa kayu, rotan, damar, dan madu. Hasil kayu

biasanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Masuknya orang-orang dari luar

yang mengeksploitasi hutan dengan mengambil kayu, juga merangsang sebagian

anggota masyarakat Dayak Kanayatn untuk berbisnis di bidang perkayuan.

Namun demikian, mereka pada umumnya tidak menjual langsung kayu itu, tetapi

berperan sebagai penyuplai kepada pedagang perantara. Dengan demikian,

mereka tidak menikmati keuntungan dalam usaha ini.

Pertambangan rakyat merupakan sektor ekonomi lain yang cukup penting.

Lewat pertambangan ini mereka memperoleh emas yang dapat secara langsung

dijual ke pasar-pasar lokal ataupun kepada para penadah. Namun sektor

pertambangan rakyat ini semakin hari semakin tersingkir dengan hadirnya proyek-

proyek pertambangan yang berskala besar dengan ditunjang alat-alat modern, dan

20

Page 35: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

adanya tudingan bahwa mereka adalah penambang tanpa ijin (Peti).

Masuknya Hak Penguasaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Perkebunan

dan pertambangan berskala besar ternyata telah menggeser sumber-sumber

perekonomian suku Dayak Kanayatn.

Meskipun banyak orang berbicara mengenai kebudayaan Dayak, namun

sedikit sekali yang mempublikasikannya secara tertulis. Aspek sosial ekonomi

dalam kebudayaan Dayak memang belum banyak diteliti dan diketahui orang,

karena dinamika kehidupan ekonominya. Padahal aspek sosial dan aspek ekonomi

adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam kebudayaan. Sebab kehidupan sosial

mempengaruhi ekonomi dan sebaliknya ( Andasputra, 1997 : 125).

Peran serta masyarakat bukan hanya diharapkan dalam kegiatan politik

tetapi mencakup segala bidang kehidupan kemasyarakatan. Banyak potensi yang

ada dalam masyarakat Dayak perlu digali, digerakkan, dan dikembangkan. Warga

masyarakat diharapkan berinisiatif mengembangkan potensi-potensi yang ada

pada dirinya, dan secara sadar membangun kelompoknya. Tampaknya peran serta

yang demikian masih kurang dihayati oleh orang Dayak, juga oleh tokoh-tokoh

masyarakatnya.

Kehidupan politik memang sangat kuat pengaruhnya terhadap bidang

ekonomi. Orang Dayak berkecimpung dalam bidang politik, baik di lembaga

eksekutif maupun legislatif, dituntut untuk mampu menggerakkan partisipasi

masyarakatnya.

Membangun bukanlah membuat yang besar-besar saja, tetapi membangun

dalam skala kecil pun asalkan sungguh-sungguh juga banyak manfaatnya. Untuk

21

Page 36: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

itulah pembangunan di masyarakat Dayak harus mampu menggerakkan segala

potensi yang ada (Andasputra, 1997 : 130).

2.2 Topografi dan Demografi Kabupaten Landak

Kabupaten Landak adalah salah satu daerah kabupaten di Propinsi

Kalimantan Barat yang merupakan pecahan dari Kabupaten Pontianak. Secara

administratif Kabupaten Landak mempunyai batas wilayah berbatasan antara lain

: Sebelah Utara dengan Kabupaten Bengkayang, Sebelah Timur dengan

Kabupaten Sanggau, Sebelah Selatan dengan Kabupaten Pontianak, Sebelah Barat

dengan Kabupaten Pontianak.

Kabupaten Landak yang membawahi sebanyak 10 kecamatan memiliki

luas sebesar 9.909,10 km² atau sekitar 6,75 % dari luas wilayah Propinsi

Kalimantan Barat dan merupakan kabupaten dengan luas wilayah terkecil ketiga

setelah Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak.

Kecamatan Ngabang merupakan kecamatan yang paling luas wilayahnya,

yaitu sebesar 1.996,90 km² kemudian Kecamatan Sengah Temila dengan luas

wilayah 1.963 km² serta Kecamatan Air Besar 1.361,20 km².

Adapun kecamatan yang paling kecil luas wilayahnya adalah Kecamatan

Menjalin dengan luas 322,90 km².

Letak geografis Kabupaten Landak menurut garis Lintang dan Bujur

adalah sebagai berikut, 1°00' pada Lintang Utara, 0°52' pada Lintang Selatan,

109°10'42'' pada Bujur Timur dan 109°10' pada Bujur Timur.

22

Page 37: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Jalan merupakan prasarana untuk mempermudah mobilitas penduduk dan

kegiatan perekonomian antardaerah dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu, jalan

mempunyai peranan penting dalam menunjang kelancaran berbagai aktivitas

ekonomi dan lain-lain.

Panjang jalan di Kabupaten Landak tahun 2004 tercatat sepanjang

1.642,35 Km yang terdiri dari : jalan nasional 131,00 Km (7,98%) jalan propinsi

170,00 Km (10,35%) jalan kabupaten sepanjang 662,50 Km (40,34%) serta jalan

lainnya sepanjang 678,85 Km (41,33%)

Dari 1.642,35 Km panjang jalan ini jika dilihat dari jenis permukaannya,

587,08 Km merupakan jalan aspal, 81,88 Km merupakan jalan kerikil dan 407,32

Km merupakan jalan tanah.

Melihat dari kondisinya, terdapat 471,81 Km jalan yang kondisinya baik,

242,84 Km jalan yang kondisinya sedang, 571,53 Km kondisinya rusak dan

346,17 Km kondisinya rusak berat.

Kabupaten Landak dapat dikatakan sebagai daerah hujan dengan intensitas

tinggi. Secara umum curah hujan rata-rata bulanan di tahun 2004 sebesar 247 mm,

yang berarti tidak jauh berbeda dengan keadaan di tahun 2003 dan 2002 yaitu

sebesar 311 mm dan 285 mm. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi ini

kemungkinan dipengaruhi oleh daerahnya yang berhutan tropis. Rata-rata curah

hujan tertinggi terjadi pada bulan September yang mencapai 526 milimeter

dengan jumlah hari hujan sebanyak 14 hari. Dilihat dari hari hujan menurut

kecamatan yang tertinggi selama setahun untuk tahun 2004, yaitu Kecamatan

Sengah Temila 105 hari diikuti Kecamatan Ngabang dan Menjalin 70 hari.

23

Page 38: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Secara umum jenis lahan di Kabupaten Landak terbagi dua jenis lahan,

yaitu tanah sawah dan tanah kering. Luas tanah sawah di Kabupaten Landak akhir

tahun 2004 mencapai 73.210 hektar (7,49%) dan tanah kering seluas 917.700

hektar (92,51 %). Luas tanah sawah jika dirinci menurut jenisnya, yaitu tanah

sawah berpengairan setengah teknis seluas 3.677 hektar (5,02%) pengairan

sederhana 30.137 hektar (41,16%) pengairan tadah hujan 14.607 hektar (19,95%)

sawah lainnya 2.820 hektar (3,85%) dan lahan sementara tidak diusahakan 21.929

hektar (29,95%).

Untuk lahan kering meliputi pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma,

peenggembalaan, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan, rawa-rawa, tambak,

kolam, dan lain-lain.

Hutan rakyat merupakan lahan kering yang paling luas, yakni mencapai

254.278 hektar (27,71%) kemudian perkebunan seluas 222.973 hektar (24,29%)

dan lahan sementara tidak diusahakan seluas 134.700 hektar (14,68%).

Luas panen tanaman padi di Kabupaten Landak tahun 2004 sebesar 56.058

hektar dengan produksi sebesar 182.220 ton. Adapun luas panen tanaman padi

yang terbesar berada di Kec. Sengah Temila (14.425 Ha) diikuti Kec. Menyuke

(10.164%) dan Kec. Mempawah Hulu (9.704 Ha).

Produksi palawija yang terbesar adalah ubi kayu sebesar 93.261 ton dan

jagung sebesar 6.382 ton.

Untuk jenis sayur-sayuran, produksi yang terbesar adalah petsai/sawi

sebesar 574 ton kemudian kacang panjang 502 ton.

24

Page 39: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Produksi buah-buahan yang paling banyak adalah durian sebanyak 53.364

Kw diikuti pisang sebanyak 18.320 Kw dan nangka sebanyak 10.542 Kw.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000 jumlah penduduk Kabupaten

Landak sebanyak 282.026 jiwa yang terdiri dari 47.073 laki-laki dan 134.953 jiwa

perempuan dengan sex ratio 108,98.

Selama kurun waktu 1990-2000 laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten

Landak sebesar 0,92 persen per tahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan

dengan laju pertumbuhan penduduk Propinsi Kalimantan Barat yang sebesar 1,53

persen per tahun.

Berdasarkan hasil proyeksi, jumlah penduduk Kabupaten Landak di tahun

2004 sebesar 309.127 jiwa yang terdiri dari 60.858 laki-laki dan 148.269

perempuan dengan sex ratio 108 artinya dari 100 orang penduduk perempuan

terdapat 108 orang penduduk laki-laki (Bapedda, 2004 : 43).

Penduduk di Kabupaten Landak ada yang dapat dikategorikan sebagai

penduduk produktif yaitu penduduk yang berada pada usia antara 15 tahun sampai

dengan 64 tahun. Dan penduduk yang berusia dibawah 14 tahun dan 65 tahun

keatas dikategorikan sebagai penduduk non produktif. Penduduk non produktif ini

menjadi beban/tanggungan penduduk yang produktif. Indikator tentang tingkat

beban ini disebut dependency ratio yaitu jumlah penduduk non produktif dibagi

penduduk produktif.

Angka dependency ratio di Kabupaten Landak untuk tahun 2003 adalah

sebesar 62,08 sedangkan di tahun 2000 adalah sebesar 72,10. Dengan indikator

ketergantungan yang lebih kecil di tahun 2004 menunjukkan kondisi yang lebih

25

Page 40: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

baik, artinya makin kecilnya jumlah penduduk yang menjadi beban/tanggungan.

Dari 10 kecamatan yang ada di Kabupaten Landak terlihat bahwa penyebaran

penduduknya tidak merata. Ada beberapa kecamatan yang jumlah penduduknya di

atas 40.000 jiwa seperti Kecamatan Mempawah Hulu, Sengah Temila dan

Ngabang. Dan ada pula kecamatan yang jumlah penduduknya di bawah 15.000

jiwa seperti Kecamatan Kuala Behe dan Meranti.

Begitu pula dengan tingkat kepadatan penduduk yang bervariasi.

Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Mempawah Hulu dengan

tingkat kepadatan rata-rata 65 penduduk per Km² dan kepadatan penduduk yang

terkecil di Kecamatan Kuala Behe dengan tingkat kepadatan rata-rata 13

penduduk per Km² (Bappeda, 2004: 43).

Dalam penelitian ini, masyarakat yang dikaji adalah masyarakat Dayak

Kanayatn yang berada di daerah Kabupaten Landak.

2.3 Masyarakat dan Budaya Dayak di Kabupaten Landak

2.3.1 Kepercayaan Rakyat dari Cerita-cerita Rakyat Kabupaten Landak

Kepercayaan rakyat atau yang sering disebut “takhyul” adalah

kepercayaan yang dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika

sehingga secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Berhubungan dengan kata

“takhyul” yang mengandung arti “merendahkan atau menghina” maka ahli folklor

modern mempergunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief) atau keyakinan

rakyat daripada takhyul berarti ‘hanya khayalan belaka atau sesuatu yang hanya

diangan-angan saja’ (Danandjaja,1984 : 153).

26

Page 41: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Walaupun sudah tidak menggunakan istilah takhyul dan lebih banyak

mempergunakan istilah kepercayaan namun bagi orang awam yang berpendidikan

Barat tetap menganggap rendah kepercayaan rakyat. Hal ini disebabkan mereka

menganggapnya tidak modern. Sikap ini menurut ahli folklor tentu tidak dapat

dibenarkan berdasarkan dua hal sebagai berikut. Pertama, takhyul mencakup

bukan hanya kepercayaan (belief) melainkan juga kelakuan (behavior),

pengalaman (experiences), ada kalanya juga alat, dan biasanya dapat berupa

ungkapan serta sajak takhyul menyangkut kepercayaan dan praktik (kebiasaan)

dan pada umumnya takhyul diwariskan melalui media tutur kata.

Kedua, dalam kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang

modern dapat terbebas dari takhyul, baik dalam hal kepercayaan maupun dalam

hal kelakuannya (Brunvard, 1968 : 178 via Danandjaja,1984 : 153-154).

Selain kepercayaan rakyat, di Kabupaten Landak juga terdapat cerita-cerita

rakyat yang menjadi mitos. Mitos juga disebut mite (myth). Mite adalah prosa

rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita.

Karena itu, dalam mite sering ada tokoh pujaan atau sebaliknya yang ditakuti.

Baik tokoh mite yang dipuji maupun ditakuti implikasinya, selalu muncul

dalam bentuk penghormatan. Penghormatan yang disebut ada kalanya juga

dimanifestasikan dalam wujud pengorbanan. Pemahaman atas cerita yang

bernuansa mitos ini pada kenyataannya menjadi sebuah keyakinan yang

berlebihan dan mempengaruhi pola pikir masyarakat ke arah takhyul. Sehingga

tak jarang masyarakat mengganggap keramat suatu mitos. Mite biasanya

mengisahkan terjadinya alam dan sebagainya (Endraswara, 2005:163).

27

Page 42: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Mitos (Yunani : Mythos) menurut arti lazimnya cerita tradisional tentang

dewa-dewa serta kejadian-kejadian gaib. Mitos berbeda dengan cerita nenek

moyang dan cerita-cerita rakyat yang mencatat hal ihwal manusia atau dari

dongeng-dongeng serta cerita binatang yang diciptakan untuk melipur lara

ataupun untuk memberi nasihat. Frazer dalam buku “The Golden Bough”,

menyatakan bahwa semua mitos dihubungkan dengan kesuburan alam. Sebagian

besar ahli-ahli antropologi tidak percaya pada suatu teori tunggal mengenai mitos

tetapi percaya pada penafsiran mitos dari suatu bangsa secara khusus. Mitos telah

digunakan luas dalam kesusastraan baik yang diambil dari kepercayaan kuno

untuk tujuan pengarang (Pringgodinggo, 1973:838).

Istilah mitos tidak hanya digunakan dalam kesusastraan tetapi juga

digunakan pada kehidupan nyata masyarakat. Adapun macam-macam mitos yang

ada dalam masyarakat Dayak antara lain, tidak boleh bersiul pada malam hari

karena sama saja dengan kita memanggil arwah yang sudah meninggal; dilarang

memotong kuku pada malam hari karena akan mendatangkan kesialan; pada saat

ada bayi baru lahir, setiap kali ia tidur diatas tempat tidurnya harus diletakkan

gunting supaya roh-roh jahat tidak mengganggunya, dan macam-macam mitos

lainnya.

Dalam masyarakat Dayak dikenal berbagai macam cerita prosa seperti

mitos, legenda dan dongeng berkembang di masyarakat. Dalam cerita-cerita

rakyat itu, banyak yang berbau dongeng. Pemahaman mereka atas dongeng pun

lalu menyempit, hanya terbatas pada tokoh hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-

28

Page 43: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

benda keramat lainnya. Sedangkan, cerita yang dominan tokohnya manusia

mereka pahami sebagai cerita rakyat (Endraswara, 2005:163).

Berbagai macam cerita rakyat Kabupaten Landak yang populer dan

melegenda adalah Ne’ Kancat, Dara Itapm yang bercerita tentang kepahlawanan;

Ne’ Baruakng Kulup, Si Kencet yang bercerita tentang asal usul nama dan

kejadian; Kakura mang Pilanuk, Kara’ mang Oncet, Kakura’ mang Kijang

Makaratn Talok mang Pauh yang bercerita tentang kehidupan binatang.

2.3.2 Ritual-ritual

Ritual menurut Martin dan Bhaskarra (2003 : 481) berarti ‘hal ihwal yang

berkenaan dengan ritus’. Ritus itu sendiri menurut mereka adalah tata cara dalam

upacara keagamaan. Ritual yang masih dilakukan masyarakat Kabupaten Landak

tidak beda dengan masyarakat Dayak pada umumnya. Masyarakat Kabupaten

Landak juga mengenal ritual-ritual, seperti adat bahuma batahut’ , adat pertanian

asli setahun sekali. Kebiasaan tak tertulis ini terjadi secara kronologis setiap tahun

dalam hal praktek upacara ritual Nyangahatn ‘berdoa’ sebelum suatu pekerjaan

bertani dilakukan, yang biasanya dimulai pada setiap bulan 6 (Juni) setiap tahun

(Andasputra, 1997:61).

Ritual-ritual lain yang masih dilakukan oleh masyarakat Kabupaten

Landak, antara lain Naik Dango (Upacara Syukuran Padi) yang menjadi kegiatan

ritual di seputar kegiatan panenan yang diselenggarakan setahun sekali oleh

masyarakat Dayak Kanayatn. Dango dalam bahasa Dayak Kanayatn berarti

Dangau atau pondok untuk berteduh yang biasanya dibuat di ladang atau sawah.

29

Page 44: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Bentuknya sederhana dan dalam ukuran kecil. Dalam konteks ini dango adalah

lumbung tempat menyimpan padi yang biasanya dibangun di sekitar tempat

tinggal di lingkungan kampung. Dikatakan dango padi (rumah padi), karena

menurut kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn, padi memiliki semangat yang

hidup (the living spirit), dan mereka tinggal di dango, seperti halnya manusia

(Andasputra, 1997:69).

Ritual berikutnya adalah Nyangahatn, yang merupakan inti kegiatan ritual

dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Nyangahatn adalah pembacaan doa yang

dilakukan oleh Imam Adat atau disebut Panyangahatn. Dalam upacara Naik

Dango, Nyangahatn dilakukan dalam lumbung padi si penyelenggara pesta yang

dilakukan pagi hari. Doa-doa yang diucapkan dalam bentuk mantera-mantera itu

berisi pemanggilan pulang semangat padi yang masih berlayar (diperjalanan) agar

berkumpul di dalam lumbung padi sekaligus ucapan syukur atas rezeki yang

sudah diberikan dan memohon berkat untuk menggunakan padi yang sudah

disimpan dalam lumbung untuk keperluan pangan.

2.4 Tradisi Ngayau di Kabupaten Landak dalam Konteks Sastra dan Budaya

Dayak

Asal-usul untuk mendefinisikan “sastra’ tidak terhitung jumlahnya tetapi

asal-usul yang memuaskan tidak banyak. Sebuah definisi “ontologis” mengenai

sastra, yaitu sebuh definisi yang mengungkapkan hakekat sebuah sastra sambil

meluapkan bahwa sastra hendaknya didefinisikan di dalam situasi para pemakai

atau pembaca sastra. Norma dan deskripsi sering dicampuradukkan. Juga tidak

30

Page 45: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

disadari bahwa karya bagi sebagian orang termasuk sastra sedangkan bagi

sebagian orang lain tidak. Berkaitan dengan hal tersebut, sering ada anggapan

mengenai sastra terlalu ditentukan oleh contoh sastra Barat, khususnya sejak

zaman Rennaissance, tanpa menghiraukan bentuk-bentuk sastra yang khas

terdapat dalam lingkungan kebudayaan di luar Eropa, di zaman-zaman tertentu,

atau di dalam lingkungan sosial tertentu. Pendek kata, pengertian tentang sastra

sendiri sering dimutlakkan dan dijadikan sebuah tolak ukur universal; padahal

perlu diperhatikan kenisbian historik sebagai titik pangkal (Luxemburg,1989:3-4).

Kata budaya menurut pembendaharaan bahasa Jawa berasal dari kata budi

dan daya. Penyatuan dua kata menjadi satu kata baru yang membentuk satu

pengertian baru pula dinamakan Jarwadosok, yaitu ‘pengertian yang dipadatkan’.

Maksudnya, untuk mempersatukan arti kata tersebut ke dalam satu arti kata baru

sehingga mudah diingat. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata budaya berasal

dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah, adalah bentuk jamak dari budhhi yang

berarti ‘budi’ dan ‘akal’. Jadi, kebudayaan itu dapat diartikan: ‘hal-hal yang

bersangkutan dengan budi dan akal’. Zoetmulder dalam buku culture Cost en

West berpendapat bahwa asal usul kata budaya itu merupakan perkembangan dari

majemuk “budi-daya”, artinya ‘daya dari budi’ atau ‘kekuatan dari akal’

(Herusatoto,1984:5-6).

Begitu eratnya hubungan manusia dengan kebudayaan karena kebudayaan

merupakan lingkup dimana manusia hidup. Pertanyaan bahwa manusia adalah

makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran

dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal

31

Page 46: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

bagaimana tanggapan manusia terhadap dunia, lingkungan serta masyarakatnya

dan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap

terhadap dunia luarnya bahkan untuk mendasari setiap langkah yang hendak dan

harus dilakukan sehubungan dengan pola hidup dan tata cara kemasyarakatannya

(Herusatoto,1984:7).

Ada suatu tradisi yang tak pernah lepas dari kebudayaan masyarakat

Dayak yaitu tradisi Ngayau. Banyak versi yang menyebutkan motivasi atau

faktor-faktor yang mendorong masyarakat melakukan tradisi Ngayau. Ada yang

mengatakan Ngayau menandai fase kedewasaan. Ada pula yang menyebutkan

bahwa Ngayau adalah suatu simbolik kejantanan. Tradisi berburu musuh, lazim

disebut Ngayau ini dulu dicatat pernah berkembang luas dalam masyarakat Dayak

Kalimantan.

32

Page 47: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

BAB III

DESKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTURAL CERITA ASAL-USUL

TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK

3.1 Pengantar

Ada pendapat yang menyatakan bahwa kisah sastra memiliki banyak versi.

Levi-Strauss (1958:92-93) menyebutkan versi itu memiliki keunikan tersendiri

sehingga tidak perlu seorang peneliti sastra lisan menyusun teknik kritik untuk

membuktikan versi yang paling benar ataupun versi yang paling awal. Emendasi

jelas tidak diperlukan dalam teks sastra lisan. Dengan demikian, metode yang

dibutuhkan dalam mengedit teks sastra lisan adalah edisi diplomatik. Edisi

diplomatik berarti, ’menghadirkan sebuah teks secara persis seperti teks

sumbernya dengan melakukan transliterasi’.

Pengertian transliterasi menurut Robson (1988:19) adalah ‘memindahkan

dari satu tulisan ke tulisan yang lain’ seperti dari tape recorder kedalam tulisan

(Robson,1988:47). Istilah yang lebih tepat untuk menggantikan istilah

‘transliterasi’ dalam konteks sastra lisan adalah “transkripsi”. Dalam hal

transkripsi, campur tangan peneliti sedapat mungkin dikurangi.

Dalam hal analisis cerita asal-usul tradisi Ngayau, penulis berhasil

mengumpulkan lima buah teks yang akan disebut teks A, teks B, teks C, teks D,

dan teks E.

Teks A dan Teks B merupakan teks yang sudah ada dan akan dianalisis

secara struktural. Teks C, teks D dan teks E merupakan hasil rekaman penulis

33

Page 48: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

sendiri dan akan menggunakan analisis isi (content analysis). Berikut ini akan

dideskripsikan kelima teks tersebut.

3.2 Terbitan Teks

3.2.1 Teks A (Asal Mula Padi ; Kisah Ne’ Jaek dan Ne’ Baruakng Kulup)

Pada mulanya manusia sejati yang tinggal di bumi ini, makanan pokoknya

adalah “kulat karakng” yaitu jamur yang tumbuh di pohon karet sudah mati.

Makanan orang di Kayangan adalah nasi. Tokoh ceritera yang terkenal bernama

Maniamas. Mereka suka berperang dan saling membunuh yang disebut

“Ngayau”.

Prihatin melihat kehidupan manusia yang saling bermusuhan satu sama

lain, Ne’ Panitah mengutus putranya yang bernama Ne’ Ja’ek ke bumi. Ne’ Ja’ek

bersembunyi di rumpun bambu aur ketika ditemukan oleh Maniamas yang sedang

pergi melakukan Ngayau. Semula Maniamas akan membunuh Ne’ Ja’ek. Setelah

melihat Ne’ Ja’ek terjepit tidak berdaya di rumpun bambu, mendengar bahwa Ne’

Ja’ek mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui siapa orang tuanya, maka

Maniamas jatuh kasihan padanya dan tidak jadi membunuh Ne’ Ja’ek. Bahkan

dibawanya pulang ke rumahnya dan tinggal bersama Maniamas.

Karena tingkah lakunya yang halus ditambah lagi dengan postur tubuhnya

yang ganteng, adik Maniamas yang bernama Dara Amutn jatuh cinta pada Ne’

Ja’ek. Maniamas tidak keberatan dan Ne’ Ja’ek pun menikah dengan Dara Amutn

yang cantik itu dan melahirkan anak-anak yang bernama: Tumbaklasop, Gantang

Timah, Garugu’ Kase, Tongkor Labatn, dan Buruk Batakng. Karena perbedaan

34

Page 49: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

temperamen antara Maniamas yang suka Ngayau dan Ne’ Ja’ek yang lemah

lembut, maka lama kelamaan Maniamas kurang suka pada Ne’ Ja’ek. Ia

bermaksud membunuh Ne’ Ja’ek secara diam-diam. Maka pada suatu hari

diajaknyalah Ne’ Ja’ek pergi Ngayau. Hal ini diketahui oleh Ne’ Pangadu ibunya

yang masih tinggal di kayangan bersama Ne’ Panitah, ayah Ne’ Ja’ek.

Untuk mencegah agar Ne’ Ja’ek tidak membunuh, sebab pekerjaan

membunuh itu adalah dosa, maka Ne’ Panitah memerintahkan burung pipit

menerbangkan setangkai padi untuk dibawa kepada Ja’ek.

Di tengah perjalanan Ne’ Ja’ek melihat seekor burung pipit yang terbang

di depannya dengan membawa setangkai padi, maka dikejarnyalah burung pipit

itu hingga tidak terasa sudah begitu jauh terpisah dengan rombongan Maniamas.

Setelah melewati lembah-lembah dan bukit-bukit, Ne’ Ja’ek dan burung pipit

keletihan. Ne’ Ja’ek bertanya kepada burung pipit: “Mengapa Engkau mencuri

padi ayahku?”

Burung pipit menjawab: “Saya bukan mencuri padi ayahmu melainkan

disuruh oleh ayahmu membawa padi ini kepadamu karena ayahmu tidak ingin

kamu menjadi Pengayau. Saya tidak akan memberikannya kepadamu. Padi ini

milikku.” Bertengkarlah burung pipit dan Ne’ Ja’ek. Sementara burung pipit

berbicara, lepaslah tangkai padi tadi dari paruhnya dan jatuh ke dalam lobang di

sela-sela batu.

Saat itu muncullah tikus dan bertanya,”Apa yang kalian berdua

pertengkarkan?”

35

Page 50: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Ne’ Ja’ek menjawab: “Itulah Si Pipit tidak mau memberikan padi kepada

saya. Padi itu milik ayahku yang dikirim untukku melalui pipit.”

“Oh..Gampang...” sahut tikus. “Biar aku yang mengambilnya” lanjut tikus.

Setelah padi itu diambil oleh tikus dari dalam lobang batu, tikus pun berkilah juga

tidak mau memberikan padi itu kepada Ne’ Ja’ek. Pipit pun marah kepada Tikus.

Dengan bijaksana Ne’ Ja’ek memberikan pendapat: “Kalau padi itu kau

bawa kerumahmu, pasti habis kau makan” tunjuknya pada tikus.”Demikian pula

kalau padi itu diserahkan padamu, pasti habis juga kau makan” kata Ne’ Ja’ek

pada burung pipit.

“Kalau saya yang membawanya, padi ini akan saya tanam dan

menghasilkan buah, maka ia akan berkelanjutan. Jadi kita bisa terus-menerus

memakannya.” Kata Ne’ Ja’ek menjelaskan. Pendapat ini diterima burung oleh

pipit dan tikus. Kemudian Ne’ Ja’ek memberikan batasan peraturan:

“Jika padi ini ditanam terlalu cepat dari musim tanam, maka tikuslah yang

mempunyai bagian. Jika ditanam terlalu lambat dari musimnya, maka tanaman itu

adalah bagian pipit. Supaya kita sama-sama mendapat bagian, maka padi ini akan

saya tanam pada pertengahan musim, supaya pada awalnya tikus dapat makan,

pada pertengahan saya dapat makan dan akhirnya pipit pun dapat makan.”

Dari ceritera ini maka pertengahan musim tanam itu ditetapkan jatuh pada

bulan Agustus sampai dengan September dan pada bulan April sampai Mei musim

tanam.

Setelah perundingan dan mencapai kata kesepakatan, Ne’ Ja’ek pun

pulang. Sementara itu ia telah mendengar teriakan rombongan Maniamas yang

36

Page 51: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

telah pulang dari Ngayau. Mereka pulang sambil menari-nari membawa

tengkorak. Kecuali Ne Ja’ek.

Sesampai di rumah, orang-orang kampung sudah ramai. Dara Amutn

dengan riang menyambut suaminya pula. Tetapi ia sangat kecewa dan marah

ketika melihat yang ada di dalam otot suaminya bukan tengkorak, melainkan

setangkai “bunga rumput” katanya.

Dara Amutn masuk ke dalam bilik. Diambilnya kain sarungnya yang lagi

basah, lalu dipukulkannya ke muka Ne’ Ja’ek, sambil mengatakan bahwa Ne’

Ja’ek tidak tahu malu dan tidak dapat membela nama baik keluarga. Lalu Ne’

Ja’ek pun diusirnya. Ne’ Ja’ek pun pulang ke negeri Kayangan sambil membawa

setangkai padi yang dikira bunga rumput oleh Dara Amutn. Di Negeri Kayangan

Ne’ Ja’ek menikah lagi dengan Ne’ Pangingu dan melahirkan anak laki-laki diberi

nama “Baruakng”.

Ketika Baruakng menginjak masa kanak-kanak, ia suka bermain “pangka’

gasikng” di halaman rumahnya. Ketika itu ia melihat anak-anak lain bermain

gasing di bumi. Ia pun pergi bermain dengan anak-anak itu. Setelah berkenalan ia

mengetahui nama teman-temannya itu, yaitu : Tumbak Lasop, Gantang Timah,

Garugu’ Kase, Tongkor Labatn, Buruk Batakng. Baruakng pun memperkenalkan

diri.

Setelah letih bermain, mereka istirahat makan. Ketika Baruakng membuka

bekalnya, anak-anak tadi keheranan melihat makanan Baruakng seperti ulat.

Tumbak Lasop pun membuka bekalnya yang disebut “kulat karakng” oleh

Baruakng. Menurut Baruakng, yang dibawanya adalah nasi, sedangkan “kulat

37

Page 52: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

karakng” adalah sayur bagi mereka di negeri Kayangan. Baruakng

mempersilahkan kelima anak itu untuk mencicipi nasinya. Karena begitu

menikmati nasi tersebut kelima anak ini seakan-akan pingsan.

Ketika datang ke rumah, kelima anak ini berceritera tentang kejadian tadi

kepada ibunya Dara Amutn. Mendengar ceritera anak-anaknya Dara Amutn

meminta, jika Baruakng datang lagi, agar Baruakng diajak kerumah. Pada

keesokan harinya Baruakng pun makan ke rumah mereka. Dara Amutn pun

dipersilahkan mencicipi makanan Baruakng, dan pingsanlah Dara Amutn karena

keenakan. Setelah sadar, Dara Amutn bertanya tentang asal-usul Baruakng dan

orang tuanya. Dari ceritera itu Dara Amutn yakin bahwa ayah Baruakng adalah

suaminya, yang berarti ayah dari kelima anak-anaknya juga. Untuk itu Dara

Amutn sangat senang karena anak-anaknya dapat bermain dengan akrabnya. Dara

Amutn berpesan agar Baruakng membawakan benih padi. Baruakng berjanji akan

membawakan benih padi, walaupun Baruakng tahu bahwa ayahnya tidak akan

mengizinkannya.

Baruakng mencoba membawa benih padi dengan sembunyi-sembunyi.

Tetapi senantiasa ketahuan oleh ayahnya, karena bulir-bulir padi itu mengeluarkan

sinar yang dapat dilihat oleh ayahnya. Karena Dara Amutn dan anak-anaknya

selalu mendesak, maka pada usaha terakhir ia mengambil tujuh butir padi dan

disembunyikan ke dalam kulit kemaluannya. Ternyata tidak terlihat oleh ayahnya.

Baruakng turun ke bumi membawa benih padi dan memberikannya kepada

Dara Amutn. Baruakng meminta supaya benih padi itu ditanam di dapur, agar

waktu buahnya masak nanti tidak kelihatan oleh ayahnya di atas sana. Setelah

38

Page 53: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

cukup waktunya selama 5 bulan 10 hari masaklah padi tadi. Karena sudah

semakin banyak, maka pada musim tanam berikutnya benih padi tadi tidak dapat

lagi ditanam di dapur.

Untuk itu Baruakng menyarankan agar ditanam di “tanah tumuh”

(gundukan tanah oleh semut) dan dibungkus (ditudungi) dengan daun”tepo” agar

cahayanya tidak terlihat dari atas. Demikianlah hingga tiba musim panen yang

kedua dan benih padi itu kian berlipat ganda. Pada musim tanam berikutnya benih

itu tidak muat lagi ditanam di “tanah tumuh” dan harus ditanam di tanah empat

persegi, sepanjang batang “tepo” (9 s/d 12 m).

Ketika musim panen tiba, sinar buah padi yang sudah menguning kelihatan

oleh Ne’ Ja’ek dari Kayangan. Ia sangat marah dan berkata: “Gajah..., dah ada

nang padi naung ka’ talino. Nian pasti pabuat Baruakng. Kao pasti

kubunuh.(E..eh sudah ada rupanya padi pada manusia. Ini pasti perbuatan

Baruakng. Kau pasti kubunuh).”

Mendengar Ne’ Ja’ek marah, Ne’ Pangingu menasehatkan:”Ame ba

dibunuh nak diri’ seko’ ngkoa ihan,laki agi’.” (Janganlah dibunuh anak kita satu-

satunya, apalagi ia laki-laki). Ne’ Ja’ek tidak mau dicegah: ”Ina..ia pasti

kubunuh,kutahatni’ pati ka’ maraga tapiatn naung.” (Tidak bisa...., ia pasti

kubunuh, akan kupasang ranjau di jalan menuju tepian mandi).

Sementara itu Baruakng pun naik dari bumi. Sesampai di tepian mandi ia

dicegat oleh “babi titingannya” (babi utama yang akan dibunuh untuk bersunat)

dan babi itu berkata: “Nta munuha’ kao mang pati’ boh Apa’”.(Ayahmu sungguh

akan membunuhmu dengan ranjau itu). Mendengar itu Baruakng pun menangis.

39

Page 54: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Lalu “babi titingannya” menyambung: “Ame kao nangis. Labih baik aku bajalatn

dolo’. Biar aku nang mati. Ya ta’ ia akupun matia’ kade’ kao babalak. Biar kao

na’ babalak. Biar aku nang mati.” (Jangan menangis. Lebih baik saya berjalan

dulu. Biar aku mati. Akupun akan mati jika kau disunat nanti. Biarlah kau tidak

bersunat. Biarlah aku yang mati). Lalu babi tintingannya pun berjalan di depan

dan mati di rajam oleh ranjau yang dipasang Ne’ Ja’ek. Ne’ Baruakng tidak jadi

bersunat. Itulah sebabnya ia dinamakan Baruakng Kulup. Babi yang mati

kemudian menjelma menjadi “Bintang Ada’atn” (Bintang Pedoman). Ada yang

disebut Bintakng Tujuh, Bintakng Oakng (berwarna merah), Bintakng Pati’,

Bintakng Ra’akng (Bintang Rahang), yang dipercayai oleh masyarakat Dayak

Bukit Telaga sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan pertanian agar

mendapatkan hasil padi yang maksimal dan mencari ramuan perumahan agar

tahan lama dan tidak termakan kapang.

Dari pengetahuan perbintangan ini (mirip dengan perhitungan hari dalam

penanggalan Cina) mereka menamakan hari dalam satu bulan sebagai pedoman

dalam melakukan kegiatan pertanian:

“ Sa’ari Bulatn, Sego, hari tikus.

Dua Ari Bulatn, disebut Kerap, ari Pipit,

Talu Ari Bulatn, disebut Ngalu, baik untuk mendatangkan rejeki,

Ampat Ari Bulatn, apa dicinta mudah dapat,

Ari Lima, Ari Anam, Ari Tujuh, Baik (harus lihat bintangnya),

Ari Lapan disebut Tungu, jahat. Segala tanaman tinggal tunggul habis dimakan

binatang.

40

Page 55: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Ari Sambilan, Sapuluh, Sabalas, baik.

Ari Dua Balas, abis bulatn.

Ari Talu Balas, disebut Kira’, jahat.

Ari Ampat Balas, ari aya’

Lima Balas, pariama,bulan purnama.

Anam Balas, Riripatn.

Tujuh Balas, Ngantukng, baik untuk memancing di sungai,

Lapan Balas, Ngaluakng (Semua binatang kepalanya mengarah kebawah,masuk

ke bumi).

Sambilan Balas, tutup bulatn.

Dua puluh, Dua puluh satu, disebut hari dua.

Dua puluh dua, disebut kadakng, (Binatang banyak keluar dari perut bumi. Kalau

mau mencari tengkuyung dan binatang malam, pada saat ini mudah didapat).

Dua puluh talu, dua puluh ampat, dua puluh lima, dua puluh anam.

Dua puluh tujuh, semuanya baik untuk kegiatan pertanian.

Dua puluh lapan, Kira, jahat. Mudah mati muda.

Dua puluh sambilan, kalalah idup. Suka bimbang.

Tiga puluh, ari tutup, kurang baik.

Pada hari tiga puluh ini baik jika dipakai untuk membuka tanah bekas

kuburan tua, atau membuka tanah yang diduga dihuni oleh makhluk-makhluk

halus. Untuk menetapkan kepastian tentang perhitungan hari, mereka melihat

Bintang Ada’atn pada dinihari. Bintang Venus dan Mars.

41

Page 56: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Baruakng yang merasa tidak tenang karena diancam mati oleh ayahnya,

meminta pada ibunya untuk pergi ke bumi. Untuk itu ibunya memberi nasehat

agar Baruakng berjalan meniti “jalan yang lurus”. Baruakng pun pergi. Sesampai

dipersimpangan jalan, Baruakng melihat bahwa jalan yang lurus itu banyak semak

berduri, sedangkan jalan yang menyimpang ke sebelah kiri lapang dan mulus.

Baruakng pun meniti jalan yang menyimpang ke kiri.

Sesampai di sebuah kampung ia bertemu dengan seorang gadis yang

mengaku bernama Jamani yang kemudian menjadi istrinya.

Setelah tiba waktunya, isterinya pun melahirkan. Sesuai kebiasaan di

kampung itu, maka isterinya melahirkan di atas ‘para’ loteng. Ketika isterinya

akan pergi mandi, isterinya berpesan agar Baruakng tidak naik ke loteng.

Baruakng merasa heran mengapa isterinya melarang melihat anak-anaknya.

Baruakng nekat untuk melihat anak-anaknya. Setelah mencari kesana kemari,

Baruakng mengintip isi bakul dan melihat bahwa anak-anaknya itu berbentuk

burung-burung, yang kemudian diketahui nama-namanya, yaitu: “Keto Laki, Keto

Bini, Keto Maniamas, Keto Tungal, Keto Bakar, Buria’, Cece, Kohor, Papo’,

Buragah, So’oh, Adatn, Kutuk, Bilang, Mago’, Pangalatn, Putihgigi, Macet,

Parere, Pararah, Kijakng, Owanyi’, Ujatn Darakng, Binalu, Duya’ Puanggana,

Puanggani”, dan sebagainya. Oleh sebab itu Baruakng dengan diam-diam pulang

ke Kayangan menemui ibunya. Baruakng berceritera mengenai keadaan jalan

yang dilaluinya serta keadaan isteri dan anak-anaknya. Dari ibunya baru ia

mengetahui bahwa isterinya bukan manusia melainkan “Ne’ Si Putih Panara

Subayatn” di negeri orang mati.

42

Page 57: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Untuk kedua kalinya Baruakng diperintahkan pergi meniti jalan lurus oleh

ibunya. Tetapi Baruakng tidak menghiraukan pesan ibunya sehingga ia tetap

meniti jalan yang menyimpang ke kiri. Baruakng menemukan sebuah kampung

dan berjumpa dengan seorang gadis yang mengaku bernama Petor Batu Buntar

Muha, seorang gadis hantu buta. Karena gadis ini cantik, maka Baruakng tidak

ingat lagi dengan pesan ibunya untuk menikahi Jamani Tabikng Tingi. Sekali lagi

Baruakng sangat kecewa bercampur takut, karena anak-anaknya yang lahir dari

perkawinannya dengan Petor Batu Muntar Muha tidak ada yang sempurna,

semuanya cacat dan menakutkan. Karena cacat dan menakutkan, maka anak-anak

yang lahir dibuangnya, seperti: Sarinteke, dimuang ka’ tongkotn tanga’, Rudu jaji

setan jaji balis, Jampuna (Raja Pujut) ka’ batu garah atau ka’ kurebet,

Jampekong (Raja Mawikng) nyamuakng ka kayu aya’ (kayu besar), dan

sebagainya. Selain itu ada juga yang dibuangnya ka’ akar biruru, ka’ putat, ka’

talinse dan sebagainya.

Itulah sebabnya dengan diam-diam lagi Baruakng pulang menemui ibunya.

Dari keterangan ibunya Baruakng mengetahui bahwa yang menjadi isterinya

sekarang ini adalah Hantu Buta.

Hingga saat ini masyarakat Dayak Bukit Talaga percaya bahwa orang-

orang akan mendapat sakit jika memperlakukan tumbuhan dan tempat-tempat tadi

dengan tidak beradat. Untuk mengobatinya melalui baliatn atau pedukunan pun

harus mengetahui nama-nama dan asal mula roh halus yang mendiami tempat dan

tetumbuhan tadi.

43

Page 58: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Untuk yang ketiga kalinya Ne’ Pangingu berpesan kepada anaknya agar

Baruakng pergi ke bumi melalui jalan yang lurus. Baruakng pun pergi. Sesampai

di persimpangan jalan Baruakng melihat bahwa jalan lurus itu penuh lalang dan

semak berduri, sedangkan jalan yang menyimpang ke kiri lapang dan mulus. Ia

berhenti sejenak. Ia tidak mau dikecewakan ketiga kalinya. Walaupun jalan yang

lurus itu penuh tantangan, ia memutuskan untuk meniti jalan itu. Tidak seberapa

jauh, rupanya yang penuh dengan semak berduri tadi tidaklah begitu jauh. Di

ujung sana semakin lama semakin lapang dan bagus. Akhirnya ia sampai ke

sebuah kampung dan bertemu dengan seorang dara cantik bernama Jamani

Tabikng Tingi sesuai dengan pesan ibunya. Gadis cantik ini kemudian menjadi

isterinya. Dari perkawinannya dengan Jamani, lahirlah anak-anak manusia yang

bernama: Jamawar yang bergelar Patih Mawar Ampor Gayokng; Ne’ Umu’

Arakng dan Ne’ Sone.

Ketika memasuki masa kanak-kanak pada suatu hari Jamawar mandi

sambil bermain di tepian. Di hulu tepian sana terlihat buah sibo (rambutan hutan)

yang sudah masak memerah. Ia segera pulang ke rumah mengambil parang.

Ketika ia akan turun, ibunya menawarkan kerak nasi untuk dimakan. Tetapi

Jamawar terus terjun tanpa menyentuh kerak nasi. Ia pergi menuju hulu tepiannya

dan memanjat batang sibo yang berbuah. Sementara ia terjun dan berlari tadi

terdengarlah bunyi riuh suara burung bersahut-sahutan. Jamawar dan Jamani tidak

tahu akan arti semua tanda-tanda alam dan suara burung-burung itu.

Ketika Jamawar memotong dahan sibo yang banyak buahnya, tiba-tiba

dahan yang diinjaknya (sempak) terlepas dari batangnya dan Jamawar pun jatuh

44

Page 59: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

ke jurang dalam dan menimpa batu wadas di aliran sungai. Badannya hancur luluh

terhempas pada batu. Pada saat itu terdengar lagi riuh ributnya suara tadi. Orang-

orang sekampung keheranan mendengar bunyi burung dan kayu yang patah.

Mereka pun berhamburan ke luar menuju hulu tepian dan menyaksikan kejadian

yang sangat mengerikan.

Karena menyaksikan kejadian yang sangat menyedihkan itu, Ne’ Jamani

dan Baruakng serta orang sekampung kebingungan, tentang bagaimana cara

mengambil tubuh jenasah Jamawar. Pada saat itu terdengar suara dari burung-

burung itu yang berbicara seperti manusia: “Kami ada ngampusi’nya” (biarlah

kami yang pergi mendapatkannya). Lalu terbanglah burung-burung itu kedalam

jurang sana untuk memungut sisa-sisa peralatan tubuh Jamawar yang masih

tersangkut di batu, di akar dan sebagainya. Sisa-sisa peralatan tubuh Jamawar tadi

dikumpulkan mereka dan ditampung ke dalam gayung tempurung kelapa. Setelah

dikumpulkan mereka berikhtiar untuk menguburkan jasad Jamawar. Tetapi

menurut orang pandai di kampung itu, jika perlengkapan anatomi tubuhnya masih

lengkap, walaupun hanya sedikit-sedikit, pasti bisa dihidupkan kembali dengan

cara “baliatn”. Lalu mulailah burung-burung tadi memilah-milah jenis peralatan

tubuh yang masih dapat dikumpulkan. Setelah selesai, ternyata jenis peralatan hati

tidak terkumpulkan. Sekali lagi mereka kebingungan. Pada saat itu “Burung Kutuk

atau Pantek” bersedia menyumbangkan hatinya. Maka hingga sekarang “Burung

Kutuk badannya merah kena darah dan tidak punya hati”. Setelah itu burung-

burung pun pulang ke rumah mereka.

45

Page 60: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Sesampai di rumah mereka berceritera pada ibu mereka, Ne’ Siputih

Panara Subayatn. Dari ceritera anak-anaknya Ne’ Siputih mengetahui bahwa

Baruakng, suaminya kawin lagi dengan Jamani anak talino. Sementara itu Ne’

Baruakng bahaupm (berkumpul) mengumpulkan pasagi waris (mengadakan rapat

mengumpulkan ahli waris) berikhtiar untuk mengobati Jamawar dengan cara

“baliatn”. Dari pengalaman orang sekampung, kebetulan terpilihlah Ne’ Siputih

Panara Subayatn sebagai Pamaliatn.

Walaupun dengan berat hati, Ne’ Siputih tetap pergi baliatn, mengobati

Jamawar. Pada saat baliatn, Ne’ Siputih sangat bersungguh-sungguh. Ia

melupakan peristiwa masa lalu yang menyakitkan hatinya. Pokoknya ia harus

mengobati Jamawar untuk “ngarapat ampor” (merekatkan yang hancur). Selesai

baliatn, ditinggalkannya sebutir beras untuk obatnya, dengan pesan agar mencari

lagi Pamaliatn lain yang bertugas “ngalulu balah” (melekatkan yang masih

renggang). Untuk itu dipanggillah Ne’ Petor Batu Buntar Muha Pamaliatn Buta.

Selesai baliatn, Ne’ Petor Batu Buntar Muha meninggalkan sebutir beras untuk

obat.

Demikian selanjutnya pengobatan berjalan terus dengan memanggil

Pamaliatn Bawakng untuk nagalamputn sengat (menyambung nafas), Pamaliatn

Sinede madiri bangke (membangkitkan mayat), batama’ ayu (memasukkan roh),

batama’ sumangat (memasukkan semangat atau jiwa) dan seterusnya hingga tujuh

Pamaliatn yang dipanggil. Selesai baliatn semuanya meninggalkan masing-

masing satu butir beras, dan Jamawar pun mulai hidup, tetapi masih tidak mampu

berbuat apa-apa, masih sakit. Melihat keadaan anaknya demikian, Ne’ Baruakng

46

Page 61: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

dan Ne’ Jamani masih sedih. Ia hampir kehabisan akal. Ia selalu berusaha mencari

informasi untuk mencari obat demi kesembuhan anaknya Jamawar. Dipanggillah

Ne’ Unte’ Tanyukng Bunga. Mereka menceritakan bahwa sudah tujuh kali baliatn,

tetapi Jamawar masih tampak sakit. Mereka meminta pendapat pada Ne’ Unte’

Tanyukng Bunga. Lalu Ne’ Unte’ bertanya: “Au’ ahe-ahe sampore’ nang di

pamaliatn ka’ koa masari’?” (ya..obat apa saja yang ditinggalkannya oleh

pamaliatn itu)

Ne’ Unte’ menjelaskan, bahwa itulah obatnya yang dinamakan “Baras

Banyu tujuh bege”. Diambilnya ketujuh butir beras tadi dan berdoa :

“Koa iatn baras banyu baras basok baras suci baras aning, jaji tantama

sampore’. Isi’ bangi dipaturi, tulang ampor dipalamputn. Darah mangkalo

dipacalah, urat malungkong dipasanikng, kulit ngarintoyokng dipaalus, nang

luka’ dipaalit. Asa’ dua talu ampat lima anam tujuh, koa iatn aku mura’atnnya

ka’ bulatn mata’ari nang tabungke taburas, narabitatn untukng tuah rajaki,

murasatn tatama sampore. Koa ian baras banyu jaji sarakng nyawa tali sengat,

jaji pabura’ palamputn sengat, bagantor bagarak, baguit, pulakng ringakng

pulakng nyaman tubuhnya nu’da’ Jamawar, pama Jubata.”

(“Inilah beras tujuh butir beras bersih beras suci, jadi obat. Daging busuk

dihidupkan, tulang hancur disambungkan. Darah hitam beku dipermerah, otot

melengkung diterikkan, kulit keriput diperhalus, yang luka disembuhkan seperti

semula. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, ini aku memberitahukannya pada

bulan dan matahari yang keluar dan memancarkan cahaya, bagaikan

memancarkan untung tuah dan rejeki, menghembuskan obat penyembuh. Inilah

47

Page 62: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Baras Banyu yang menjadi pokok kehidupan dan tali napas, yang jadi penyegar

penyembuh napas, bergetar dan bergeraklah bangun, mengembalikan kesehatan

dan tubuh yang segar nyaman milik Jamawar, oh Roh Tuhan Allah”).

Begitu doa Ne’ Unte’ Tanyukng Bunga selesai, Jamawar pun kembali

sehat kuat seperti semula. Sejak saat itulah namanya berubah menjadi “Patih

Mawar Ampor Gayokng.”

Mendengar Jamawar sudah sembuh dari penyakitnya, maka Ne’ Siputih

Panara Subayatn dan Ne’ Petor Batu Buntar Muha pun menyuruh pengacara

(pangaraga) untuk menuntut “parangkat” (kawin lari padahal sudah

beristri/bersuami) pada Baruakng, karena ia kawin lari meninggalkan isteri-

isterinya. Yang menjadi “pangaraga” adalah “Bari-bari” (Binatang merah kecil-

kecil yang suka mengerumuni kulit buah). Kedua isteri lamanya masing-masing:

Ne’ Siputih menuntut “buat” satajur, jalu satajur. (Hukuman barang sebuah

bukit, babi pun sebuah bukit). Sedangkan Ne’ Petor Batu menuntut hukuman adat

parangkat sa arokng, jalu sa arokng. (Barang adat dan babi banyak seisi jurang).

Karena Ne’ Jamani orang sakti dan orang berada, semua tuntutan tadi

dipenuhinya, sehingga pengacara Bari-bari kebingungan bagaimana membawa

barang-barang yang begitu banyaknya. Mau tak mau Ne’ Unte’ Tanyukng Bunga

dipanggil lagi.

Kata Ne’ Unte’: “Au’ ahe ba payahnya....., segala tapayatn da’ ahe koa

dikikis pamarut puru. Koa jalu ka’ koa tatal eko’nya, dilepet. Salepet unto’ Si

Putih, salepet unto’ Petor Batu. Baras banyu kajah salepet uga’. Saga’ dah

atakng ka’ naung disampangan. A...koa ian adat aturan, nang kurang dipacukup,

48

Page 63: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

kade’ ada nang salah dipabato. Asa’ dua’ talu ampat lima anam tujuh, sambel

ngamuratn baras banyu mang puru nin.” (O... tidak payah, segala tempayan dan

peralatan lainnya itu dikikis seperti membuat serbuk/bubuk. Segala babi itu

ekornya dipotong sedikit, kemudian dibungkus kecil. Satu bungkus untuk Si

Putih, satu bungkus untuk Petor Batu. Beras Banyu masing-masing sebungkus.

Kalau tiba disana, bacakanlah doa ini: “A...inilah adat dan aturan, kalau kurang

dicukupkan, kalau salah dibetulkan. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, sambil

menghamburkan baras banyu dan serbuk ini.)”

Begitulah pesan Ne’ Unte’. Demikianlah Bari-bari melakukan petunjuk

yang diberikan oleh Ne’ Unte’, dan memang benar terjadi, ketika beras banyu dan

puru tadi dihamburkan setelah berdoa, tiba-tiba bukit itu penuh dengan babi,

tempayan dan segala perlengkapan adat lainnya. Demikian juga pembayaran adat

untuk Petor Batu Buntar Muha, penuh jurang oleh tempayan, babi dan peralatan

lainnya. Tetapi setelah dihitung oleh Ne’ Angokng dari Tanah Rantimakng,

ternyata masih ada yang kurang, namanya “Buat Tangah”, baut sabuah

pamadapm darah. (Adat pencegah darah). Karena takut terkena akibat dari

kurangnya adat, maka Bari-bari kembali lagi menagih Ne’ Jamani. Adat Buat

Tangah pun dipenuhi.

Tengah mereka menyediakan adat ini tiba-tiba datanglah Ne’ Siputih dan

Ne’ Petor Batu, masing-masing bersama dengan semua anak-anaknya. Setelah

semuanya siap, Ne’ Jamani pun berkata: “Ini adat sudah kami sediakan, silahkan

dibawa.”

49

Page 64: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Lalu Ne’ Siputih dan Ne’ Petor Batu menjelaskan: “A nian boh

Baruaknga, buat nian tatap bahoatn ka’ kaikng. Ina’ kami incaknga’ kut kade’

kami incakng, jaji putuslah patalian waris diri’. Biar ampahepun kamunda’ diri’

nta adi’ baradi’ me boh. Kade’ tah ahe antah dah nae ari, kade’ kita’ talino mao’

minta’ tulukng minta’ banto’, au’ pane kami manto’saru ja’ kami.” (“Oh

Baruakng, adat ini tetap tinggal mengasuh disini, tidak kami bawa. Sebab kalau

kami bawa, putuslah pertalian ahli waris kita. Biar bagaimanapun anak-anak kita

ini sungguh-sungguh adik beradik. Kalau dikemudian hari terjadi sesuatu pada

manusia, jika minta tolong minta bantu, kami bisa membantu. Panggil saja

kami.”)

Hingga saat ini masyarakat Dayak Kanayatn percaya bahwa antara roh-roh

halus dan binatang-binatang tertentu tetap menghormati sebagai saudara mereka,

sehingga mereka harus saling menolong dan saling membantu.

Narasumber :

Cerita diatas terdapat dalam buku yang berjudul “Mencermati Dayak Kanayatn”

Ditulis oleh Nico Andasputra. IDRD Pontianak. 1997

Halaman 106-119.

3.2.2 Teks B (Parang Miaju’ Padokoatn Malanggar Jawa ; Asal Mula

Penduduk Kalimantan)

Tersebut kisah bahwa Patih Gajah Mada (Majapahit Jawa) bersaudara

dengan Patih Belepm (Kapuas), Patih Gumantar (Mempawah), Patih Jamani

50

Page 65: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

(Belum diketahui). Patih Jaraya’, ini yang diketahui tinggal di daerah Bukit

Talaga Pahauman Kabupaten Landak hingga sekarang. Ribuan pohon durian

tanaman Ne’ Jaraya’ masih menjadi saksi hidup, yang masih tumbuh dengan

pohonnya yang besar-besar, seisi Gunung Talaga.

Ne’ Jaraya’ mempunyai dua orang panglima Ne’ Binalu dan Ne’ Binawa

yang pandai terbang. Mereka tinggal berpindah-pindah menghindari serangan

Miaju’ Padokoatn’. Rute daerah yang pernah menjadi daerah tempat tinggal

mereka adalah Padang Tikar, Sikudana, Sikulantikng, Bawang Laut dan

Pontianak. Kemudian mudik ke Ibul Samih, Pulo Burukng dan akhirnya ke

Gunung Talaga. Jumlah rombongan Ne’ Jaraya’ pada waktu itu ada 100 kepala

keluarga. Mereka berperang melawan Miaju’ Padokoatn.

Ketika sampai di Gunung Talaga, mereka tinggal menumpang di

perkampungan Kamang. Panglima perang Talaga yang terkenal pada waktu itu

bernama Ne’ Lagi yang tinggal di Lajik. Sekarang Lajik menjadi “Panyugu” salah

satu tempat keramat yang ada digunakan untuk mengadakan suguhan/sesaji di

Gunung Talaga.

Ne’ Jaraya’ empat orang anak masing-masing bernama: Ne’ Sugutn yang

juga bergelar Patih, Ne’ Nginatn. Ne’Jarijarita’ dan Ne’ Baubaulah anaknya yang

ketiga dan keempat akhirnya pergi masing-masing ke Nanang Pulo Lawe dan

Nanang Piulo Kabukng. Ketika mereka tinggal di perkampungan Kamang, mereka

harus berpantang : Tidak boleh ngamalo (melekatkan hulu parangdengan getah

tumbuhan) Tidak boleh nunu tungkung (membakar bunga tepus). Tidak boleh

Nyaranang (memerahi anyaman dengan getah jaranang), Tidak boleh nyuman

51

Page 66: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

ansepakng (memasak daun sejenis cangkok manis) Tidak boleh ngeok (bersiul),

kalau pantang ini dilanggar, maka penghuni Kamang akan kesakitan dan bisa

mati. Tidak boleh makan paku’ lamidikng (pakis lemiding). Warga pengikut Ne’

Jaraya’ bersedia untuk berpantang. Setelah lama tinggal di Talaga, mereka telah

terbiasa berladang. Kebetulan di saat mereka menebang kayu, lepaslah parang Ne’

Sugutn dari hulunya. Mungkin lupa, Ne’ Sugutn langsung membakar getah amalo

untuk melekatkan parang pada hulunya. Seketika itu juga matilah anak Ne’ Lagi.

Ne’ Lagi datang dan membunuh anak Ne’ Sugutn. Selanjutnya Ne’ Sugutn

mengamuk hingga ia menghabisi anak cucu keturunan Ne’ Lagi si Raja Kamang

(sejenis Orang Kesucian, Orang Kebenaran). Menyadari bahaya yang kian

mengancam, maka mata manusia ini dibungkus dengan duri Kaimayong (sejenis

salak). Itulah sebabnya hingga sekarang manusia kebanyakan tidak dapat melihat

hantu atau roh jahat.

Dalam silsilah keturunan Talaga yang dikisahkan oleh Sa’i Pak Arum

dikisahkan, bahwa manusia yang bernama Ne’ Ngaroakng memperistri Ne’

Namu. Dari perkawinannya lahirlah anak-anak yang bernama Ne’ Naya dan Ne’

Kancat. Ne’ Naya adalah seekor Ular Tadukng dan Ne’ Kancat adalah seorang

tokoh sakti yang bisa memikul batu sebesar rumah untuk tungku. Hingga sekarang

Tongko’ Ne’ Kancat ada di Gunung Talaga. Sedangkan Ne’ Kancat akhirnya pergi

ke wilayah Banjar Kalimantan Selatan, karena tersesat berkelahi dengan hantu.

Setelah ular tedung ini besar, ia dapat berburu babi, rusa dan binatang besar

lainnya. Tetapi karena badannya sudah semakin besar, ia meminta agar ia di antar

ke dalam gua. Sebelum ia dilepaskan ia berpesan agak anak cucunya tidak boleh

52

Page 67: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

saling menyakiti. Sekarang diyakini Ne’ Naya yang sudah berupa ular tedung

yang keramat tetap tinggal di Gunung Talaga. Dan orang-orang kampung di

sekitar gunung itu tahu benar bahwa di Gunung Talaga tidak boleh membunuh

ular. Kalau ada yang membunuh ular, maka ia akan dikejar-kejar oleh ular dalam

ukuran kecil hingga yang sangat besar dan memagutnya.

Hingga saat ini juga manusia Dayak Talaga yang berjalan di tengah hutan

dan bahkan diperkampungan, mereka tidak akan sembarangan berbuat sesuatu

yang melanggar pantangan. Karena perbuatan itu akan membuat mereka sakit

“jukat” (ditegur oleh roh) dan dapat mematikan kalau tidak segera minta ampun

dengan membacakan doa nyangahatn dan peralatan adat yang tepat.

Narasumber:

Cerita diatas terdapat dalam buku yang berjudul “Mencermati Dayak Kanayatn”

Ditulis oleh Nico Andasputra. IDRD Pontianak. 1997

Halaman 120-122.

3.2.3 Teks C (Cerita Tradisi Ngayau)

3.2.3.1 Terjemahan dalam Bahasa Dayak Kanayatn

Asal-usul diri’ nian zaman ne’ diri’ dolo’ sekian abad nang lalu. Diri’

ngkoa bakayau. Ngayau koa saga gik nape mampu munuh urang, ia na’ bisa

babini. Jadi pangartiannya koa, ia mampu ngidupia da’ bini naknya dah bisa

mampu munuhi urang. Kalau diri ngayau ngkoa, abis ngayau a..nang ka rumah

saga’ diri’ namu kapala diri agung antat bagantung dau ka bagantar diri pulang

dah tariu-tariu berarti diri namu kapala. Setelah namu koa atang ka rumah

53

Page 68: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

bakumpuran kemudian baru kapalanya di suman, dikupas kulit kapalanya. Abis

disuman kapalanya baru notokng.

Setelah notokng koa, manyak sedikitnya pertama-tama diri’ na’ap tariu,

pantak, laman, nang mae diri’ naap tariu. Abis koa setelah naap tariu baru diri’ ka’

rumah nyiapkan notokng. Setelah diri’ notokng koa nakayuatnya tetap tujuh, tujuh

koa saga’ basimpolo, samua diconteng, man jahanang, kemudian setelah ngkoa

kapala nakayuatn koa, ada ia buluh ditingkadas, setelah buluh ditingkadas, setelah

koa baru turun ka tampat panti. Di koa ia nari dolo’. Jukut diri nari koa kapalanya

tetap disampeneng koa enak kali ia baputar nariu-nariu. Katujuhnya ia badiam

badudukan, setelah abis badudukan koa ia masok ka rumah, setelah masok ka

rumah sehingga manarusannya baru ia koa munuh manok, setelah koa baru

malamnya sagala waris-waris sagala ahe pun baatangan di koa.

Abis makan barulah ia karaja ngkoa tadi. Karajanya nana’ manyak.

Karajanya nari, nakayoatn silih berganti. Urang-urang masyarakat pun nari. Ia koa

tetap nyampeneng kapala kayau sambil ia nari koa. Narinya tetap bakuliling. Jadi

koalah nariu-nariu. Selain daripada koa, ngkoalah katurunan diri’ zaman ngayau.

Ngayau nia ngago urang nang mampu. Ngago urang nang bisa. Ngayau koa bukan

umpamanya bukan nang diri kanal, andai kata kalo urang Ngabang mao Ngayau

daerah Tayan, tatap ampus ka’ naung. Nang seringkali ia lewati urang Pantu,

daerah Pantu nian. Setelah urang pantu baru ia Ngayau diri’ ngkoa. Nangkoalah

masalah bakayau. Jukut diri’ bakayau nia buke’nya olok-olok.

Sabalum Ngayau harus mato’ dolo, munuh manok malam-malam buat

bantatn dikoa kalilingi. Setelah koa diri’ mato, ka’ mae namorokng. Umpamanya

54

Page 69: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Tayan morokng, Mempawah morokng. Saga morokng ka Mempawah, Ngayau ka

Mempawah. Saga’ nana’ morokng ka Mempawah, Ngayau ka’ Tayan. Nangkoa

sifatnya mato’ sampe ampaing ari. Apabila ma’ ba ane’a man urang baparang man

urang kan diri’ mato’ dolo’. Model-model Banyuke ka’ ia. Waktu diri’ kajadian

dolo’ kan mato’. Na’ bisa ia ampus sambarangan. Nang mae nang morokng.

Model-model diri naap tariu. Ngkoalah ceritanya masalah Ngayau.

3.2.3.2 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia

Asal usul kita ini zaman nenek moyang kita dulu beberapa abad yang lalu.

Kita dulu melakukan tradisi Ngayau. Ngayau itu kalau belum mampu bunuh

orang, apabila dia itu laki-laki berarti dia belum bisa beristri. Setelah ia mampu

bunuh orang, ia bisa beristri. Jadi pengertiannya adalah, ia mampu menghidupi

keluarganya sudah mampu juga membunuh orang. Kalau kita Ngayau itu, habis

Ngayau nah..yang di rumah apabila kita dapat kepala kayau dan ada suara tariu

berarti kita dapat kepala kayau. Setelah dapat kepala kayau, di rumah berkumpul

baru kepalanya dimasak, di kupas kulitnya. Habis dimasak kepalanya baru

diadakan acara Notokng (pesta adat setelah Ngayau).

Setelah Notokng itu, pertama-tama kita gunakan Tariu ( Upacara Tariu

adalah upacara memanggil Kamakng Roh menyerupai manusia tetapi tidak

kelihatan. Tariu merupakan misteri bagi orang-orang Dayak yang sudah

tercerabut dari adat istiadat dan budayanya. Namun bagi orang Dayak yang belum

tercerabut dari kebudayaannya, atau mereka yang mau tahu tentang kebudayaan

Dayak tentu bisa “mengetahui’ misteri itu. Sesuatu yang teramat misteri bagi

orang luar yang tidak tahu tentang “Dayak”, khususnya kepercayaan orang Dayak

55

Page 70: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

pada “Yang Maha Kuasa”. Untuk bisa mengerti, memahami apa dan mengapa

kekuatan Tariu itu begitu dashyat kekuatannya, terlebih dahulu mutlak

mengetahui “Yang Ilahi” menurut kepercayaan orang Dayak. Tariu itu sendiri

tidak terlepas dengan adat Mangkok Merah dan Pengayauan.

Setelah menggunakan Tariu baru kita pulang ke rumah mempersiapkan

Notokng. Saat Notokng itu ada 7 kali putaran saat menari, semua pakai pelindung

kepala, wajah dicoret dan menarilah mereka, pada saat menari itu, kepala kayau

dipegang dan enam kali berputar-putar, nah saat putaran yang ketujuh kali ia diam

dan langsung semua orang duduk, setelah orang-orang duduk semua, mereka

masuk ke rumah diteruskan dengan membunuh ayam, setelah itu baru ahli waris

dikumpulkan dan berdatangan dari segala penjuru. Mereka berpesta, dan

melakukan tarian silih berganti. Masyarakat biasapun ikut menari. Dan mereka

tetap memegang kepala kayau pada saat menari berkeliling mengitari panggung.

Jadi begitulah kisah Ngayau pada zaman dulu. Ngayau itu mencari orang yang

bisa dan mampu. Orang yang kita kayau itu bukanlah orang yang kita kenal,

seperti contoh kalau orang kita mau melakukan Ngayau daerah Tayan, kita harus

Ngayau kesana. Kita Ngayau itu bukannya main-main. Sebelum Ngayau harus

bunuh ayam dulu pada malam hari sambil menari berkeliling.

Narasumber:

Teks diatas dituturkan oleh Bpk. Alfen Kawi/Ne’ Gonye (75 Tahun)

Merupakan Temanggung Benua Sidas Kab. Landak Kec. Sengah Temila.

(Hasil wawancara direkam oleh Erneta pada bulan Agustus 2006 di Desa Sidas

Kab. Landak)

56

Page 71: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

3.2.4 Teks D ( Tradisi Ngayau di Masa Silam)

3.2.4.1 Terjemahan dalam Bahasa Dayak

Ngayau namanya ngalayo talino. Ngayau artinya mambunuh manusia.

Udah kurang labih diparkirakan 64 abad nang de’e masa pangayauan. Ngayau koa

nele’ prakarsa nang laki ka’ sang calon istri. Kadua Ngayau untuk ngago

kabahagiaan kaluarganya kade’ kapala kayau ia puja atau dipalihara atau dibuat

sesajian untuk kaluarga koa. Sabaliknya kade’ na’ di puja kaluarganya akan

miskin. Nia menurut curita zaman kayau de’e.

Ngayau buke’ ka’ daerah diri’ tatapi ka’ daerah lain dan buke’ satu

kabupaten. Ngayau adalah ngago urang untuk ditaap kapala manusia baik ka’

rumah maupun nang ada ka’ hutan ataupun batamu ka’ mae maan man urang nang

akan di kayau. Sahingga kade’ ia namu kapala kayau ka’ rumah, ia disabut

Panglima atau urang nang disagani jukut nele’an kabaraniannya balawan man

musuh atau lawannya. Kapala kayau uga bisa dijadikan sesajian untuk namu

kamakmuran ka’ dalam kaluarga atau katurunannya kade’ kapala kayau koa

dipalihara. Sabalum dipanggal kapalanya, ia minta dipalihara sasuai man adat

kayau sasuai uga man janji kadua urang koa. Satalah namu kapala kayau diadakan

acara notokng tiga hari tiga malam sasuai kaparcayaan man adat notokng.

Maka saluruh katurunan nang namu kapala harus hadir dalam pesta adat

notokng tadi koa. Ka’ dalam acara totokng tadi, diadakan pesta aya’. Adat

notokng na’ harus diparingati satiap tahun tergantung man paliharaannya, ada uga

nang sapuluh tahun sakali. Ada uga nang kaluarganya sial man namu musibah

kade’ na’ dilaksanakan notokng. Ada nang sakit, hidup na’ makmur. Kade’

57

Page 72: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

mpakoa kade’ ada kajanggalan dalam kaluarga mereka barundinglah untuk

notokng urang nang kapalanya dipanggal. Urang nang kapalanya dipanggal tadi

sabalum dipanggal, ia disakiti dolo’sampe mati sampe ia mangikat janji man

urang nang Ngayau.

3.2.4.2 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia

Ngayau namanya ngalayo talino. Ngayau artinya membunuh manusia.

Sudah kurang lebih diperkirakan 64 abad yang lalu pada masa Pengayauan.

Ngayau selain memperlihatkan prakarsa kita juga kepada sang calon istri

berfungsi juga untuk mencari kebahagiaan keluarga apabila kepala kayau itu dia

puja atau dipelihara. Ataupun dibuat sesajian bagi keluarga itu. Sebaliknya, jika

tidak dipuja maka keluarga itu melarat. Ini menurut cerita zaman kayau dulu.

Ngayau bukan ke daerah kita, melainkan ke daerah lain dan bukan satu

kabupaten. Ngayau adalah mencari orang untuk diambil kepala manusia baik di

hutan ataupun di rumah dan bertemu di mana saja dengan orang yang akan di

kayau. Kalau dia mendapat kepala kayau di rumah maka dia yang disebut

Panglima atau orang yang disegani oleh masyarakat Dayak karena menunjukkan

keberaniannya berhadapan dengan musuh atau lawannya. Kepala kayau juga bisa

dijadikan sesajian mendapatkan kemakmuran di dalam keluarga itu atau

keturunannya jika kepala itu dipelihara. Sesuai dengan adat kayau janji kedua

orang itu, maka kalau sudah mendapat kepala diadakan gawai Notokng tiga hari

tiga malam dengan kepercayaan dan adat Notokng.

Maka seluruh keturunan yang mendapatkan kepala tadi hadir dalam

perjamuan adat Notokng tadi. Di dalam acara Notokng itu diadakan acara

58

Page 73: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

semeriah-meriahnya di tempat orang yang mendapatkan kepala kayau. Adat

Notokng tidak juga diperingati setiap tahun tergantung pada pemeliharaannya, ada

juga yang sepuluh tahun sekali. Apabila Notokng tidak dilaksanakan, maka

keluarga yang melakukan Ngayau itu akan mengalami kemerosotan, ada juga

yang sering sakit-sakitan, kehidupan tidak makmur. Dengan demikian jika ada

kejanggalan dalam keluarga tadi berundinglah mereka untuk melakukan Notokng

orang yang kepalanya di kayau. Sebelum mereka dipenggal, mereka terlebih

dahulu dicederakan sampai mati sebelum mengikat janji dengan orang yang

melakukan Ngayau.

Narasumber:

Teks diatas dituturkan oleh Bpk. Anselmus Suham Banana (67 Tahun)

Merupakan warga adat Dayak Desa Pal.20 Kabupaten Landak.

(Hasil wawancara di rekam oleh Erneta pada bulan Agustus 2006 di Desa Pal.20

Kabupaten Landak)

3.2.5 Teks E (Tradisi Ngayau dan Proses Pelaksanaannya)

Ngayau (Ngayo, dalam bahasa Dayak Kanayatn) adalah tradisi berkelahi

atau berperang yang tujuan utamanya adalah memenggal kepala lawan. Anak kayo

adalah istilah untuk menyebut pelaku dalam tradisi ini.

Ada beberapa motivasi yang melatarbelakangi tradisi ini, antara lain: (1)

Membalas serangan lawan dari binua (wilayah adat) lain. Ini dilakukan jika lawan

dari binua lain telah terlebih dahulu menyerang dan mendapatkan kepala dari

binua yang diserang. (2) Sebagai tolak ukur dan legitimasi bagi kaum laki-laki

59

Page 74: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

yang sedang beranjak dewasa menjadi laki-laki dewasa seutuhnya. (3) Orang

Dayak percaya jika sudah berhasil mendapatkan dan memelihara kepala anak

kayo, maka martabat keluarga akan tinggi di masyarakat. Ia kemudian akan

dihormati di komunitasnya sebagai orang pemberani, ”panungkakng” atau

penyangga kampung yang disegani atas keberaniannya. (4) Orang Dayak juga

percaya bahwa kepala kayo yang dipelihara dan ditanam di halaman rumah dan di

tempat-tempat keramat akan senantiasa menjaga binua dari berbagai gangguan

dan ancaman.

Sebelum berangkat Ngayau, maka yang pertama-tama dilakukan adalah

berdoa, membaca mantra dan minta perlindungan, kekuatan dan bantuan kepada

Jubata (Tuhan), roh-roh nenek moyang dan manusia setengah dewa yang hidup

di alam gaib, yang dipercaya merupakan ”orang” sakti mandraguna yang

melindungi manusia di alam nyata, yang oleh orang Dayak Kanayatn dikenal

dengan nama Bujakng Nyangko yang tinggal di bukit Samabue dan Kamang

Muda’ tinggal di Santulangan. Ritual ini biasanya dipimpin oleh seseorang tetua

adat atau orang yang tahu tentang adat (Panyangahatn, dalam bahasa Dayak

Kanayatn). Isi mantra itu dalam bahasa Dayak Kanayatn kira-kira bunyinya

demikian:

“Ia nang bisa turutn barani,turutn rampangan,nang ka’ dalamp dunia ka’

dalamp kota, ka’ dalamp kampokng,ka’ tumpuk. Ia ……… suka ngancam kami

nang ka’ pulo kalimantatn nyian, inje’ diri’ ngampusi’ ia. Lea mae kita’ lea koa

uga kami, kita’ doho’ macahatn suluh matanya, nyurutatn padu’nya, nurunan

darahnya nang pocat,ame ia agi’ bapikir panyakng.ka atangan kita’ nang di

60

Page 75: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

marentah, karana kami talino dah cukup adat nyuruh kita’ nang turutn ka’ baras

ijo, nabo’ Bujakng barani. Kami suku dayak kana sarakng lanun tidokng,kita’

nang biasa nabakng bukit sakayu’, kami minta’ banto’ ka’ kita’ urakng barani

ka’dunia”.

Adat yang dipakai adalah:

1. Penekng Unyit Mata Baras

2. Baras Sasah

3. Baras Banyu

4. Langir Binyak

Setelah itu, para anak kayo disuruh ngukuk (seperti suara makhluk halus)

sebanyak tujuh kali, nyungkalekng sebanyak tujuh, tariu (teriak perang ala Dayak)

sebanyak tujuh kali dan ngikuk tanah (menghentak-hentakan kaki di tanah)

sebanyak tiga kali. Setelah selesai dengan tahap itu, maka tahap selanjutnya

adalah ritual memberikan calek (mengoleskan sesuatu dikening para anak kayo)

oleh tukang calek (orang yang dipercaya memiliki kemampuan khusus di bidang

ini). Bahan-bahan untuk calek itu antara lain darah ayam jantan warna merah,

langir binyak (sejenis minyak-minyakan) yang sudah diberi mantra khusus.

Setelah itu, panyangahatn kembali membaca doa dan mantra khusus untuk

meminta bantuan dan kekuatan kepada semua makhluk halus yang ada di seluruh

pelosok Pulau Kalimantan, seperti: Dumun Buta, Mawikng Barani, Mawikng

Bana’, Mawikng Gila, Mawikng Poporatn, Mawikng Tajur, Jin-jin Buta. Doa dan

mantra itu dalam bahasa Dayak Kanayatn kira-kira berbunyi:

61

Page 76: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

“Kami ngaraja adat ngian masih narengan adat kita’ nang pamula’an,

ampeatn kami anak ucu’ kita’ minta’ tulukng, minta’ banto’ sidi, karana kita’ jadi

karamat kadiaman, jadi panyugu nang yak kami tono’ lobokng ka’ ai’ tanah, ka’

binua nang di Ne’ Unte’ muka’ ngian”.

Bahan-bahan yang dipakai dalam ritual ini adalah:

1. Tiga ekor ayam jantan warna merah.

2. Sesajen (Tumpi’, poe’, dll), semuanya warna kuning.

3. Daun rinyuakng merah untuk melipat bontokng dan kobet.

4. Dua macam sesajen (satu untuk Jubata/Tuhan dan satunya lagi untuk

makhluk halus penunggu alam gaib).

Narasumber:

Teks diatas dituturkan oleh Simon Parabas (27 Tahun)

Merupakan warga adat Dayak Ngabang, Kabupaten Landak.

(Hasil wawancara di rekam oleh Erneta pada bulan Agustus 2006 di Desa

Darit Kabupaten Landak)

3.3 Analisis Struktur

Berikut ini akan dianalisis struktur teks A dan Teks B. Sebagaimana

telah dijelaskan dalam kerangka penelitian, yang dimaksud dengan struktur karya

sastra adalah mengidentifikasi dan mendeskripsikan unsur-unsur dalam karya

sastra berupa tema, alur, tokoh dan latar.

62

Page 77: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

3.3.1 Teks A (Asal Mula Padi ; Kisah Ne’ Jaek dan Ne’ Baruakng Kulup)

a) Tema

Tema dalam cerita ini mengenai kisah asal mula Padi. Disamping tema

utama, kisah ini diangkat karena mengungkap tentang tradisi Ngayau, dan

tradisi ini sudah ada sejak padi belum ada. Dan pesan moral yang terkandung

dalam cerita ini adalah saling tolong menolong terhadap siapa pun.

b) Alur

Alur dalam cerita ini termasuk jenis alur progresif karena peristiwa

yang diceritakan bersifat kronologis, yaitu peristiwa pertama diikuti peristiwa

berikutnya. Peristiwa pertama diawali dengan Ne’ Panitah yang mengutus

putranya yang bernama Ne’ Jaek ke bumi karena prihatin melihat kehidupan

manusia yang saling bermusuhan satu sama lain. Kemudian deskripsi tentang

anak Ne’ Jaek yaitu Baruakng mencoba membawa benih padi dengan

sembunyi-sembunyi ke dunia karena takut ketahuan ayahnya. Sebab pada

mulanya manusia sejati yang tingal di bumi, makanan pokoknya adalah “kulat

karakng” yaitu jamur yang tumbuh di pohon karet yang sudah mati.

Sedangkan makanan orang di Kayangan adalah nasi, juga deskripsi tentang

perjuangan Baruakng dalam mencari kebenaran.

Konflik muncul saat Baruakng ketahuan membawa setangkai padi

untuk dibawa ke bumi oleh ayahnya. Karena nasi hanya boleh dimakan di

Kayangan. Maka ayahnya hendak membunuh Baruakng tetapi di halangi oleh

istrinya Ne’ Panitah. Ne’ Panitah meminta Baruakng bersembunyi ke bumi.

63

Page 78: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Konflik memulai memuncak saat Baruakng harus mengikuti perkataan

ibunya yang ingin menolongnya. Ibunya meminta ia agar mengikuti jalan

lurus dan bukan jalam menyimpang. Selama dua kali ia melewati jalan

menyimpang, karena jalan menyimpang tidak susah melewatinya, sedangkan

jalan lurus penuh lalang dan semak berduri. Ia tidak mau kecewa untuk yang

ketiga kalinya. Walaupun jalan yang lurus itu penuh tantangan, ia

memutuskan untuk meniti jalan itu. Tidak seberapa jauh, rupanya jalan yang

penuh semak berduri tadi tidaklah begitu jauh. Akhirnya ia sampai ke sebuah

kampung dan bertemu dengan seorang dara cantik bernama Jamani Tabikng

Tingi sesuai dengan pesan ibunya. Gadis cantik ini kemudian menjadi istrinya.

Konflik memuncak ketika anak mereka Jamawar jatuh ke jurang dan

tubunnya hancur saat ia hendak mengambil buah sibo (buah rambutan) yang

sudah masak memerah. Semua orang kebingungan bagaimana mengambil

tubuh Jamawar yang sudah terpisah di sela-sela batu. Akhirnya diputuskan

tubuh Jamawar akan diobati dan dihidupkan kembali dengan cara merekatkan

tubuh Jamawar yang telah hancur. Ada tujuh orang dukun yang mengobatinya,

dan masing-masing dukun itu membawa tujuh biji beras dan doa-doa hingga

Jamawar akhirnya sembuh dan tubuhnya kembali bersatu.

Pada bagian penyelesaian diceritakan bahwa Ne’ Siputih Panara

Subayatn dan Ne’ Petor Batu Muntar Muha menyuruh pengacara untuk

menuntut (kawin lari padahal sudah beristri) pada Baruakng, karena ia kawin

lari meninggalkan istri-istrinya. Karena Ne’ Jamani (istri Baruakng) orang

sakti dan berada, semua tuntutan tadi dipenuhinya. Hingga saat ini masyarakat

64

Page 79: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Dayak Bukit Talaga bahwa antara roh-roh halus dan binatang-binatang

tertentu tetap menghormati sebagai saudara mereka, sehingga mereka harus

saling tolong menolong dan saling membantu.

c) Tokoh

Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah Baruakng. Ia merupakan

anak dari Ne’ Jaek dan Ne’ Panitah.

Tapi sayang, sifatnya sangat bertentangan dengan kedua orang tuanya.

Ia kurang mau mendengarkan kata orangtuanya. Seperti contoh saat ia

membawa padi ke bumi. Padahal nasi hanya boleh di makan oleh orang

Kayangan. Hingga ayahnya, Ne Jaek berusaha membunuhnya. Karena ibunya

membelanya, Baruakng diperintahkan untuk sementara tidak mampir ke

Kayangan. Ibunya meminta ia pada saat di bumi mengikuti jalan yang lurus.

Tapi karena jalan yang menyimpang lebih mudah melewatinya ia lebih

memilih jalan menyimpang. Sampai di sana ia menikahi dua orang dara yang

masing-masing punya anak cacat dan menakutkan serta tidak ada yang

sempurna. Sedangkan istrinya yang kedua melahirkan anak-anak jelmaan

burung.

Tokoh tambahan dalam cerita ini adalah Ne’ Jaek yang merupakan

ayah dari Baruakng. Tokoh tambahan lain adalah Ne’ Si Putih Panara

Subayatn yang merupakan istri Baruakng yang melahirkan anak-anak

berwujud burung. Tokoh lain yaitu Petor Batu Buntar Muha yang merupakan

istri keduanya yang melahirkan anak-anak yang tidak sempurna, semuanya

65

Page 80: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

cacat dan menakutkan. Tokoh tambahan lain yaitu Jamani Tabikng Tingi yang

merupakan istri ketiganya dan melahirkan anak-anak manusia.

d) Latar

Cerita ini mengambil setting tempat di daerah Kalimantan Barat

tepatnya di daerah Dayak Bukit Talaga.

3.3.2 Teks B (Parang Miaju’ Padokoatn Malanggar Jawa ; Asal Mula

Penduduk Kalimantan)

a) Tema

Tema dalam cerita ini mengenai asal mula penduduk Kalimantan.

Disamping tema utama, kisah ini diangkat karena mengungkap tentang tradisi

Ngayau, dan tradisi ini sudah ada sejak masyarakat di Kalimantan melakukan

perang melawan Miaju’ Padokoatn.

b) Alur

Alur yang digunakan dalam cerita ini termasuk alur progresif yang

dikisahkan bersifat kronologis, yaitu peristiwa pertama menyebabkan

peristiwa berikutnya. Alur diawali dengan kisah bahwa Patih Gajah Mada

(Majapahit Jawa), Patih Gumantar (Mempawah), Patih Jamani. Patih Jaraya’

ini diketahui tinggal di daerah Bukit Talaga Pahauman Kabupaten Landak.

Ne’ Jaraya’ mempunyai dua orang panglima yang bernama Ne’ Binalu dan

Ne’ Binawa’ yang pandai terbang. Mereka tinggal berpindah-pindah

menghindari serangan dari Miaju’ Padokoatn’. Mereka berperang melawan

Miaju’ Padokoatn’.

66

Page 81: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Konflik muncul ketika Ne’ Jaraya’ mempunyai empat orang anak

masing-masing bernama: Ne’ Sugutn yang juga bergelar Patih, Ne’ Nginatn.

Ne’Jarijarita’ dan Ne’ Baubaulah anaknya yang ketiga dan keempat akhirnya

pergi masing-masing ke Nanang Pulo Lawe dan Nanang Piulo Kabukng.

Mereka menumpang di perkampungan Kamang. Pada saat tinggal disana,

mereka harus berpantang; Tidak boleh ngamalo (melekatkan hulu

parangdengan getah tumbuhan) Tidak boleh nunu tungkung (membakar bunga

tepus). Tidak boleh Nyaranang (memerahi anyaman dengan getah jaranang),

Tidak boleh nyuman ansepakng (memasak daun sejenis cangkok manis) Tidak

boleh ngeok (bersiul), kalau pantang ini dilanggar, maka penghuni Kamang

akan kesakitan dan bisa mati. Tidak boleh makan paku’ lamidikng (pakis

lemiding).

Konflik memuncak pada saat mereka menebang kayu, lepaslah

parang Ne’ Sugutn dari hulunya. Mungkin lupa, Ne’ Sugutn langsung

membakar getah amalo untuk melekatkan parang pada hulunya. Seketika itu

juga matilah anak Ne’ Lagi. Ne’ Lagi datang dan membunuh anak Ne’

Sugutn. Selanjutnya Ne’ Sugutn mengamuk hingga ia menghabisi anak cucu

keturunan Ne’ Lagi si Raja Kamang (sejenis Orang Kesucian, Orang

Kebenaran).

Pada bagian penyelesaian diceritakan bahwa menyadari bahaya

yang kian mengancam, maka mata manusia ini dibungkus dengan duri

Kaimayong (sejenis salak). Itulah sebabnya hingga sekarang manusia

kebanyakan tidak dapat melihat hantu atau roh jahat.

67

Page 82: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

c) Tokoh

Tokoh utama dalam cerita ini adalah Ne’ Jaraya yang diketahui

tinggal di daerah Bukit Talaga Pahauman Kabupaten Landak hingga sekarang.

Ribuan pohon durian tanaman Ne’ Jaraya’ menjadi saksi hidup, yang masih

tumbuh dengan pohon-pohon besarnya seisi Gunung Talaga.

Tokoh tambahan lain adalah Ne’ Lagi yang merupakan Panglima

Perang Talaga yang terknal pada waktu itu yang tinggal di Lajik. Sekarang

Lajik menjadi “Panyugu” salah satu tempat keramat yang ada digunakan

untuk mengadakan suguhan/sesaji di Gunung Talaga. Tokoh lain yaitu Ne’

Sugutn yang merupakan anak pertama dari Ne’ Jaraya’.

d) Latar

Latar tempat meliputi Padang Tikar, Sikudana, Sikulantikng,

Bawang Laut, Pontianak. Kemudian di Ibul Samih, Pulo Burukng dan Gunung

Talaga tepatnya di Perkampungan Kamang.

Latar sosial meliputi perilaku masyarakat yang patuh pada

peraturan dengan melaksanakan pantang sesuai dengan adat yang berlaku di

Perkampungan Kamang. Apabila pantangan ini dilanggar maka penghuni

Kamang akan kesakitan dan bisa mati.

3.4 Analisis Isi (Content Analysis)

Teks C, D dan E akan menggunakan analisis isi (content analysis) untuk

dikaji lebih mendalam isi dari hasil tiap wawancara. Sebagaimana telah dijelaskan

68

Page 83: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

dalam kerangka teori, yang dimaksud dengan analisis isi adalah metodologi

penelitian yang menggunakan sekumpulan prosedur untuk membuat kesimpulan

teks yang valid, kesimpulan itu tentang pengirim pesan itu sendiri ataupun

penerima pesan (Weber, 1990 : 9).

3.4.1 Teks C (Asal-usul Tradisi Ngayau)

Setelah ditelusuri lebih mendalam, teks C mengungkapkan beberapa

pokok gagasan sebagai berikut:

1. Tradisi Ngayau pada mulanya merupakan sebuah ritus inisiasi.

2. Ada proses yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi Ngayau, yaitu proses yang

mengharuskan seorang laki-laki jika ingin mempunyai istri harus melakukan

tradisi Ngayau ini, dan apabila laki-laki tersebut sudah mendapatkan kepala

kayau harus diadakan pesta adat Notokng.

3. Pengayau harus benar-benar memenuhi syarat saat melakukan Ngayau. Itu

berarti jika ia sudah mampu melakukan Ngayau, berarti ia dianggap mampu

menghidupi keluarganya sendiri.

4. Ada proses fase kedewasaan di mana Pengayau tumbuh dari remaja ke

dewasa, pada saat dewasa inilah ia harus mampu melakukan Ngayau.

5. Saat acara Notokng, diadakan Tariu (ritual memanggil roh-roh nenek moyang)

sebagai wujud kemampuan Pengayau dalam melakukan Ngayau.

3.4.2 Teks D ( Tradisi Ngayau di Masa Silam)

Setelah dikaji dengan seksama cerita ini, teks D memberikan beberapa

informasi penting sebagai berikut:

69

Page 84: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

1. Ngayau berfungsi mencari kebahagiaan keluarga jika kepala kayau dipelihara.

2. Jika seseorang mendapatkan kepala kayau maka ia disebut sebagai Panglima

karena menunjukkan keberaniannya.

3. Sesudah mendapat kepala kayau harus diadakan pesta adat Notokng.

4. Apabila Notokng tidak dilaksanakan, maka keluarga yang melakukan Ngayau

itu akan mengalami kemerosotan, ada juga yang sering sakit-sakitan,

kehidupan tidak makmur.

3.4.3 Teks E (Tradisi Ngayau dan Proses Pelaksanaannya)

Seperti yang telah dijelaskan dalam awal cerita dalam teks ini, tradisi

Ngayau memiliki beberapa gagasan penting sebagai berikut:

1. Membalas serangan lawan dari binua (wilayah adat) lain. Ini dilakukan jika

lawan dari binua lain telah terlebih dahulu menyerang dan mendapatkan

kepala dari binua yang diserang.

2. Sebagai tolak ukur dan legitimasi bagi kaum laki-laki yang sedang beranjak

dewasa menjadi laki-laki dewasa seutuhnya.

3. Orang Dayak percaya jika sudah berhasil mendapatkan dan memelihara

kepala anak kayo, maka martabat keluarga akan tinggi di masyarakat. Ia

kemudian akan dihormati dikomunitasnya sebagai orang pemberani,

”panungkakng” atau penyangga kampung yang disegani atas keberaniannya.

4. Orang Dayak juga percaya bahwa kepala kayo yang dipelihara dan ditanam di

halaman rumah dan di tempat-tempat keramat akan senantiasa menjaga binua

dari berbagai gangguan dan ancaman.

70

Page 85: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

3.5 Rangkuman

Untuk lebih memperjelas perbandingan tersebut, tabel berikut ini

menyajikan unsur-unsur yang menonjol tiap teks.

3.5.1 Tabel Perbandingan Teks

No. Jenis Teks Unsur yang menonjol

1.

2.

3.

4.

5.

Teks A

Teks B

Teks C

Teks D

Teks E

Asal mula Padi

Asal mula penduduk Kalimantan

Cerita tradisi Ngayau

Tradisi Ngayau pada masa silam

Tradisi Ngayau dan proses pelaksanaannya

Dari cerita-cerita yang telah dipaparkan dan dijelaskan di atas, teks yang

dapat dipandang sebagai teks khusus berbicara tentang Mengayau adalah Teks C,

Teks D dan Teks E karena ketiga teks ini lebih sesuai dengan logika yang ada.

Dikatakan demikian karena pada intinya bercerita tentang tradisi Ngayau yang

terjadi dalam masyarakat Dayak benar-benar ada. Sedangkan Teks A dan Teks B

menjelaskan sedikit saja tentang tradisi Ngayau, tetapi arti Ngayau itu sendiri

cukup dapat dipahami dalam teks ini.

Secara struktural terdapat perbedaan isi cerita yang berasal dari sumber

lisan ataupun tertulis. Pada sumber lisan, cerita dikisahkan secara garis besar,

contohnya dalam hal alur. Penceritaan secara lisan seringkali tidak

memperhatikan alur karena hal yang dipentingkan dalam penceritaan adalah

71

Page 86: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

bagaimana motif cerita tersebut tersampaikan dengan baik kepada pendengar.

Dalam penceritaan versi tulisan, cerita lebih memperhatikan alur sehingga

mengakibatkan sistematika penyajian cerita tersaji secara detail tanpa adanya

penyimpangan alur kecuali alur pokok yang mempengaruhi cerita tersebut.

Dari teks itu terdapat semua persamaan peristiwa penting, yaitu fungsi

tradisi Ngayau itu adalah sebagai wujud kedewasaan seorang putra Dayak saat ia

ingin memperistri seorang gadis. Atau fungsi yang lain sebagai wujud mencari

kebahagiaan keluarga dengan cara memelihara kepala kayau. Sebaliknya, jika

tidak dipelihara maka keluarga Pengayau akan mengalami kemerosotan dalam

hidupnya.

Dengan adanya peristiwa ini, masyarakat Dayak tetap percaya bahwa

tradisi Ngayau memang ada pada masa lampau. Bahkan pernah dikaitkan dengan

perang antar etnis sekitar tahun 1997 yang lalu. Padahal sebenarnya tidak ada

kaitan sama sekali. Generasi muda Dayak sudah tidak mengenal lagi atau

melakukan tradisi Ngayau yang pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Pada

bab berikutnya, yaitu Bab IV, akan dipaparkan mengenai proses pelaksanaan

tradisi Ngayau secara detail yang dilakukan pada masa silam.

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya varian cerita berbeda adalah alur,

motif, latar, dan tokoh. Hal yang menyebabkan alur berbeda karena pencerita

tidak memperhatikan hal tersebut sehingga terdapat perbedaan dalam urutan

cerita. Pencerita biasanya hanya mengingat apa yang pernah ia dengar melalui

cerita-cerita yang telah tersebar. Motif yang tersebar dapat disebabkan oleh

tingkah laku tokoh yang mengalir dalam cerita. Adanya latar yang berlainan

72

Page 87: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

dikarenakan tradisi atau kebiasaan pencerita yang masih berada di dalam satu

daerah, yaitu daerah Kalimantan. Sedangkan nama tokoh yang berbeda

disebabkan oleh dialek dari si pencerita. Selain hal-hal tersebut di atas, faktor

kealpaan dari si pencerita juga menyebabkan perbedaan yang berpengaruh pada

jalinan cerita.

73

Page 88: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

BAB IV

PROSES PELAKSANAAN TRADISI NGAYAU DALAM

MASYARAKAT DAYAK

4.1 Pengantar

Ngayau merupakan ritual berburu kepala manusia dalam masyarakat

Dayak di Kalimantan. Sebagian masyarakat Dayak mengetahui seperti apa itu

Ngayau, tetapi tidak banyak yang tahu bagaimana ritual dan proses tradisi Ngayau

tersebut. Ritual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus

Bahasa, 1988:843) adalah hal-hal yang berkenaan dengan ritus. Pengertian ritus

adalah tatacara dalam upacara keagamaan.

Proses adalah rangkaian berupa tindakan, perbuatan, atau pengolahan yang

menghasilkan produk (KBBI, 1988:703). Proses ritual tradisi Ngayau mencakup

kegiatan sebelum ritual, misalnya: persiapan tempat, sesaji, pemilihan waktu,

sampai ritual tradisi Ngayau selesai, yaitu mendapatkan kepala kayau hingga

diadakan pesta adat Notokng. Proses tersebut dapat dibagi menjadi tiga tahap,

yaitu persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian. Ketiga tahap tersebut akan

dijelaskan dalam uraian dibawah ini.

Proses pertama yaitu proses persiapan. Proses ini diawali dengan

mempersiapkan sesajian yang akan dibawa pada saat upacara sebelum

melaksanakan Ngayau. Ada berbagai macam jenis sesajian yang harus

dipersiapkan antara lain : tujuh piring pulut (ketan), tujuh butir telur ayam matang,

tiga ekor ayam jantan, dua ekor babi, dan lain-lain. Kemudian diadakan prosesi

74

Page 89: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

upacara dengan sejumlah tata cara. Dan para ksatria berangkat Mengayau hingga

mendapatkan kepala kayau.

Pada saat Mengayau tersebut para ksatria (Pengayau) melakukan Tariu

(memanggil roh-roh halus). Orang tidak berani mengundang Tariu di dalam

rumah, dan selalu dipanggil di luar. Setelah itu menjalankan Mangkok Merah

bersama sesaji yang lain seperti tiga ekor ayam jantan warna merah, tumpi’, poe’,

daun rinyuakng merah, minuman berupa kopi pahit dan air putih serta dua macam

sesajen lainnya (Satu untuk Jubata / Tuhan dan satunya lagi untuk makhluk halus

penunggu alam gaib).

Upacara Nyaru’ Tariu (memanggil Tariu) yang merupakan upacara

memanggil Kamakng Roh menyerupai manusia tidak kelihatan. Tariu merupakan

misteri bagi orang Dayak yang sudah tercerabut dari kebudayaannya, atau mereka

yang mau tahu tentang kebudayaan Dayak tentu bisa “mengetahui” misteri itu.

Sesuatu yang teramat misteri bagi orang luar yang tidak tahu tentang “Dayak”,

khususnya tentang kepercayaan orang Dayak pada “Yang Maha Kuasa”.

Untuk bisa mengerti, memahami apa dan mengapa kekuatan Tariu itu

begitu dashyat kekuatannya, terlebih dahulu mutlak mengetahui “Yang Ilahi”

menurut kepercayaan orang Dayak. Tariu sendiri tidak terlepas dengan adat

Mangkok Merah dan Pengayauan.

Proses kedua yaitu proses pelaksanaan. Proses ini dilakukan dengan

Mangkok Merah. Banyak versi yang mengisahkan kapan pertama kali

dikeluarkannya adat Mangkok Merah. Meskipun demikian, semua orang Dayak

75

Page 90: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

pernah mendengar cerita tentang kedahsyatan akibat hadirnya Mangkok Merah,

sebab Mangkok Merah erat kaitannya dengan Pengayauan.

Di kalangan suku Dayak sendiri diadakan kesepakatan kalau salah satu

daerah terancam bahaya dari luar, maka semua orang Dayak harus membantu

secepat kilat. Untuk menyebarluaskan selekas mungkin kesepakatan itu maka

dibuatlah adatnya yang kemudian terkenal dengan nama Mangkok Merah.

Mangkok Merah sebagai simbol dan sarana mobilisasi massa yang sangat efektif

dan cepat. Dalam satu atau dua hari, massa yang tergerak bisa dua-tiga ratus

kilometer.

Masyarakat Dayak sangat memegang teguh adat “nyawa ganti nyawa,

mata ganti mata, gigi ganti gigi”. Maksudnya, jika ada seorang Dayak yang

dilukai, entah oleh etnis lain atau sesama etnis Dayak, maka harus diganti dengan

membayar adat pati nyawa’ (ganti nyawa). Membayar hukuman adat tersebut bisa

digantikan dengan barang, bukan nyawa lalu harus membunuh. Kalau musuh

(pihak yang membunuh) tidak menerima simbol hukum adat “nyawa ganti nyawa,

gigi ganti gigi, mata ganti mata”, barulah dilakukan perang untuk mewujudkan

adat tersebut. Maksudnya harus membunuh manusia sebagai balasan atas

kematian warga Dayak.

Mangkok Merah dijalankan dari kampung ke kampung sebagai

pemberitahuan bahwa harus siap membantu jika ada komando. Jika belum ada

perintah dari orang yang mengadakan adat Mangkok Merah maka belum boleh

melakukan penyerangan/perang. Komando ini berupa suara Tariu. Jika terdengar

suara Tariu, maka secara spontanitas kampung yang disinggahi Mangkok Merah

76

Page 91: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

akan berangkat perang demi membela kehormatan suku Dayak. Yang

mengadakan adat Mangkok Merah ini adalah kepala suku Dayak yang

bersangkutan atau kepala adat, ataupun orang lain yang dianggap “kuat” dari

subsuku Dayak tersebut.

Proses terakhir yaitu proses penyelesaian tradisi Ngayau. Proses ini

dinamakan Notokng. Upacara Notokng terus dipertahankan karena pesan dari

nenek moyang yang harus terus dilaksanakan. Upacara ini sudah dilakukan selama

empat keturunan atau lebih dari 200 tahun. Kepala ini ada di masa masyarakat

Dayak waktu itu masih melakukan tradisi berburu kepala (Ngayau).

Dilihat dari proses ritual tradisi Ngayau, terdapat unsur-unsur yang khas

dalam kebudayaan Dayak yaitu kebudayaan mistik. Keterangan lengkap mengenai

proses dan tahap persiapan, pelaksanaan, serta penyelesaian akan dibahas dalam

uraian di bawah ini.

4.2 Persiapan Ritual Tradisi Ngayau

4.2.1 Tempat

Mengayau tidak boleh di sembarang tempat. Harus ada pemberitahuan dan

tempatnya ditentukan. Apabila orang Mengayau di sembarang tempat, maka dia

dianggap bukan Pengayau yang baik. Adapun yang berangkat Mengayau ini

adalah lelaki semua, tua dan muda. Maka tidak mengherankan para peneliti

berpendapat, bahwa sekitar tahun 1900-an populasi anak-anak dan perempuan

lebih banyak, karena banyak kaum lelaki tua dan muda mati Mengayau ataupun di

kayau.

77

Page 92: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Tahap pertama, pelaksanaan ritual di luar rumah yaitu Pengayau harus

melakukan Nyaru’ Tariu sebagai wujud panggilan kepada “Yang Ilahi”.

Memanggil Tariu ini bisa dilakukan beramai-ramai bersama Pengayau lain.

Apabila melakukan Tariu atau Kamakng secara bersamaan dengan Pengayau lain

maka terjadilah kekuatan yang luar biasa, keberanian yang tidak dapat dicegah,

dapat menghilang/tidak tampak, menjadi anjing, dapat menahan peluru, dll.

Tahap kedua, pelaksanaan ritual tradisi Ngayau di rumah. Pengayau harus

menyediakan alat-alat yang akan digunakan untuk melakukan Ngayau berupa

Burayakng, Tombak dan Mandau. Dan biasanya sebelum mereka melakukan

Ngayau, mereka mengadakan suatu ritual doa agar alat-alat yang akan digunakan

untuk Ngayau, dapat benar-benar ampuh saat digunakan.

4.2.2 Waktu

Pengayau tidak terlalu menempatkan waktu kapan harus melakukan

Ngayau. Tradisi Ngayau dilakukan setiap saat setiap kali ada bertemu dengan

musuh atau lawannya. Kebanyakan para Pengayau mencari musuh di daerah

hutan. Biasanya ini dilakukan pada siang hari atau pada saat hari masih terang.

Bila Pengayau sudah menemukan musuh yang akan di kayau, maka

mereka harus bertarung terlebih dahulu sampai ditemukan siapa yang menang dan

siapa yang kalah. Yang kalah tentu saja kepalanya harus di kayau oleh Pengayau

yang memenangkan pertarungan. Biasanya setelah mendapatkan kepala kayau,

malam harinya atau keesokan harinya harus diadakan acara Notokng.

78

Page 93: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

4.2.3 Sesaji

Sesaji berasal dari kata saji yang berarti ‘hidangan’ (makanan dan lauk-

pauk yang telah disediakan pada suatu tempat untuk dimakan) (KBBI,1988:768).

Bersesaji adalah mempersembahkan sajian dalam upacara keagamaan yang

dilakukan secara simbolis dengan tujuan untuk berkomunikasi dengan kekuatan-

kekuatan gaib, dengan jalan mempersembahkan makanan dan benda-benda lain

yang melambangkan maksud dari komunikasi tersebut (KBBI, 1988:768). Sajen

atau sesaji ditujukan kepada penjaga yang tidak kasat mata dan gaib,

sesungguhnya mencerminkan kesadaran manusia kepada lingkungan hidupnya.

Sajen juga mengungkapkan rasa syukur atas anugrah yang dilimpahkan. Sajen

mencerminkan penyerahan diri sepenuhnya untuk memperoleh perlindungan atau

lainnya agar hidup tentram dan selamat (Kamajaya, 1992:5).

Berikut akan dibahas mengenai sesaji yang digunakan dalam ritual

Ngayau:

1. Tiga ekor ayam jantan.

2. Sesajen (tumpi’, poe’, dll), semuanya warna kuning. Tumpi’ terbuat dari

tepung ketan yang dicampur dengan gula merah dan bahan lainnya.

Rasanya manis. Berbentuk bulat tapi ada renda disekelilingnya. Tumpi’

biasanya dilengkapi dengan poe’, makanan yang terbuat dari nasi ketan

yang dimasak menggunakan bambu besar. Keduanya diletakkan dalam

wadah yang sama.

79

Page 94: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

3. Daun rinyuakng merah untuk melipat bontokng dan kobet. Daun rinyuakng

juga diletakkan dalam sebuah piring kecil agar mudah saat digunakan

untuk melipat bontokng dan kobet.

4. Minuman :

a. Kopi pahit (satu gelas), kopi pahit diibaratkan sebagai sikap dari

Pengayau yang dengan kesungguhannya melaksanakan ritual Ngayau.

b. Air putih (satu gelas), air putih dilambangkan sebagai kemurnian hati

yang sungguh-sungguh ingin melakukan ritual Ngayau.

5. Dua macam sesajen (satu untuk Jubata/Tuhan dan satunya lagi untuk

makhluk halus penunggu alam gaib).

6. Tujuh piring pulut (ketan).

7. Tujuh piring tempe (pulut yang dicampur dengan beras).

8. Tujuh piring rendai (terbuat dari beras ketan yang disangrai).

9. Tujuh butir telur ayam matang.

10. Satu piring berisi: sirih, gambir (sedek), rokok, kapur pinang, buah

pinang, tembakau, tujuh buah ketupat yang diikat, beras dicampur pulut,

tujuh jalong cubit, seikat benang yang diikatkan di sungki (ketupat/lepat

diikat dengan daun).

11. Satu piring utai bekaki (tepung pulut dicampur dengan tepung beras

dibuat hiasan seperti tutup sersang, bintang, bintang banyak, udang,

pesawat, dan sebagainya).

80

Page 95: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

12. Tiga piring sudah berisi bahan-bahan yang digunakan dalam upacara dan

ditempatkan dalam ancak yang terbuat dari potongan bambu yang

dirangkai dengan seutas tali.

13. Dua ekor babi (boleh jantan atau betina).

14. Tengkorak manusia sebagai simbol.

15. Satu buah kelapa tua sebagai simbol kepala manusia.

16. Minuman tuak.

Peralatan perang antara lain :

1. Sangkok atau tombak.

2. Terabi (perisai).

3. Tersang (ancak) terbuat dari bambu untuk menyimpan sesajian.

4. Mandau.

5. Satu buah bendera dengan lima warna :

Merah = sifat berani.

Hijau = lambang kesuburan.

Kuning = melambangkan ketulusan.

Hitam = melambangkan perlindungan dari orang yang

bermaksud tidak baik.

Putih = melambangkan hati dan pikiran yang suci/jernih.

81

Page 96: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

4.3 Tahap Pelaksanaan Ritual Tradisi Ngayau

Sebelum turun Mengayau, satu minggu sebelumnya para wanita

mempersiapkan segala perangkat adat yang dipergunakan untuk membuat sesajen.

Persiapan untuk membuat sesajen disebut engkira, yaitu mempersiapkan segala

bahan-bahan yang digunakan untuk upacara. Sedangkan kaum laki-laki

mempersiapkan segala peralatan untuk berperang dan mendata pengaroh (jimat)

serta begiga (berburu), mencari lauk pauk untuk persediaan perbekalan selama

Ngayau. Orang yang memperoleh kepala dianggap sebagai pahlawan perang yang

biasa dianggap dengan "Bujang Berani" atau ksatria.

Para ksatria perang duduk secara berderet lalu bermacam-macam sesajen

yang masing-masing terdiri dari tujuh piring dihidangkan di depan ksatria. Tujuh

piring mempunyai makna tujuh lapis langit.

Membaca mantra dilakukan oleh kepala kampung lalu mengibaskan ayam

di atas kepala ksatria perang sebanyak tiga kali dan dilakukan secara berulang-

ulang.

Kepala kampung mengajak ketua adat yang dipilih untuk membuat sesajen

yang diawali dengan pembacaan mantra atau jampi-jampi, lalu ketua adat

mencurahkan air tuak sebanyak tujuh kali untuk memanggil roh nenek moyang

yang dianggap sebagai pelindung dalam perang untuk melindungi dan membantu

selama berperang. Kemudian mencurahkan atau membuang tuak sebanyak tiga

kali untuk mengundang orang-orang dari kayangan untuk hadir di rumah Betang.

Ketua adat meminum tuak supaya roh-roh nenek moyang yang sudah

berada di rumah Betang untuk melakukan kompromi dalam membuat sesajen

82

Page 97: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

yang dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang yang hadir di rumah Betang.

Dalam membuat sesajen, yang pertama diambil adalah pulut sebagai lambang

perekat kebersamaaan, dimana dalam perang diperlukan adanya persatuan dan

kesatuan.

Kepala kampung mempersiapkan para tamu untuk menikmati hidangan

yang disajikan oleh kedua wanita, maknanya adalah para tamu diharapkan untuk

mendukung kegiatan/ peperangan yang akan dilakukan. Kepala kampung

mengajak para ksatria perang meminum tuak maknanya memberikan semangat

kepada ksatria dalam menghadapi peperangan.

Kepala kampung juga mengambil tumpe lalu menaburkan padi yang telah

disangrai yang melambangkan bahwa masyarakat Dayak mempunyai hati nurani

yang jujur dan luhur.

Kemudian kepala kampung mengambil sirih dan perlengkapan seperti :

rokok, daun apok, serta perlengkapan sesajen yang lain masing-masing diambil

lima batang untuk setiap satu piring, lalu ditaruh diacak yang didirikan di tiang

tengah dari rumah Betang/tiang ranyai agar orang-orang panggau (kayangan)

bersama dengan para tamu dirumah Betang (Yudono, 2007).

Pada saat hendak turun Ngayau, kepala adat membaca mantra untuk

peralatan perang supaya diberkati oleh ketua-ketua adat yang telah mendahului.

Kemudian kepala adat memotong ayam dilakukan di atas tangga dan diambil

darahnya untuk mengolesi kaki dan dahi para ksatria yang akan berperang agar

diberkati. Setelah itu mencabut bulu ayam dan dioleskan di dahi para tamu agar

tidak diganggu oleh roh-roh jahat.

83

Page 98: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Para ksatria bersiap perang dengan mengambil peralatan perang (pedang

dan perisai) sertau mandau yang diselipkan di pinggang. Lalu para ksatria

menuruni tangga rumah Betang dengan korban satu ekor babi dengan maksud

agar orang panggau (kayangan) ikut bersama dan membantu dalam perang.

Mereka mengatur strategi supaya dapat memotong kepala musuh yang berada di

daerah-daerah. Terjadilah pertempuran atau Mengayau, musuh akhirnya kalah dan

dipotong kepalanya yang dilambangkan dengan kelapa tua atau tengkorak

manusia. Setelah berhasil memotong kepala musuh, para ksatria meluapkan

kegembiraan dengan menari-nari lalu mengatur strategi untuk kembali ke rumah

Betang. Para ksatria meletakkan hasil perolehan selama perang di depan tangga

menuju rumah Betang sambil bercengkerama mengisahkan pengalaman mereka

selama perang.

Dua orang wanita dan pawangnya menuruni tangga rumah Betang untuk

mengantar sesajen untuk memberkati hasil perang. Tuan rumah mengibaskan

ayam dan memilih orang-orang yang akan membuat sesajen yang akan

dipersembahkan kepada orang panggau (kayangan) yang telah membantu perang.

Tiga piring ditempelkan kepada tiga ancak yang terbuat dari bambu lalu dipasang

pada tangga menuju rumah Betang untuk persembahan. Menurut kepercayaan,

sesajen ini selama tiga hari tidak boleh diganggu karena dapat mendatangkan

musibah (Yudono, 2007).

Pada saat memasuki rumah Betang, terdengar bunyi-bunyian alat musik

sebagai pertanda bahwa para ksatria perang diperbolehkan untuk menaiki rumah

Betang dengan terlebih dahulu dibacakan mantera, lalu para ksatria diletakkan

84

Page 99: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

ayam di atas kepala, mencabut bulu ayam, memotong babi lalu dioleskan di dahi

barulah menaiki tangga rumah Betang. Sampai pada tangga paling atas dicurahkan

tuak, lalu tuan rumah memberikan minuman tuak untuk memberi semangat

kepada para ksatria perang yang telah berhasil memotong kepala musuh.

Setelah berada di rumah Betang, kepala kampung menyiapkan kembali

sesajen lalu mengibaskan ayam kepada para ksatria perang. Ayam dipotong dan

darahnya dioleskan ke kepala musuh (tengkorak manusia) yang berhasil dipotong

dan buah kelapa (sebagai simbol), mencabut bulu ayam lalu dioleskan di dahi para

ksatria, sesajen diletakkan atau digantung di ancak yang disimpan pada tiang

ranyai. Para ksatria perang dengan membawa kepala musuh menari bersama

dengan para wanita mengelilingi tiang sebagai ungkapan syukur kepada para

panggau (orang kayangan) yang telah membantu perang, lalu mengelilingi rumah

Betang (Yudono, 2007).

Ngayau dilakukan dengan sportif. Untuk itu pada saat akan melakukan

Ngayau dan pada akhir melakukan Ngayau dilakukan serentetan upacara adat.

Menurut adat Dayak Kanayatn, sebelum melakukan Ngayau mereka mengadakan

upacara adat Nyaru’ Tariu. Tariu penuh berisi dengan Pajokng. Pajokng adalah

suatu kekuatan besar. Manusia harus hati-hati terhadap kekuatan itu. Karena itu

orang juga tidak berani mengundang Tariu di dalam rumah, dan selalu dipanggil

di luar. Cara yang dilakukan untuk mengundang Tariu adalah sebagai berikut :

sebanyak tiga kali berteriak tajam / nyaring sambil dalam satu kali memotong

kepala ayam merah. Tariu suka makan otak dan darah, sehingga yang dilakukan

selanjutnya adalah mandi dalam air darah. Upacara ini dilakukan untuk memohon

85

Page 100: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

kekuatan dan bantuan kepada Kamakng (makhluk seperti manusia tetapi tidak

kelihatan). Selesai melakukan Ngayau mereka mengadakan adat nyimah tanah

(mencuci tanah). Adat ini dilakukan agar rasi (pertanda) yang jahat menghindari

mereka.

Proses berikutnya yaitu menjalankan Mangkok Merah dari kampung ke

kampung sebagai pemberitahuan bahwa harus siap membantu jika ada komando.

Jika belum ada perintah dari orang yang mengadakan adat Mangkok Merah maka

belum boleh melakukan penyerangan / perang. Komando ini berupa suara Tariu.

Jika terdengar suara Tariu, maka secara spontanitas kampung yang disinggahi

Mangkok Merah akan berangkat perang demi membela kehormatan suku Dayak.

Yang mengadakan adat Mangkok Merah adalah kepala suku Dayak yang

bersangkutan atau kepala adat, ataupun orang lain yang dianggap “kuat” dari

subsuku Dayak tersebut.

Ngayau kerap diidentikkan dengan pembunuhan yang sadis, kejam dan

tidak berperikemanusiaan. Namun dibalik anggapan itu ada semangat heroik dari

Suku Dayak. Bagi orang Dayak, Ngayau adalah adat. Ritual yang dilakukan

secara khusus. Tidak bisa sembarang orang Mengayau. Ada aturan mengikat yang

harus diikuti. Pengayauan sesungguhnya adalah hukuman teramat berat bagi

pemenang. Mengayau adalah ritual yang sarat dengan tradisi lisan.

Pemahamannya hanya bisa dimengerti dalam ruang kepercayaan, tradisi lisan itu

sendiri. Adat Pengayauan itu sendiri sesuatu yang misteri, kaya makna kekuatan

supranatural.

86

Page 101: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Sangat langka tulisan tentang Mengayau. Bahkan belum ada satu buku

khusus yang membahas tentang Pengayauan. Perjanjian Tumbang Anoi (Kalteng)

pada tahun 1894 yang menghentikan adat Pengayauan turut membantu tidak

banyaknya sumber tertulis tersebut. Pertemuan itu diprakarsai oleh pemerintah

Belanda.

Pertemuan pertama dan terbesar dalam sejarah orang Dayak tersebut

diikuti hampir seluruh kepala suku, panglima perang, tetua adat dari semua

subsuku Dayak di Kalimantan. Mereka berikrar untuk tidak saling Mengayau lagi.

Perjanjian Tumbang Anoi tidak otomatis menghilangkan Pengayauan. Sejumlah

tetua, kepala suku, panglima Dayak mengaku hingga 1930-an masih ditemukan

tradisi Mengayau masih dilakukan oleh beberapa subsuku Dayak. Sekitar 1930-an

orang Dayak Punan dan Dayak Iban (Kapuas Hulu, Indonesia dan Sarawak,

Malaysia); Dayak Lamandau (Kalteng); serta beberapa subsuku Dayak lainnya,

masih Mengayau (Tembawang, 2006).

Adat Mengayau sudah dilakukan masyarakat Dayak sejak ribuan tahun

yang lalu. Hal ini bisa di lihat pada cerita Ne’ Baruakng Kulub dari masyarakat

Bukit atau hikayat Lawe’. Sedangkan pada masyarakat Uud Danum, kebiasaan

Mengayau sudah ada pada jaman KoLimoi (jaman yang kedua), yaitu ketika

masyarakat Uud Danum masih berada di “langit”. Tetapi cerita yang lebih lugas

tentang kebiasaan Mengayau terdapat dalam legenda Tahtum (jaman ketiga)

dalam sejarah hidup masyarakat Uud Danum (Tembawang, 2006).

87

Page 102: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

4.4 Tahap Setelah Pelaksanaan Ritual Tradisi Ngayau

Selain itu juga diadakan upacara Notokng (upacara menghormati kepala

dan membuang dosa) sebanyak tujuh turunan setelah melakukan Ngayau. Upacara

ini biasanya berdasarkan permintaan dari pihak yang di kayau. Dengan upacara

Notokng ini orang yang telah di kayau dihormati, seperti dimandikan, diberi

makan dan ditidurkan; dan pada saatnya dimakamkan dengan upacara Notokng

yang ketujuh (terakhir). Jumlah kepala ikut menentukan apakah suatu suku Dayak

memperoleh keuntungan dan berkat atau tidak. Ada juga yang berpendapat bahwa

kekuatan dari orang yang dipotong kepalanya, pindah kepada orang yang

memotong, dan kepada orang yang memanfaatkan bagian anggota tubuh korban

lainnya. Orang Dayak pertama-tama mencari kepala dari suku yang bermusuhan

dengan mereka.

Karena kepemilikan kepala begitu dijunjung tinggi, dapat dimengerti

bahwa yang menjadi Pengayau yang baik, mempunyai banyak kepala kayau, akan

sangat disukai oleh gadis-gadis, dan terpandang di masyarakat Dayak. Dalam

makna inilah, dapat dimengerti mengapa Pengayauan dapat dilihat sebagai sesuatu

yang mutlak harus dilaksanakan demi kepentingan bersama suatu subsuku Dayak.

Kalau ada orang mati perlu satu atau lebih kepala yang baru, untuk diberi kepada

yang meninggalkan, sebagai pelindung. Kalau seorang kepala suku meninggal,

semua lelaki di suku tersebut harus melakukan Ngayau. Kalau seorang pemimpin

mau menikah, juga diperlukan kepala. Maka jangan heran, dalam setahun ada

subsuku Dayak yang besar dan terkenal Pengayau, memperoleh lebih dari 600

kepala (Yonita, 2004 : 30).

88

Page 103: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

4.5 Rangkuman

Ngayau merupakan upacara inisiasi. Yang merupakan liminalitas sebagai

suatu jembatan penghubung; yaitu fase yang tidak berstruktur, bersifat transisi,

dan merupakan suatu tingkat atau fase.

Dalam kaitannya antara tradisi Ngayau dan teori liminalitas menunjukkan

bahwa anak laki-laki yang melakukan tradisi Ngayau dianggap mencapai fase

batas antara laki-laki yang sedang beranjak dewasa menjadi dewasa seutuhnya.

Ngayau dikatakan tradisi karena adat turun temurun dari nenek moyang

yang dilakukan di masyarakat adat Dayak di Kalimantan.

Dalam kenyataannya sekarang sebagaimana yang terjadi pada masyarakat

Dayak Kanayatn, Ngayau sama sekali tidak dikenal lagi. Komunitas Dayak pada

akhir tahun 60-an dan 70-an yang hampir sebagian beragama Katolik tak satupun

yang pernah mengalami Ngayau dan hanya satu-dua orang yang menyaksikan

upacara tradisi Ngayau.

Suku Dayak Kanayatn sebagai masyarakat adat tentunya menggunakan

tradisi mereka dalam memahami pengalaman hidupnya dan dalam konteks ini

memahami pengalaman akan adat Tariu, Mangkok Merah, Ngayau dan Notokng.

Ngayau adalah adat, dan orang Dayak sangat taat pada adat. Salah satu

adat itu adalah, apabila seorang melakukan tindakan sampai orang lain keluar

darah, maka hukumannya sangat berat. Apabila orang melakukan Ngayau di

sembarang tempat, maka dia dianggap bukan Pengayau yang baik. Adapun yang

berangkat melakukan Ngayau adalah laki-laki tua dan muda.

89

Page 104: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Tiap subsuku Dayak mempunyai tujuan melakukan Ngayau yang hampir

sama. Dalam masyarakat Dayak, khususnya Dayak Kanayatn; adat Ngayau

biasanya dilakukan sesudah adat pati nyawa’ (ganti nyawa) tidak diterima oleh

musuh. Maksudnya, jika seorang warga Dayak terbunuh atau dibunuh, maka

pihak keluarga akan menuntut pihak yang membunuh tersebut dengan adat pati

nyawa’ (ganti nyawa).

Adat pati nyawa’ ini tujuannya untuk “mengganti” nyawa orang yang

telah dibunuh / terbunuh. Bukan dengan nyawa manusia, tapi diwujudkan dalam

benda-benda adat. Seperti gong untuk mengganti nafas / nyawa, tajau / tempayan

untuk mengganti tubuh, dan lainnya. Jika adat pati ini tidak dibayar, barulah pihak

keluarga korban melaksanakan adat Ngayau. Setelah itu diadakan pesta adat

Notokng setelah melakukan Ngayau. Notokng harus dilaksanakan, jika tidak

dilaksanakan maka keluarga Pengayau akan mengalami kemerosotan dalam

keluarganya.

90

Page 105: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, dapat

ditarik dua kesimpulan. Pertama, cerita mengenai seluk beluk terjadinya tradisi

Ngayau dalam masyarakat Dayak sudah menjadi bagian dalam diri masyarakat

Dayak itu sendiri. Kelima buah teks yang telah dianalisis menyebutkan bahwa

seluk beluk terjadinya tradisi Ngayau karena adanya berbagai faktor, antara lain

tradisi Ngayau pada mulanya merupakan sebuah ritus inisiasi, berfungsi mencari

kebahagiaan keluarga jika kepala kayau dipelihara, sebagai wujud kedewasaan

seorang putra Dayak saat ia ingin memperistri seorang gadis, martabat keluarga

akan tinggi di masyarakat, dihormati dikomunitasnya sebagai orang pemberani,

ada proses fase kedewasaan di mana Pengayau tumbuh dari remaja ke dewasa dan

pada saat dewasa inilah ia harus mampu melakukan Ngayau. Secara historis

Ngayau mempunyai arti turun berperang dalam rangka mempertahankan status

kekuasaan, misalnya mempertahankan atau memperluas daerah kekuasaan yang

dibuktikan dengan banyaknya jumlah kepala musuh.

Ngayau dilakukan agar mendapat penghormatan di mata masyarakat adat

Dayak. Dengan kata lain, Ngayau juga berfungsi meningkatkan taraf sosial

seseorang. Orang yang mendapatkan kepala kayau dinamakan Bujang Berani dan

dikaitkan dengan hal-hal sakti. Berdasarkan cerita masyarakat Dayak, Ngayau

dikaitkan dengan unsur yang positif, karena Ngayau melambangkan keberanian,

91

Page 106: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

simbol kejantanan dan martabat sosial. Selain itu ada semangat yang tumbuh pada

saat para ksatria melakukan Ngayau dengan menunjukkan keberanian dan

kemampuan mereka dalam menaklukkan musuh hingga mendapatkan kepala

kayau.

Kedua, proses yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi Ngayau. Dalam

proses pelaksanaan tradisi Ngayau ini, pertama-tama harus mempersiapkan

sesajian yang akan dibawa pada saat upacara sebelum melaksanakan Ngayau. Ada

berbagai macam jenis sesajian yang harus dipersiapkan anatara lain : tujuh piring

pulut (ketan), tujuh butir telur ayam matang, tiga ekor ayam jantan, dua ekor babi,

dan lain-lain. Kemudian diadakan prosesi upacara dengan sejumlah tata cara. Para

ksatria berangkat Mengayau hingga mendapatkan kepala kayau. Pada saat

Mengayau tersebut para ksatria (Pengayau) melakukan Tariu (memanggil roh-roh

halus). Orang tidak berani mengundang Tariu di dalam rumah, dan selalu

dipanggil di luar. Kemudian setelah itu menjalankan Mangkok Merah bersama

sesaji yang lain seperti tiga ekor ayam jantan warna merah, tumpi’, poe’, daun

rinyuakng merah, minuman berupa kopi pahit dan air putih serta dua macam

sesajen lainnya (Satu untuk Jubata / Tuhan dan satunya lagi untuk makhluk halus

penunggu alam gaib) dan bermacam-macam sesajen lainnya.

5.2 Saran

Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih luas lagi oleh peneliti

selanjutnya. Peneliti berikut dapat menggunakan teori dan sudut pandang yang

berbeda sehingga hasil penelitian pun menjadi lebih bervariasi misalnya sosiologi

92

Page 107: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

sastra atau psikologi sastra. Dengan kata lain, penelitian ini dijadikan sarana acuan

dan panduan untuk penelitian selanjutnya.

Wilayah Kabupaten Landak di Kalimantan Barat merupakan salah satu

daerah yang menyimpan misteri tradisi Ngayau. Walaupun hampir sebagian besar

masyarakat Dayak Kanayatn menceritakan tradisi Ngayau kurang lebih sama

dengan masyarakat Dayak lain. Studi ini dapat menjadikan tradisi Ngayau sebagai

suatu objek telaah yang baik mengingat masih banyaknya peninggalan nenek

moyang di masa lampau. Maka dari itu, kajian folklor dan sastra dapat

menghasilkan banyak manfaat melalui studi lapangan di Kabupaten Landak dan di

daerah Kalimantan Barat lainnya yang menyimpan misteri tentang tradisi Ngayau.

Manfaatnya antara lain kita dapat mengenal seluk beluk tradisi Ngayau dalam

masyarakat Dayak dari hasil wawancara atau cerita-cerita rakyat yang dilakukan

oleh peneliti.

93

Page 108: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

DAFTAR PUSTAKA

Andasputra, Nico. 1997. Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak. InstitutDayakologi.

_______________. 2001. Pelajaran dari Masyarakat Dayak : Gerakan Sosial danResiliensi Ekologis di Kalimantan Barat. Pontianak : InstitutDayakologi.

Arikunto, Suharsini. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. EdisiRevisi III. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

BPS Kabupaten Landak. 2005. Kabupaten Landak dalam Angka ; LandakRegency in Figures 2004. BPS Kabupaten Landak.

Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Dayak : Dahulu, Sekarang, Masa Depan.Jakarta : PT. Gramedia.

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti.

______________. 2003. Folklor Amerika : Cermin Multikultural yangManunggal. Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti.

Hadi, Sutrisno. 1979. Metodologi Research. Jilid II. Yogyakarta : YayasanPenerbitan Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta.Kanisius.

Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta :Hanindita.

Kamajaya, H Karkono,dkk. 1992. Ruwatan Murwakala. Yogyakarta : DutaWacana University Press.

King, Victor. T. 1982. “Ethniticy in Borneo : An Anthropological Problem”.Southeast Asian Journal of Social Science,10 (1) : 23-43.

Komaruddin, P. 1974. Metode Penulisan Skrispi dan Tesis. Bandung : Angkasa.

____________. 1989. Tentang Sastra. Penerjemah Akhadi Ikram (Seri ILDEP).Jakarta : Intermasa.

Page 109: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.Yogyakarta : Elkis.

Soekamto, Soeryono. 1990. Sosiologi Sastra. Jakarta.

Sudjiman, Panuti (Ed). 1986. Kamus Istilah Sastra. Cetakan II. (Cetakan I 1984).Jakarta: Gramedia.

Sumardjo, Jakob. 1983. Memahami Kesusastraan. Bandung : ALUMNI.

Taum, Drs. Yapi. 2002. “Hakekat dan Metodologi Penelitian Sastra lisan”.Penelitian Lisan. Yogyakarta : Lembaga Penelitian Universitas SanataDharma.

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus BesarBahasa Indonesia. Edisi 2. Cetakan 4. Jakarta : Balai Pustaka.

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus BesarBahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Turner, Victor. 2006. “The Forest of Symbols”. Struktur Sosial, Agama danUpacara. Didownload darihttp://www.geocities.com/new_palakat/artikel/013.htm. Tanggal 7 Juni2006.

Weber, Robert Philip. 1990. Basic Content Analysis. Second Edition. California :Sage Publications.

Wardany, Imam. 2006. “Tentang Ngayau”. Didownload darihttp://khatulistiwa.imamwardany.com/index.php?option=com_content&task=view&id=49&Itemid=35. Tanggal 14 Januari 2008.

Yonita, Yuyun Yustina. 2004. Studi Deskripstif Pemaknaan Adat Tariu, MangkokMerah dan Mengayau bagi Suku Dayak Kanayatn. Skripsi. Yogyakarta :Universitas Sanata Dharma.

Yudono, Jodhi. 2007. “Upacara Ngayau, Kepala Musuh untuk Kehormatandan Kekuasaan”. Didownload darihttp://www.kompas.com/ver1/Negeriku/0706/06/175556.htm.Tanggal 12 Januari 2007.

Page 110: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

LAMPIRAN

FOTO SENJATA YANG DIGUNAKAN DALAM TRADISI NGAYAU

Gambar 3. Burayakng

Gambar 2. Mandau

Page 111: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Gambar 3. Tombak

Gambar 4. Perisai

Page 112: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Gambar 5. Peta Kalimantan Barat

Page 113: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Gambar 6. Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan PerairanPropinsi Kalimantan Barat

Page 114: ¾M icrosoft W ord - SKRIPSINETA . doc

Biografi

Erneta lahir di Pahauman (Kalimantan Barat), 22 Juli 1983.

Jenjang pendidikan yang ditempuh oleh penulis SD Subsidi I

Pahauman (1989-1995), SLTP Katolik Pahauman (1995-

1998), SMU Negeri 2 Pontianak (1998-2001), kemudian

penulis meneruskan ke perguruan tinggi di Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta pada tahun 2001 dengan mengambil

Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra. Penulis

menyelesaikan pendidikan perguruan tingginya pada tahun 2008 dengan tugas

akhir yang berjudul “Tradisi Ngayau dalam Masyarakat Dayak: Kajian Sastra dan

Folklor” mengantarkan penulis mendapatkan gelar sarjana sastra.