bullying survivors: the dynamic of journal psikodimensia
TRANSCRIPT
Bullying Survivors: The Dynamic of
Frequency, Forms of Bully and The
Response of Survivors
Cicilia Tanti Utami1,5, M.G. Adiyanti2, Bhina
Patria3, Wenty Marina Minza4.5 1Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata-Semarang 2,3,4 Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta.
email : [email protected]
Journal PSIKODIMENSIA
Volume 19, No. 1,
Januari - Juni 2020 ISSN cetak : 1411-6073
ISSN online : 2579-6321
DOI:10.24167/psidim.v19i1.2450
Abstract
This research used a descriptive method to obtain description about the unpleasant
experience of students in school. Subjects are 731 students from six high schools in
Semarang city. Method of data collection using scale. The results showed that students who admitted to get unpleasant treatment in the frequent category were 21 % and very often
4,2 %. Student who admitted to have physical bullying of 24,9 % (male 65,7%, female 34,3
%), verbal 86,4 % (male 85,7%, female 87%), and social 25,6% (male 21,9 %, female 29,1%). Then the response of students when received unpleasant treatment is silent 56,8
%, trying to prove themselves 55,4% and ignorant 46,7 %. However, most of the survivors
admitted quite successfully to overcome the bullying that be received. The descriptive
research give further undersanding for researcher about violence in schools, how survivors
response and overcome these acts of violence.
Key words: bullying, survivor, students
PENDAHULUAN
Fenomena bullying di sekolah merupakan bahasan yang sudah sering
terdengar dan menjadi topik yang sering
muncul di dunia pendidikan. Pendidikan
merupakan sebuah usaha yang dilakukan manusia untuk meningkatkan taraf hidup
dan berpengaruh terhadap perkembang-
an fisik, mental dan seluruh aspek kehidupan manusia. Namun dalam
kenyataannya, dunia pendidikan sering
ternodai oleh berbagai tindakan kekerasan. Penelitian yang dilakukan di
sebuah SD di Jakarta menemukan 89,5%
siswa mengaku terlibat dalam bullying,
baik sebagai korban maupun pelaku dan 85, 6 % siswa yang menjadi korban,
mengaku mengalami bullying dua sampai
tiga kali dalam sebulan (Soedjatmiko, Nurhamzah, Maureen, & Wiguna, 2013).
Selain itu, penelitian yang dilakukan di
Yogyakarta pada 210 siswa sekolah
menengah atas dari 5 SMA Negeri dan
Swasta, menemukan 49% siswa
mengalami bullying dan yang paling banyak dialami adalah bullying verbal
sebesar 47% (Marela, Wahab, &
Marchira, 2017). Pendidikan yang
bertujuan untuk memaksimalkan fungsi dan tugas perkembangan manusia
menjadi berbalik arah karena tindakan
bullying di sekolah. Bullying pada siswa-siswa sekolah
adalah fenomena yang sangat tua dan
terkenal, namun baru pada awal tahun 1970 an menjadi obyek penelitian yang
sistematik (Olweus, 1995). Pemerintah,
tokoh-tokoh pendidikan maupun para
ahli berusaha mengantisipasi dan mengatasi berbagai permasalahan yang
ditimbulkan oleh bullying yang terjadi di
sekolah. Namun demikian, fenomena bullying di sekolah masih tetap banyak
terjadi bahkan semakin merajalela.
Berbagai berita di media massa maupun
cerita yang beredar diantara siswa-siswa
95
sekolah menunjukkan bahwa bullying
tetap tumbuh subur dilingkup dunia pendidikan.
Menurut Salmivalli, Peets &
Hodges (2011) bullying adalah salah satu
tipe khusus dari perilaku agresif yang menimbulkan tekanan atau menyakiti
bagi orang lain, serta menunjukkan
ketidakseimbangan kekuasaan, dan diulang dari waktu ke waktu. Bullying
dikarakteristikkan dengan tiga kriteria
yaitu merupakan perilaku agresif yang
disengaja, dilakukan secara berulang-ulang dan setiap waktu, serta adanya
relasi kekuatan yang tidak seimbang
(Salmivalli et al., 2011). Pelaku bullying pada umumnya memiliki kekuatan atau
kekuasaan yang lebih besar dari korban
bullying. Tindakan bullying yang berupa kekerasan fisik pada siswa SMP di
kecamatan Trawas (Januarko &
Setiawati, 2013) dilakukan oleh siswa
senior kepada siswa yunior dikarenakan siswa senior merasa memiliki kekuatan
atau kekuasaan yang lebih besar dari
siswa yunior. Siswa yang terkena aksi-aksi negatif biasanya mengalami
kesulitan dalam mempertahankan dirinya
dan tidak berdaya melawan siswa-siswa yang mengganggunya (Olweus, 1997).
Bullying berbeda dengan konflik,
pertengkaran, atau pertikaian antara dua
individu yang memiliki kedudukan yang sama dalam hal psikologis atau kekuatan
fisik maupun status sosial (Salmivalli et
al., 2011). Kekerasan dibagi menjadi
beberapa bentuk (Fernández, Fernández,
Castro, Failde Garrido, & Otero, 2013)
yaitu pengucilan secara sosial yang meliputi pengabaian, penolakan dan
tidak boleh berpartisipasi. Bentuk
kekerasan yang kedua adalah kekerasan verbal yang terdiri dari penghinaan,
memanggil nama dengan ejekan, dan
berbicara buruk. Selanjutnya adalah kekerasan fisik tidak langsung seperti
menyembunyikan sesuatu, memecahkan
barang, mencuri barang serta kekerasan
fisik langsung seperti memukul. Ancaman dalam bentuk menakut-nakuti,
memaksa dengan ancaman, mengancam
dengan senjata serta kekerasan seksual seperti intimidasi dengan penghinaan
seksual, memaksa untuk berpartisipasi
dalam situasi seksual merupakan bentuk-
bentuk lain dari kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut di atas, sedikit
berbeda dari bentuk-bentuk kekerasan
yang disampaikan oleh Hymel & Swearer (2015) yang membagi
kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik
langsung (bullying fisik); ejekan dan
ancaman verbal (bullying verbal); pengucilan, penghinaan, dan penyebaran
rumor (bullying relasional atau sosial);
dan pelecehan secara elektronik menggunakan teks, e-mail, atau media
online (cyberbullying). Hymel &
Swearer (2015) menambahkan bahwa bullying fisik dan cyberbullying sering
kali menimbulkan kekhawatiran yang
paling besar, namun demikian intimidasi
sosial dan verbal lebih umum dialami oleh siswa.
Penelitian yang dilakukan di
distrik-distrik USA oleh (Black, Weinles, & Washington, 2010) pada
siswa-siswa kelas 5-8, dengan 82,7%
subyek penelitian berasal dari keturunan afrika-amerika, menemukan bahwa 50%
siswa melaporkan terjadi kekerasan
minimal dua kali dalam sebulan atau
lebih. Demikian pula yang terjadi pada siswa di Australia (Lester & Mander,
2015). Berdasarkan hasil penelitian pada
siswa berasrama kelas 7 dilaporkan bahwa 22% pernah menjadi korban (satu
atau dua kali dalam 10 bulan terakhir)
dan 16% mengaku sering menjadi
korban. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa dengan semakin
meningkatnya kelas mereka (8 dan 9)
prosentase yang menjadi korban semakin meningkat, terutama untuk anak laki-
laki.
Penelitian lain yang dilakukan di Spanyol pada 1500 siswa yang mengikuti
wajib belajar pendidikan menengah pada
tahun akademik 2007–2008
mengungkapkan bahwa prevalensi subjek yang menjawab “sangat sering”
96
adalah 16.3% sebagai korban, 20.6%
sebagai pelaku dan 52.7% sebagai penonton atau saksi (Carrera Fernández
et al., 2013). Demikian pula hasil
penelitian pada siswa kelas 7 di Taiwan
menunjukkan bahwa cukup banyak responden yang sudah mengalami
kekerasan oleh teman sebaya di semester
pertama sekolah menengah (Wei, Jonson-Reid, & Tsao, 2007). Penelitian-
penelitian tersebut di atas menunjukkan
bahwa kekerasan di sekolah merupakan
kejadian yang terdapat pada seluruh bagian muka bumi, baik di benua
Amerika, Eropa maupun Asia.
Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa,
2008) tentang fenomena bullying yang
terjadi pada tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta,
menemukan bahwa terjadinya tingkat
kekerasan pada tingkat SMA adalah
sebesar 67,9% dan tingkat SMP sebesar 66,1%. Bullying di sekolah tidak hanya
terjadi pada kota-kota besar. Bullying di
sekolah juga merambah pada kota-kota kecil di Indonesia. Hasil penelitian awal
yang dilakukan oleh (Januarko &
Setiawati, 2013) pada siswa Sekolah Menengah Pertama di kecamatan
Trawas, Mojokerto Jawa Timur
menemukan bahwa kekerasan fisik pada
SMP Negeri 1 Trawas sebesar 48,1%, SMP Negeri 2 Trawas sebesar 50,4%
dan SMP Penanggungan sebesar 61%.
Sedangkan kekerasan psikologis untuk SMP Negeri 1 Trawas sebesar 31,9% ,
SMP Negeri 2 Trawas sebesar 49,3% dan
SMP Penanggungan sebesar 54,3%.
Fenomena bullying tidak hanya terjadi di sekolah menengah saja.
Penelitian yang dilakukan oleh
(Kevorkian et al., 2016) di Massa-chusetts USA menemukan bahwa 40%
siswa kelas 3-5 SD dilaporkan menjadi
korban bullying. Demikian pula penelitian yang dilakukan di Indonesia.
Berdasarkan studi awal yang dilakukan
oleh (Dinardinata & Kumara, 2015)
bahwa 48,78 % dari 123 guru-guru TK melaporkan bahwa adanya siswa yang
seringkali menjadi korban bullying dari
teman-teman sesama siswa TK. Feno-mena ini menunjukkan bahwa fenomena
bullying sudah muncul sejak anak-anak
memasuki usia prasekolah. Gejala
tersebut di atas menjadi sebuah bentuk kenyataan bahwa bullying telah menjadi
fenomena umum dalam dunia
pendidikan. Bullying tidak hanya merugikan
bagi korban namun juga bagi pelaku
bullying. Berbagai penelitian menemu-
kan bahwa siswa yang terlibat dalam bullying, khususnya sebagai pelaku
maupun korban, seringkali ditemukan
mengalami problem-problem perilaku. Anak-anak yang telah menjadi korban
bullying berada pada tingkat yang
signifikan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan kejiwaan.
Anak-anak yang menjadi korban bullying
memiliki kecemasan sosial yang lebih
besar dan keinginan bunuh diri (Silberg et al., 2016). Hal ini di dukung oleh
Pranjic & Bajraktarevic (2010) yang
menyatakan bahwa ada peningkatan prevalensi depresi dan keinginan bunuh
diri pada remaja yang menjadi korban
bullying daripada remaja yang tidak terlibat dalam bullying. Selain itu
penelitian lain juga menemukan bahwa
siswa yang menjadi korban bullying
memiliki prestasi sekolah dan kelekatan dengan sekolah yang rendah (Dake,
Price, & Telljohann, 2003; Schneider,
Donnell, Stueve, & Coulter, 2012). Berbagai efek negatif dialami oleh
korban bullying baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Banyak
ahli menyatakan bullying mam-pu memberikan efek negatif jangka panjang
bagi para korban hingga mereka dewasa
(Arseneault, Bowes, & Shakoor, 2010). Penelitian ini dilakukan pada
siswa-siswi SMA dan SMK Negeri dan
Swasta di kota Semarang. Semarang merupakan ibu kota Jawa Tengah yang
terletak di bagian tengah pulau Jawa.
Sebagian besar penduduk kota Semarang
adalah masyarakat dari suku Jawa, meskipun tidak dipungkiri ada pula yang
97
bukan berasal dari suku Jawa. Oleh
karena itu dalam penelitian ini, siswa yang bukan bersuku Jawa tidak
dimasukkan sebagai partisipan
penelitian. Menurut (Koentjaraningrat,
1984) orang Jawa berasal dari pulau Jawa, khususnya di propinsi Jawa
Tengah dan Jawa Timur, akan tetapi di
daerah itu tinggal juga orang-orang yang bukan orang Jawa. Ditambahkan oleh
(Magnis-suseno, 1985) bahwa orang
Jawa adalah penduduk asli bagian tengah
dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa.
Pola pergaulan dalam masyarakat
jawa terdiri dari dua kaidah (Magnis-suseno, 1985). Kaidah pertama
mengatakan bahwa dalam setiap situasi
manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan
konflik. Kaidah ini disebut dengan
prinsip kerukunan. Kaidah kedua
menuntut manusia supaya selalu menunjukkan sikap hormat pada orang
lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya. Kaidah ini disebut sebagai prinsip hormat. Kedua kaidah
tersebut menjadi kerangka normatif yang
menentukan bentuk-bentuk konkret dalam semua interaksi orang Jawa.
Berdasarkan prinsip-prinsip
tersebut, peneliti melihat bahwa pola
interaksi pada masyarakat Jawa lebih menekankan pada prinsip kerukunan dan
hormat. Oleh karena itu diharapkan
bullying antar siswa di kota Semarang memiliki kadar yang lebih minimal.
Namun demikian melihat fenomena
diberbagai tempat tentang kasus bullying
yang semakin meningkat, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana prevalensi
siswa (baik siswa laki-laki maupun
perempuan) yang pernah menjadi korban bullying di kota Semarang. Dengan
mengetahui preva-lensi siswa yang
pernah menjadi korban bullying, maka akan dapat membantu memberikan
gambaran secara lebih menyeluruh
tentang jenis-jenis bullying yang dialami
oleh siswa korban bullying di kota Semarang, bagaimana cara mereka
merespon tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh teman-temannya tersebut, serta bagaimana persepsi mereka
terhadap tingkat keberhasil-annya dalam
mengatasi tindakan bullying yang pernah
mereka alami. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui:
1. Prevalensi siswa yang pernah menjadi korban bullying di sekolah (siswa
laki-laki dan perempuan) di kota
Semarang
2. Bentuk-bentuk bullying yang dialami 3. Respon korban dalam menghadapi
bullying yang mereka alami
4. Persepsi korban bullying terhadap keberhasilan mereka mengatasi
tindakan bullying
METODE
Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif. Partisipan
penelitian adalah siswa kelas 10 dan 11 dengan jumlah 731 siswa dari enam
SMA/SMK di kota Semarang. Teknik
pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Teknik
purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel yang tidak didasarkan pada random, melainkan atas
adanya pertimbangan-pertimbangan
yang berfokus pada tujuan tertentu (Hadi,
1993). Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuesioner yang
disusun sendiri oleh peneliti berdasar pada penelitian yang dilakukan oleh
Sagger et al (2017), Black et al (2010)
dan Fernandez et al ( 2013). Bentuk
bullying terdiri dari bullying fisik, verbal dan sosial. Sedangkan jenis perlakuan
berdasar bentuk bullying yaitu bullying
fisik (dipukul, ditampar, ditendang, di dorong, barang miliknya di rusak),
bullying verbal (diejek, dimaki, dipanggil
dengan nama ejekan, difitnah), bullying sosial (ditolak, dikucilkan). Selanjutnya
respon dan atau strategi yang dilakukan
korban bullying adalah respon atau
strategi yang bersifat pasif dan aktif. Instrumen disusun dalam bentuk
98
kuesioner tertutup dan terbuka.
Kuesioner disusun dalam bentuk daftar pertanyaan yang alternatif jawabannya
telah disediakan dan responden diberi
kesempatan untuk menjawab lebih dari
satu. Selain itu responden juga diberi kesempatan untuk mengisi jawaban
tambahan sesuai dengan keadaan diri.
Pada penelitian ini, pertanyaan kepada responden menggunakan kalimat yang
diperhalus dengan tujuan agar subyek
penelitian tidak menutup diri. Oleh
karena itu penggunaan kata bullying dihindari dan diganti dengan pengalaman
yang tidak menyenangkan. Selanjutnya
untuk menjamin validitas alat ukur, penelitian ini menggunakan professional
judgement.
HASIL
Keseluruhan partisipan dalam penelitian adalah 731 siswa dan relatif
terdistribusi merata secara gender,
dengan siswa laki-laki sebesar 47,2% dan
perempuan 52,8%. Hasil penelitian menemukan ada 433 siswa (59,2 %)
pernah menjadi korban bullying ketika
SD maupun SMP. Selanjutnya dari siswa berjumlah 433 tersebut, peneliti
menggali informasi tentang frekuensi
responden menjadi korban bullying.
Subyek yang mengaku pernah satu kali menjadi korban sebanyak 11,5 %, jarang
63,3%, sering 21 % dan sangat sering 4,2
%. Hasil penelitian juga menemukan
siswa laki-laki yang mengaku pernah menjadi korban bullying, berada pada
tingkat yang kurang lebih sama dengan
siswa perempuan dengan perbandingan 48,5 % dan 51,5%. Hasil ini juga
didukung dengan hasil uji beda dengan
menggunakan teknik Independent-
Sample T Test. Hasil analisa data menemukan bahwa nilai t = 1,653 dengan
p = 0,099. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa p > 0,05 berarti tidak ada perbedaan frekuensi menjadi korban
bullying ditinjau dari jenis kelamin. Hasil
ini menunjukkan bahwa siswa laki-laki dan perempuan memiliki frekuensi
menjadi korban bullying yang relatif
sama.
Bentuk-bentuk bullying yang dialami oleh 433 siswa yang menjadi
korban yaitu 24,9 % mengaku pernah
mendapat bullying fisik, 86,4 % bullying verbal dan 25,6 % bullying sosial.
Berikut pada tabel 1 adalah bentuk-
bentuk bullying yang dialami oleh siswa berdasar jenis kelamn
Tabel 1. Bentuk Bullying
Bentuk
Bullying
N (Jml
respon)
Persentase Persentase
Laki-laki Perempuan
Fisik 108 24,9 65,7 34,3
Verbal 374 86,4 48,1 51,9
Sosial 111 25,6 41,4 58,6
Berdasarkan data pada tabel 1, siswa laki-laki lebih banyak mengalami bullying
fisik dibanding siswa perempuan, dengan
perbandingan 71 siswa laki-laki (65,7 %)
dan 37 siswa perempuan (34,3 %). Hasil tersebut juga didukung dengan hasil uji
beda dengan menggunakan teknik
Independent-Sample T Test. Hasil analisa data menemukan bahwa nilai t = 4,183
dengan p = 0,000. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa p < 0,01 berarti ada
perbedaan korban bullying fisik ditinjau dari jenis kelamin, bahwa siswa laki-laki
(mean = 0,3381) lebih sering mengalami
bullying fisik daripada siswa perempuan
(mean = 0,1659). Siswa laki-laki mengakui lebih sering mendapatkan
bullying fisik dari teman seperti dipukul
dan didorong. Bullying verbal yang dialami siswa
laki-laki dan perempuan berada pada
tingkat yang kurang lebih sama (laki-laki
99
85,7% perempuan 87%). Hasil ini juga
didukung hasil uji beda dengan menggunakan teknik Independent-
Sample T Test. Hasil analisa data
menemukan bahwa nilai t = -0, 388
dengan p = 0,699. Hasil tersebut menunjukkan bahwa p > 0,05 berarti
tidak ada perbedaan korban bullying
verbal ditinjau dari jenis kelamin. Hasil ini menunjukkan bahwa siswa laki-laki
dan perempuan yang menjadi korban
bullying verbal relatif sama.
Selanjutnya, berdasarkan hasil uji perbedaan bullying sosial yang dialami
oleh siswa laki-laki dan perempuan
dengan menggunakan teknik Independent-Sample T Test ditemukan
bahwa nilai t = -1, 727 dengan p = 0,085.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa p > 0,05 berarti tidak ada perbedaan korban
bullying sosial ditinjau dari jenis
kelamin. Hasil ini menunjukkan bahwa
siswa laki-laki dan perempuan yang
menjadi korban bullying sosial relatif sama. Namun demikian berdasarkan nilai
rerata ditemukan bahwa siswa
perempuan (mean= 0, 2915) lebih sering
mengalami bullying sosial dibanding siswa laki-laki (mean=0,2190).
Selanjutnya jenis-jenis perlakuan
bullying yang di alami serta persentase perlakuan berdasar jenis kelamin terdapat
pada tabel 2.
Hasil temuan pada tabel 2 juga
dapat dilihat bahwa jenis-jenis bullying yang paling banyak dialami adalah jenis-
jenis bullying verbal dimulai dari diejek
sebesar 41,3 %, dipanggil dengan nama ejekan 21,2 %, difitnah 16,9 % dan
dimaki 12,5%. Selanjutnya jenis bullying
fisik yang paling banyak terjadi adalah didorong sebesar 9,2 %, sedangkan
bullying sosial yang paling banyak terjadi
adalah dikucilkan sebesar 13,4 %.
Tabel 2. Jenis Perlakuan Bullying
Jenis Perlakuan N (Jml
respon)
Persent
ase
Persentase
Laki-laki Perempuan
Fisik Dipukul 37 8,5 70,3 29,7
Ditampar 11 2,5 63,6 36,4
Ditendang 20 4,6 70,0 30,0
Dido rong 40 9,2 67,5 32,5 Barang miliknya dirusak 39 9 46,2 53,8
Lain2 9 2,1 44,4 55,6
Verbal Diejek 179 41,3 48,1 51,9
Dipanggil dengan nama
ejekan
92 21,2 47,5 52,5
Dimaki 54 12, 5 55,4 44,6
Difitnah 73 16,9 46,6 53,4
Lain2 15 3,5 26,7 73,3
Sosial Ditolak 22 5,1 63,6 36,4
Dikucilkan 58 13,4 41,4 58,6
Lain2 23 5,3 43,5 56,5
Tahap selanjutnya dalam
penelitian ini adalah mengetahui
bagaimana respon dan atau strategi yang dilakukan korban ketika mendapat
perlakuan tidak menyenangkan dari
teman. Tabel 3 melaporkan tentang
respon partisipan ketika mereka menjadi korban bullying. Hasil penelitian
menemukan 56,8% siswa memilih diam
saja ketika mereka menjadi korban,
diikuti dengan berjuang membuktikan diri 55,4%, cuek 46,7% dan melawan
40,9%. Siswa yang berespon dengan cara
melapor kepada orang dewasa ternyata
hanya sebesar 20,6%.
100
Tabel 3. Respon menghadapi bullying
Jenis Respon Jumlah respon Persentase
Sedih 101 23,3 % Menangis 63 14,5 %
Diam saja 246 56,8 %
Prestasi sekolah turun 31 7,2 %
Tidak mau sekolah 19 4,4 %
Menyendiri 68 15,7 %
Tertekan 96 22,2 %
Melawan 177 40,9 %
Cuek 202 46,7 %
Putus asa 5 1,2 %
Lapor pada orang dewasa 89 20,6 %
Membuktikan diri 240 55,4 %
Lain-lain 55 12,7 %
Peneliti selanjutnya
mengelompokkan secara khusus
responden yang mengaku sering dan sangat sering menjadi korban bullying.
Hasil analisa menemukan respon mereka
berturut-turut dari yang terbesar adalah diam saja (61,5%), berjuang
membuktikan diri (58,7 %), cuek
(48,6%), tertekan (39,4 %), melawan
(38,5 %) dan melapor pada orang dewasa (30,3 %). Secara rinci dapat dilihat pada
tabel 4.
Tabel 4. Respon menghadapi bullying (pada partisipan yang sering dan sangat
sering menjadi korban)
Jenis Respon Jumlah respon Persentase
Sedih 32 29,4 %
Menangis 28 25,7 %
Diam saja 67 61,5 %
Prestasi sekolah turun 15 13,8 %
Tidak mau sekolah 12 11 %
Menyendiri 30 27,5 %
Tertekan 43 39,4 %
Melawan 42 38,5 %
Cuek 53 48,6 % Putus asa 4 3,7 %
Lapor pada orang dewasa 33 30,3 %
Membuktikan diri 64 58,7 %
Lain-lain 15 13,8
Selanjutnya penilaian diri responden terhadap kemampuannya
mengatasi bullying yang pernah mereka
alami adalah 14 siswa (3,2 %) menilai
diri tidak berhasil mengatasi, 48 siswa (11,1 %) kurang berhasil, 270 siswa (62,4
%) cukup berhasil dan 99 siswa (22,9 %)
menilai diri sangat berhasil dalam
mengatasi bullying yang pernah mereka alami.
DISKUSI
Berdasarkan hasil penelitian
ditemukan ada 433 siswa (59,2 %) dari 731 responden yang mengaku pernah
menjadi korban bullying di sekolah. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa
101
meskipun prinsip rukun dan hormat
menjadi kerangka normatif dalam berelasi pada masyarakat Jawa, namun
bullying tetap tumbuh dengan subur.
Bullying adalah fenomena yang sangat
tua dan sering muncul di sekolah (Olweus, 1995). Selanjutnya dari siswa
berjumlah 433 tersebut, peneliti
menggali informasi tentang frekuensi responden menjadi korban bullying.
Subyek yang mengaku pernah satu kali
menjadi korban sebanyak 11,5 %, jarang
63,3%, sering 21 % dan sangat sering 4,2 %. Hasil ini sedikit berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan pada siswa di
Australia (Lester & Mander, 2015). Berdasarkan hasil penelitian pada siswa
berasrama kelas 7 tersebut dilaporkan
bahwa 22% pernah menjadi korban (satu atau dua kali dalam 10 bulan terakhir)
dan 16% mengaku sering menjadi
korban. Hasil penelitian ini juga
menemukan bahwa responden yang mengakui menjadi korban bullying dalam
kategori sering dan sangat sering adalah
25,2 % dari 433 siswa. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
dilakukan (Carrera Fernández et al.,
2013) pada siswa sekolah menengah di Spanyol bahwa prevalensi subyek yang
menjawab “sangat sering” sebagai
korban adalah 16.3%.
Bullying verbal mendominasi perilaku bullying yang terjadi di sekolah
yaitu 86,4%. Penyalahgunaan verbal
terbukti menjadi jenis perilaku kasar yang paling umum (Carrera Fernández et
al., 2013) dan ini di dukung pula oleh
penelitian yang dilakukan (Marela et al.,
2017) yang menemukan bahwa bullying yang paling banyak dialami remaja
adalah bullying verbal sebesar 47%.
Fenomena ini diduga karena kemungkinan bullying verbal masih
dianggap wajar bagi sebagian besar
masyarakat dan tidak ada konsekuensi negatif bagi pelaku, sehingga bullying
verbal tetap tumbuh dengan subur.
Perilaku bullying dapat dijelaskan
dengan menggunakan teori dominansi sosial. Teori dominansi sosial
berpendapat bahwa penindasan antar
kelompok, diskriminasi, dan prasangka adalah cara manusia mengatur diri
mereka sendiri sebagai hierarki berbasis
kelompok, di mana anggota kelompok
dominan mempertahankan bagian hal-hal baik dalam hidup dan anggota
kelompok yang tidak dominan menerima
proporsi hal-hal yang buruk dalam hidup (Sidanius & Pratto, 2012). Bullying
adalah tindakan agresi yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok terhadap
seseorang atau kelompok lain dengan karakteristik utama terjadi
ketidakseimbangan kekuatan antara
pelaku dan korban. Pelaku bullying adalah mereka yang berada di kelompok
dominan dan korban berada pada
kelompok tidak dominan. Anggota kelompok dominan akan berusaha
mempertahankan hal-hal baik dalam
hidupnya sehingga tindakan agresi
mereka lakukan untuk mempertahankan hal-hal baik tersebut.
Pada teori ini, hierarki sosial
berbasis kelompok terdiri dari tiga sistem stratifikasi yang berbeda yaitu sistem
umur, sistem jenis kelamin dan sistem
kesewenang-wenangan. Sistem umur yaitu orang dewasa memiliki kekuatan
yang tidak seimbang terhadap orang
dewasa yang lebih muda dan anak-anak.
Sistem jenis kelamin yaitu laki-laki memiliki kekuatan sosial dan politik
yang tidak seimbang dibanding
perempuan dan sistem kesewenang-wenangan, yang dibangun atas dasar
kesewenang-wenangan dan tidak
berhubungan dengan siklus kehidupan
manusia. Sistem ini dibangun berdasarkan kekuatan dan legitimasi
dengan kategori sosial seperti suku,
agama, kepemilikan, pengetahuan, ketrampilan dan lain-lain (Sidanius &
Pratto, 2012)
Jenis kelamin merupakan salah satu sistem yang digunakan dalam teori
dominansi sosial untuk menentukan
hirarki sosial manusia. Demikian pula
dalam penelitian ini, jenis kelamin digunakan untuk membedakan berbagai
102
tindakan bullying yang terjadi di sekolah.
Penelitian pada siswa sekolah menengah di Izmir Turki menunjukkan bahwa
perempuan cenderung tidak terlibat atau
menjadi korban bullying, sedangkan laki-
laki cenderung menjadi pelaku dan pelaku/ korban (Özer, Totan, & Atik,
2011). Namun dalam penelitian ini
dilaporkan bahwa tidak ada perbedaan frekuensi menjadi korban bullying
ditinjau dari jenis kelamin. Siswa laki-
laki maupun perempuan memiliki
frekuensi menjadi korban bullying yang relatif sama.
Penelitian ini juga menggali
informasi tentang bagaimana korban bullying merespon tindakan bullying
yang mereka terima. Jawaban ‘diam saja’
memiliki persentase terbesar yang dipilih oleh responden yang pernah menjadi
korban bullying di sekolah yaitu sebesar
56,8 %. Hasil ini berbeda dengan temuan
penelitian yang dilakukan oleh (Black et al., 2010) terhadap siswa-siswa yang
menjadi korban bullying di Amerika
Serikat. Mereka memilih melawan (63%) sebagai strategi dalam menghadapi
bullying yang mereka alami. “Diam”
kemungkinan merupakan bagian dari karakter orang Jawa yang menekankan
pentingnya menjaga hubungan baik
dengan orang lain. Respon “diam” adalah
upaya korban supaya hubungan atau relasinya dengan pelaku bullying tetap
terjaga dengan baik. (Koentjaraningrat,
1984) mengatakankan bahwa orang Jawa biasanya menilai tinggi perilaku yang
berusaha untuk menjaga hubungan baik
dengan orang lain.
Pola relasi pada masyarakat Jawa menekankan pada prinsip kerukunan.
Prinsip kerukunan bertujuan untuk
mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Berperilaku
rukun berarti menghilangkan tanda-tanda
ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial
tetap kelihatan selaras (Magnis-suseno,
1985). Perilaku’diam’ yang dilakukan
para korban bullying pada penelitian ini dimaksudkan sebagai usaha korban
bullying untuk menghilangkan atau
menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan.
Namun demikian, diam
sebenarnya dapat dimaknai secara
berbeda-beda. Orang tua Jawa cenderung menanamkan suatu pandangan yang
bersifat pesimis mengenai hidup di dunia
dan mereka sengaja mengajarkan perasaan takut (wedi) kepada anak-
anaknya (Koentjaraningrat, 1984). Hal
ini kemungkinan menimbulkan perasaan
takut anak-anak pada orang lain. Perasaan takut (wedi) mungkin saja
menjadi alasan korban bullying untuk
tidak melawan ketika mereka mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Selain
itu budaya Jawa juga mengenalkan
tentang pentingnya nilai budaya secara vertikal. Budaya ini menekankan
pentingnya menghormati orang-orang
yang lebih senior. Bullying biasanya
terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara korban dan pelaku.
Kekuatan dapat diasosiasikan dengan
senioritas dan bullying banyak dilakukan oleh kakak kelas terhadap adik kelas.
Oleh karena itu, kemungkinan makna
“diam” bisa saja karena adanya rasa hormat adik kelas terhadap kakak kelas.
Prinsip hormat memainkan peranan
penting dalam mengatur pola interaksi
masyarakat Jawa. Prinsip ini mengatakan bahwa orang Jawa dalam cara berbicara
dan membawa diri selalu harus
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan
kedudukannya. Oleh karena itu mereka
yang berkedudukan tinggi harus diberi
hormat (Magnis-suseno, 1985). Hasil terakhir dari penelitian ini
adalah berusaha mengungkap bagaimana
persepsi korban bullying menilai keberhasilannya menghadapi tindakan
bullying yang mereka terima dari teman.
Hasil penelitian menemukan bahwa 85,3 % responden menyatakan bahwa mereka
cukup dan sangat berhasil mengatasi
masalah ini. Hasil penelitian ini
merupakan salah satu jalan bagi peneliti untuk melakukan penelitian selanjutnya
103
tentang resiliensi korban bullying.
Resiliensi adalah ide yang mengacu pada kapasitas sistem dinamis untuk bertahan
atau pulih dari gangguan (Masten, 2007).
Resiliensi merupakan salah satu alternatif
bagi korban bullying untuk dapat bertahan atau bangkit dari keterpurukan
akibat dari bullying yang mereka terima.
SIMPULAN
Bullying merupakan fenomena
yang sudah sangat tua dan sering terjadi
di dunia pendidikan. Bullying di sekolah menimbulkan keprihatinan bagi banyak
orang, karena sekolah merupakan tempat
bagi anak-anak menimba ilmu dan mengembangkan diri. Hasil penelitian
menemukan ada 433 siswa (59,2%)
pernah menjadi korban bullying ketika SD maupun SMP dan 25,2% mengakui
sering serta sangat sering menjadi korban
bullying. Bentuk-bentuk bullying yang
dialami adalah 24,9 % bullying fisik, 86,4 % bullying verbal dan 25,6 % bullying
sosial. Hasil penelitian juga menemukan
bahwa sebagian besar korban memilih diam (56,8 %) ketika mendapat
perlakuan tidak menyenangkan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang belum mengungkap hasil
secara detil dan mendalam. Oleh karena
itu disarankan bagi peneliti selanjutnya
untuk dapat menggali informasi secara lebih detil dan mendalam sehingga usaha
prevensi dan intervensi terhadap bullying
di sekolah dapat lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Arseneault, L., Bowes, L., & Shakoor, S.
(2010). Bullying victimization in youths and mental health
problems : ‘ Much ado about
nothing ’? Psychological Medicine, 40, 717–729.
https://doi.org/10.1017/S0033291
709991383
Black, S., Weinles, D., & Washington, E.
(2010). Victim Strategies to Stop Bullying. Youth Violence and
Juvenile Justice, 8(2), 138–147.
https://doi.org/10.1177/15412040
09349401
Fernández, C.M. V., Fernández, M. L.,
Castro, Y. R., Failde Garrido, J.
M., & Otero, M. C. (2013). Bullying in spanish secondary
schools: Gender-based
differences. Spanish Journal of
Psychology, 16(e21), 1–14. https://doi.org/10.1017/sjp.2013.3
7
Dake, J. A., Price, J. H., & Telljohann, S. K. (2003). The nature and extent of
bullying at school. The Journal of
School Health, 73(5), 173–180.
Dinardinata, A., & Kumara, A. (2015).
Pengaruh the anti bullying and
teasing program tema komunitas
dalam menurunkan frekuensi perilaku bullying di kelas taman
kanak-kanak. Jurnal Psikologi
Undip, 14(1), 58–68.
Hadi, S. (1993). Statistik 2. Yogyakarta:
Andi Offset.
Hymel, S., & Swearer, S. M. (2015). Four decades of research on school
bullying. American Psychologist,
70(4), 293–299.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1037/a0038928
Januarko, W., & Setiawati, D. (2013).
Studi tentang penanganan korban bullyimg pada siswa SMP se-
kecamatan trawas. Jurnal BK
UNESA, 04(02), 383–389.
Kevorkian, M. M., Rodriguez, A., Earnhardt, M. P., Kennedy, T. D.,
D’Antona, R., Russom, A. G., &
Borror, J. (2016). Bullying in elementary schools. Journ Child
Adol Trauma, 9, 267–276.
https://doi.org/10.1007/s40653-016-0085-0
104
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan
Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Lester, L., & Mander, D. (2015). The role
of social , emotional and mental
wellbeing on bullying
victimisation and perpetration of secondary school boarders.
Journal of Psychologists and
Counsellors in Schools, 25(2), 152–169.
https://doi.org/10.1017/jgc.2014.2
8
Magnis-suseno, F. (1985). Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Marela, G., Wahab, A., & Marchira, C.
R. (2017). Bullying verbal menyebabkan depresi remaja
SMA kota yogyakarta. Berita
Kedokteran Masyarakat, 33(1), 83–89.
https://doi.org/10.22146/bkm.818
3
Masten, A. (2007). Resilience in developing systems: Progress and
promise as the fourth wave rises.
Development and Psychopathology, 19, 921–930.
https://doi.org/10.1017/S0954579
407000442
Olweus, D. (1995). Bullying or peer
abuse at school: Facts and
intervention. Current Directions in
Psychological Science, 4(6), 196–200. https://doi.org/10.1111/1467-
8721.ep10772640
Olweus, D. (1997). Bully / victim problems in school: Facts and
intervention. European Journal of
Psychology of Education, XlI(4),
495–510. https://doi.org/10.1007/BF031728
07
Özer, A., Totan, T., & Atik, G. (2011).
Individual correlates of bullying behaviour in turkish middle
schools. Australian Journal of
Guidance and Counselling, 21(2),
186–202. https://doi.org/10.1375/ajgc.21.2.
186
Pranjic, N., & Bajraktarevic, A. (2010). Depression and suicide ideation
among secondary school
adolescents involved in school
bullying. Primary Health Care Research & Development, 11,
349–362.
https://doi.org/10.1017/S1463423610000307
Saggers, B., Campbell, M., Dillon-
wallace, J., Ashburner, J., Hwang, Y.-S., Carrington, S., & Tones, M.
(2017). Understandings and
Experiences of Bullying : Impact
on Students on the Autism
Spectrum ∗. Australasian Journal
OfSpecial Education, 41(2), 123–
140. https://doi.org/10.1017/jse.2017.6
Salmivalli, C., Peets, K., & Hodges, E. V.
E. (2011). Bullying. In Smith and
Hart (Ed.), Handbook of childhood social development (Second edi).
Blackwell Publishing Ltd.
Schneider, S. K., Donnell, L. O., Stueve, A., & Coulter, R. W. S. (2012).
Cyberbullying , school bullying,
and psychological distress : A regional census of high school
students. American Journal of
Public Health, 102(1), 171–178.
https://doi.org/10.2105/AJPH.2011.300308
Sejiwa. (2008). Bullying : Mengatasi
Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta:
Grasindo.
105
Sidanius, J., & Pratto, F. (2012). Social
dominance theory. In P. A. . Van Lange, A. . Kruglanski, & E. .
Higgins (Eds.), Handbook of
Theories of Social Psychology.
London: Sage Publications Ltd.
Silberg, J. L., Copeland, W., Linker, J.,
Moore, A. A., Roberson-Nay, R.,
& York, T. P. (2016). Psychiatric outcomes of bullying
victimization: A study of
discordant monozygotic twins.
Psychological Medicine, 46, 1875–1883.
https://doi.org/10.1017/S0033291
716000362
Soedjatmiko, S., Nurhamzah, W.,
Maureen, A., & Wiguna, T. (2013). Gambaran bullying dan
hubungannya dengan masalah
emosi dan perilaku pada anak
sekolah dasar. Sari Pediatri, 15(3), 174–180.
https://doi.org/10.14238/sp15.3.20
13.174-80
Wei, H. S., Jonson-Reid, M., & Tsao, H.
L. (2007). Bullying and
victimization among Taiwanese
7th graders: A multi-method assessment. School Psychology
International, 28(4), 479–500.
https://doi.org/10.1177/0143034307084137